کمالوندی
Matinya Filsafat Marx
Matinya Idealisme Marx
Tesis Tentang Feuerbach: Kematian Idealisme dan Akhir Materialisme Bojak serta Humanisme Marx Antara Naskah-Naskah Paris 1854 dan Ideologi Jerman, suatu karya Marx yang sohor dan monumental serta menentukan perkembangan pemikirannya selanjutnya, yaitu Tesis Tentang Feuerbach, secara spektakular muncul. (Gidden 1986: 25). Dalam karya ini Marx, dengan ‘ketajaman ilmiah’ dan ‘sikap yang rigorus dan antusias’ mengritik L. Feuerbach mengafirmasikan sikap dan ketetapan hati untuk berpegang pada materialisme. Idealisme Hegel, yang didaulat berjalan dengan kaki terbalik, digantikan dengan kaki tegak menyerbu langit. Perpisahan idealisme dengan materialisme menjadi tuntas atau definitif.
Demikianlah perdebatan hangat dan serius dalam Klub Doktor, dimana Marx sebagai anggota, - sikap “antara” Feurbach, tokoh sohor Hegelian Muda dari faksi Hegelian Kiri, sebagai ‘materialisme bojak’ sarat dengan keraguan-raguan, - kendatipun berorientasi antropologik, empiris dan anti-religius - secara meyakinkan disudahi Marx. Buku ini sekaligus merupakan lonceng kematian bagi idealisme Hegel dan juga satu pukulan telak terhadap sikap semi mistik Feuerbach. Dengan buku ini Marx juga mendeklarsikan kemenangan mutlak bagi materialisme yang telah diangkat Feurbach sebelumnya dalam bentuk materialisme bojak ke singgasana manusia. Naskah Naskah Paris didalamnya Tesis Tentang Feurbbach termaktub kepedulian Marx terhadap manusia dan ketakziman terhadap nilai-nilai humanitas tereksplisitaskan.
Buku ini adalah suatu maklumat filosofis yang menentukan bagi perkembangan pemikiran Marx sampai masa tua, sekaligus menjadi wacana Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menampilkan hasil pergulatannya yang intens tentang materialisme yang telah dimulai semenjak disertasi doktoralnya tentang materialisme dan Demokritos, dan sikap kritis terhadap Feurbach. Sikap kritis Marx ini selanjutnya diwariskan kepada generasi pertama teori kritis Marxisme, Karl Korsch dan George Luckack, kepada generasi kedua, Mazhab Frankfurt Adorno dan Hoikheimer, dan kepada generasi ketiga dengan teori komunikasi Jurgen Habermas pada abad XX. (Pembagian generasi teori kritis ini berasal dari saya sendiri, yang berbeda dari kategorisasi lazim, yaitu hanya dua generasi seperti yang lazim digunakan dalam literatur Marxist. Pen. ).
Adapun sikap tegas dan korektif Marx yang tertuang dalam Tesis Tentang Feuerbach, antara lain: Pertama-tama, pendekatan Feurbach didaulat bersifat a-historis. Marx menuduh Feuerbach masih terjebak dalam sifat mistik Hegelian, dan masih menempatkan manusia sebagai sesuatu yang abstrak yang mendahului masyarakat. Kekeliruan lainnya, terlihat dalam cara gegabah dan kontroversial Feuerbach, bahwa ia tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh, akan tetapi gagal melihat bahwa rasa saleh itu sendiri merupakan produk sosial, dan bahwa manusia abstrak yang menjadi pusat analisisnya masih tergolong dalam satu bentuk masyarakat tertentu. Materialsime Feurbach juga masih tetap berada pada tataran doktrinal filsafat, yang menganggap perangkat gagasan merupakan kontemplasi kenyataan materil, sebagai yang terkuduskan dan determinan terhadap kegiatan manusia.
Pada kenyataannya, ada suatu hubungan resiprokal antara kesadaran dan praxis manusia. Feurbach seperti halnya dengan semua ahli filsafat materialis terdahulu memperlakukan kenyataan materil sebagai sesuatu yang menentukan kegiatan manusia, dan tidak menganalisa modifikasi dunia obyektif dengan subyeknya, yaitu dengan kegiatan manusia. Dengan kata lain, Marx juga membuat titik persoalan yang sangat krusial. Dikatakan bahwa doktrin materialistis Feurbach tidak memiliki kapabilitas untuk menangani fakta. Kegiatan revolusioner adalah hasil dari tindakan tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar sesuai dengan yang dikehendakinya. Feuerbach sebaliknya menggambarkan dunia ini dalam kaitan pengaruh sejarah kenyataan materi dan gagasan gagasan. Akan tetapi ia lupa bahwa keadaan diubah oleh manusia. Dengan istilah keadaan yang diubah tersebut Marx menganologikannya dengan “sang pendidik harus dididik”. Di sini Marx maju selangkah dan meninggalkan Feurbach denga filsfat antropologinya. Namun demikian harus diakui, demikian Marx, Feurbach berhasil menggeserkan filsafat Hegel tidak lain adalah agama yang diseludupkan ke pikiran dan dikembangkan oleh pikiran dan sama saja harus dikutuk seperti halnya dengan suatu bentuk dan cara lain dari adanya keterasingan. Akan tetapi dengan bertindak demikian, Feuerbach mengemukakan suatu materialisme bojak, atau meminjam Gidden menyebutnya sebagai materiallisme tafakur atau materialisme pasif. Ia juga berkontemplasi cemerlang terutama dalam mengabaikan penekanan dialektika Hegel yang berkutat diseputar roh, manusia abstrak dan dari hal yang negatif sebagai prinsip penggerak dan pencipta. (Gidden, 1986 : 26).
Dalam Hakekat Agama Kristen, Feuerbach menempatkan materialisme kembali ke atas tahta. Alam adalah dasar yang diatasnya manusia adalah hasil dari alam. Tidak ada yang ada di luar alam dan manusia, dan mahluk halus yang tercipta oleh fantasi agama adalah pencerminan fantastik dari hakikat manusia. Marx terpengaruh oleh Feuerbach. Pemikiran materialisme yang telah dirintis oleh Feuerbach selanjutnya dituangkan dalam Keluarga Suci dan Ideologi Jerman. David Strauss dalam Kehidupan Jesus, terbit pada tahun 1835, mengatakan bahwa terjadinya mitos di dalam kitab kitab Injil kemudian diserang oleh Bruno Bauer dengan pembuktian bahwa seluruh seri cerita penyebaran agama nasrani adalah hasil rekaan penulisnya sendiri. Pertentangan antara keduanya berlangsung dengan berkedokkan filsafat, berupa perjuangan antara kesadaran dan perjuangan, antara kesadaran dan zat. Masalah apakah cerita-cerita mujizat di dalam kitab Injil terjadi lewat penciptaan mitos di bawah lapisan tak sadar di tengah-tengah masyarakat. Stirner, nabi anarkisme zaman itu. Bakunin telah mengambil banyak pemikiran mitosisasi Strauss selanjutnya dibakukan dalam upaya untuk menutupi mitosisasi dan historisasi dengan egonya yang berdaulat.
(Engels , 2000: 18-19).
Filsafat oleh Marx digeserkan ke tataran praxis, yaitu suatu aktivitas sadar manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai bagian dari alam manusia merealisasikan diri melalui kerja. Filsatat materialisme yang lahir dari kandungan pemikiran Hegel dan yang menampatkan manusia sebagai yang abstrak, dan filsafat materialisme Feuerbach yang masih berkutat pada tataran agamawi, oleh Marx digeserkan mejadi dasar pemahaman realitas dan manusia. Diawali dengan rasa geram terhadap materialisme bojak Feurbach, Marx mendeklrasikan suatu maklumat kematian filsafat sebagai wacana kontemplasi dan selanjutya tertasbihkan sebagai wacana praxis. Demikianlah idealisme digantikan oleh materialisme merupakan titik tolak pemahaman tentang manusia dalam fitrahnya sebagai mahluk kesadaran di tengah-tengah alam. Pendirian materialisme Marx secara lugas tertuang dalam Tesis Tentang Feuerbach. Sebagai derivat idealisme, materialisme Feuerbach yang masih diselimuti oleh dupa mistik secara radikal oleh Marx ditransplantasikan ke daratan materialisme. Dengan materialisme filsafat bukan lagi dipahami sebagai medan ekspresi, sebagai wacana pertarungan ide dan epistemologi ilmu pengetahuan, akan tetapi secara radikan dan mendasar berubah menjadi saran emansipasi manusia.
Emansipatoris Marx secara telak mengakhiri filsafat idealisme Hegel dengan suatu proklamasi afirmatif visisoner filsafat materialisme pada frasa XI Tesis Tentang Feuerbach mengatakan bahwa: “para filsuf selama ini sibuk dalam penafsiran dunia dengan berbagai cara pada hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”, adalah proklamasi paling akbar dan dahsyat dalam sejarah pemikiran dan filsafat.
Untuk lebih memahami akar materialisme dan praxis Marx, yang menyemangati semangat manusia Promotheusan, yaitu yang mendudukkan manusia sebagai penentu
sekaligus arsitek dunia dan dirinya secara otonom terlepas dari dominasi dan hegemoni Tuhan, yang telah menjadi obsesi Marx semenjak awal. Suatu paparan
tentang Tesis Tentang Feurbach barangkali berguna untuk memahami konsep materialisme dan humanisme Marx. .
Thesis Tentang Feuerbach *)
I
Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang (termasuk materialisme Feuerbach) adalah bahwa obyek, kenyataan, apa yang kita tangkap melalui panca indra, hanya dapat dipahami dalam bentuk obyek atau kontemplasi ; tetapi bukan sebagai aktivitas pancaindra manusia, sebagai praktis, bukan sebagai yang subjektif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme, tetapi hanya secara abstrak, karena bertentangan dengan materialisme, sisi aktif dikembangkan secara abstrak oleh idealisme, tentu saja tidak mengetahui akan aktivitas pancaindra yang nyata sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepanca-indraan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi ia tidak mengartikan aktvitas manusia itu sendiri sebagai aktivitas obyektif. Oleh karena itu, dalam Hakikat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritik sebagai satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedangkan praktek digambarkan sebagai, dan ditetapkan hanya dalam bentuk penampakannya yang bersifat kejahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitas ‘revolusioner’, aktivitas
‘kritis-praktis’.
II
Pertanyaan apakah pikiran manusia dapat menangkap kebenaran obyektif bisa ditangkap bukanlah soal pertanyaan teoritis melainkan suatu pertanyaan praktikal. Manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu realitas dan kekuatan, kesegian pemikirannya dalam praktis. Perdebatan mengenai kenyataan atau non-realitas pemikiran yang terasing dari praktik adalah pertanyaan skolastiksemata-mata.
III
Doktrin materialis mengenai perubahan (lingkungan) manusia dan pendidikan melupakan bahwa lingkungan diubah oleh manusia dan bahwa pendidik harus dididik. Doktrin ini membagi masyarakat kedalam dua bagian, dimana salah satu lebih tinggi dalam masyarakat. Seiring dengan perubahan lingkungan dapat dikomprehended dan aktivitas manusia atau perubahan diri dapat dimengerti dan secara rasional dipahami hanya diketahui sebagai praktis revolusioner.
IV
Feuerbach bertolak dari kenyataan pengasingan diri relgius, dari duplikasi dunia kepada dalam suatu dunia rteligius dan dunia sekuler. Pekerjaannya berupa melebur dunia religius kedalam basis sekulernya. Tetapi kenyataannya bahwa basis sekuler mengangkat dirinya sendiri di atas dirinya sendiri dan menetapkan bagi dirinya suatu ranah independen dalam kekaburan dapat dijelaskan hanya melalui perpecahan dan kontradiskisi diri dari basis sekuler. Karena itu yang tersebut belakangan itu sendiri dulu harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian, dengan ditiadakannya kontradiksi itu, direvolusionerkan dalam praktek. Dengan begitu, misalnya, sekali keluarga duniawi itu ditemukan sebagai rahasia dari keluarga suci, maka yang disebutkan lebih dahulu tersebut harus dikritik dalam teori serta direvolusionerkan dalam praktek.
V
Feuerbach tidak puas dengan pemikiran abstrak, berpaling kepada kontemplasi kepanca-indraan, tetapi dia tidak menganggap kepanca-indraan sebagai aktivitas praktis, aktivitas pancaindra manusia.
VI
Feuerbach melebur hakikat keagamaan kedalam hakikat manusia. Tetapi hakikat manusia bukanlah abstraksi yang terdapat pada masing masing individu terpisah . Dalam kenyataannya ia adalah keseluruhan dari relasi-relasi sosial. Oleh karena itu, Feuerbach yang tidak ingin memasuki kritik lebih dalam terhadap hakikat yang nyata itu terpaksa:
1). Mengabstraksikan dari proses sejarah dan menetapkan sentimen keagamaan sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan mengandaikan perorangan manusia abstrak, yang terisolir.
2). Karena itu, baginya hakikat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai jenis sebagai suatu keumuman intern bisu yang hanya dengan wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.
VII
Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa ‘sentimen sentimen’ religius itu sendiri adalah suatu produk sosial, dan bahwa individu abstrak yang dianalisinya adalah milik dari bentuk khusus masyarakat.
VIII
Segenap kehidupan sosial pada hakikatnya adalah praktis. Segala misteri yang mengarahkan teori ke dalam mistikisme menemukan solusi rasional mereka dalam praktik manusia dan secara menyesatkan membawa teori kepada mistik menemukan pemecahannya yang rasional dalam praktek manusia dan dalam pemahaman praktek itu.
IX
Titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif, yaitu materialisme yang tidak memahami kepanca-indraan sebagai aktivitas praktis, adalah kontemplasi individu dan masyarakat sipil.
X
Pandangan materialisme lama adalah masyarakat sipil, sementara pandangan materialisme baru adalah masyarakat manusia, atau umat manusia yang bermasyarakat.
XI
Para ahli filsafat hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi yang terpenting adalah mengubahnya. Catatan*) Saya terjemahkan dari buku Kamenka Eugene, The Portable Karl Marx. Penguin Books
Sumber
Gidden,
Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial. Suatu analisis kaya tulis Marx, Durkheim
dan Max Weber. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Salemba,
1986.
Kamenka, Eugene. The Portable Marx. Penguin Books. 1983
Engels,
Frederich. Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman. Penerbit : Teplok Press,
2203.
Sumber: http://meontology.blogdrive.com
Akar sejarah Filsafat Barat
Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan" ("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Patut dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1 Zaman Yunani
Is not the good good because it contains the idea of the good? Plato
1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos to en = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to en mengalir nouz = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir ynch = "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan mh ou = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku" -- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.
Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.
3 Zaman Skolastik
Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda dengan". Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
(1) Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".
Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.
(2) Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata".
(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".
Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.
(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.
3.2 Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum fidei").
Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.
Batasan Definisi dan Qadhiyah
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
- 1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
- 2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
- 3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
- Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Definisi Mantiq
Definisi dan Urgensi Mantiq (Logika)
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir
- Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.
- Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar.
Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
1. Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Ghadir Adalah Prinsip Utama Kelanjutan Risalah Islam
Ghadir sebagai salah satu hari raya besar umat Islam, merupakan salah satu program penting Rasulullah Saw, untuk kelanggengan, kemuliaan, kejayaan Islam dan al-Quran.
Pentingnya hari ini harus ditelusuri kembali pada hari Ghadirdi masa Rasulullah Saw. Peringatan eid ini telah dilakukan oleh Imam Sadiq as dan Imam Ridho as. Bahkan Imam Ali as sendiri juga memperingati eid tersebut.
Rahasia di balik pentingnya peringatan Ghadir, jelas terletak pada kesempunaan agama dan nikmat dari Allah Swt di bawah naungan berlanjutnya risalah Rasulullah yang emban oleh para imam maksum.
Rasulullah Saw mewajibkan umat Islam untuk megucapkan selamat kepada wali (Imam Ali as) dan berbaiat kepadanya. Rasulullah Saw berbahagia atas nikmat wilayah dan bersabda:
الحمدلله الذی فضلنا علی جمیع العالمین
Ayat al-Quran juga telah dengan jelas menyebutkan bahwa hari ini (Eid Ghadir) adalah hari disempurnakannya agama Islam dan nikmat Allah Swt.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Bahkan Tareq bin Syahab yang seorang Kristen dalam sebuah acara dengan khalifah Umat bin Khattab dalam hal ini mengatakan, "Jika ayat tersebut (al-Maidah, 2) diturunkan untuk kami, maka pada hari tersebut, kami akan memperingatinya sebagai eid."
Tidak ada orang yang keberatan mendengar ucapan Tareq bahkan khalifah Umat sendiri tidak mengatakan apapun. (IRIB Indonesia/MZ)
Ghadir Harus Menjadi Sumber Persatuan Islam
Ketua Dewan Tinggi Propinsi Iran, Mehdi Chamran menyatakan, "Eid Ghadir harus menjadi sumber persatuan, kesatuan dan kekompakan bagi seluruh umat Islam."
IRNA (3/11) melaporkan, Chamran mengatakan, "Islam pada hari ini telah sempurna dengan kepemimpinan Imam Ali as dan Allah Swt telah menyempurnakan risalah Rasulullah Saw pada hari ini."
Chamran di bagian lain pernyataannya, Chamran mengatakan, "Musuh, setelah tidak mampu menciptakan perpecahan geografis di Iran, mereka sekarang berusaha menciptakan perpecahan di sektor budaya banga Iran.
Chamran optimis, "Ghadir dapat menjadi titik persatuan dan solidaritas dalam masyarakat Muslim Iran dan di seluruh dunia.(IRIB Indonesia/MZ)
Syair Pertama Ghadir dan Nasib Penyairnya
Penyair pertama yang melantunkan syair tentang Ghadir adalah Hassan bin Tsabit. Di hadapan kerumunan umat Islam, Hassan melantunkan syairnya dan Rasulullah Saw menyetujui kandungan dan makna syair tersebut.
Hassan melantunkan syairnya di hadapan Muslimin Arab yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Di antara mereka juga terdapat para penyair ternama serta ahli sastra dan yang paling fasih adalah Rasulullah Saw.
يناديهم يوم الغدير نبيهم بخم و اسمع بالنبى مناديا
و قال فمن موليكم و نبيكم؟ فقالوا و لم يبدوا هناك التعاديا
الهك مولانا و انت نبينا و لم تلق منا فیالولایة عاصيا
فقال له قم يا على فاننى رضيتك من بعدى اماما و هاديا
فمن كنت مولاه فهذا وليه فكونوا له انصار صدق مواليا
هناك دعا اللهم و ال وليه و كن للذى عادى عليا معاديا
Setelah mendengar syair Hassan, Rasulullah Saw bersabda:
« لاتزال یا حسان مویدا بروح القدس ما نصرتنا بلسانک»
"Wahai Hassan selama kau membantu kami (Ahlul Bait as), kau akan diakui oleh Ruh al-Qudus."
Kitab pertama yang menukil syair tersebut adalah kitab milik Sulaim bin Qeis Hilali. Dia termasuk dari para Tabiin dan sosok yang jujur serta diakui oleh para ulama Syiah dan Sunni. Banyak ulama Islam yang tidak dapat disebutkan jumlahnya menukill hadis tersebut.
Akan tetapi sebab mengapa Rasulullah Saw menyebutkan kata "selama" dalam hadisnya adalah karena berdasarkan pengetahuan ghaibnya, Nabi Muhammad Saw mengetahui bahwa Hassan di akhir hayatnya menyimpang dari wilayah Imam Ali as. Oleh karena itu, Rasulullah Saw mendoakan bahwa selama Hassan membantu Ahlul Bait, maka selama itu pula dia akan diberkahi.(IRB Indonesia/MZ)
Seri Kisah Al-Quran: Harta yang Melahirkan Kesombongan Mampu Mengubur Qarun
Ia senang karena memiliki hubungan kerabat dengan Musa as. Wajahnya tampan dan percaya kepada Taurat. Namun ia adalah seorang yang sangat ambisius dan kikir. Ketika kaum Bani Israel bertahun-tahun terlantar, ia akhirnya menjauh dan membuka usaha. Tidak berapa lama ia berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang berlimpah. Di mana-mana terdengar pembicaraan tentang Qarun dan harta kekayaannya.
Di salah satu pinggir jalan ada sekelompok orang duduk-duduk. Salah seorang dari mereka berkata, "Betapa bahagianya Qarun. Ia memiliki kehidupan yang tenang dan menyenangkan."
Yang lain dengan rasa menyesal berkata, "Aduhai, seandainya kita seperti Qarun memiliki harta kekayaan semacam ini. Allah telah melimpahkan banyak kekayaan kepadanya."
Orang yang lebih mengetahui karakter Qarun berkata, "Sebaiknya jangan menyesal melihat sisi lahiriah kehidupan Qarun yang menipu ini. Karena pahala Allah untuk orang-orang yang beriman lebih mahal dan lebih tinggi."
Orang yang usinya lebih muda di antara mereka menjawab, "Bagaimana kita tidak menyesalinya? Tidakkah kau melihat kunci-kunci gudangnya yang berat sehingga membuat para pengangkutnya yang kuat pun merasa lelah."
Waktu itu Qarun berlalu di depan mereka dengan sikap penuh kesombongan dan memandang mereka dengan pandangan menghinakan.
Para sahabat dan kerabat Qarun setelah melakukan musyawarah mendatanginya dan berkata, "Qarun! Tahukah kamu bahwa tidak seharusnya kamu bangga dengan perhiasan dunia ini. Allah sama sekali tidak menyukai orang-orang yang sombong dan bangga. Oleh karena itu, carilah pahala akhirat melalui apa yang diberikan Allah kepadamu dan gunakan untuk kehidupan di dunia. Berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Tanpa memperhatikan ucapan mereka, Qarun berkata, "Aku raih harta kekayaan ini karena kemampuan yang aku miliki. Allah mengetahui bahwa aku layak untuk memiliki nikmat ini."
Suatu hari para pembantu Qarun datang kepadanya dan berkata, "Nabi Musa as telah datang menjengukmu. Qarun menyambut Nabi Musa as dengan penuh kesombongan dan keangkuhan. Kemudian dengan senyuman menghina dan mengejek ia berkata, "Apa maumu?
Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Nabi Musa as menjawab, "Mengapa kau tidak ikut hadir dalam perkumpulan Bani Israil yang mereka adakan untuk melakukan taubat dan permohonan kepada Allah?"
Qarun menjawab, "Aku tidak ada urusan dengan doa kalian. aku telah menemukan jalan hidupku sendiri."
Musa memahami bahwa kecintaan Qarun kepada harta kekayaan telah mencapai derajat ekstrim dan berlebihan sehingga membuatnya menjadi pribadi yang egois. Ia tidak mau membagikan hartanya sedikitpun kepada orang lain. Nabi Musa as keluar dari istana Qarun dalam keadaan sedih. Namun pada saat itu juga Qarun memerintahkan untuk mengguyur wajah dan kepala Nabi Musa as dengan air kotor. Dengan perbuatannya ini, Qarun telah membuktikan puncak penghinaan dan kezalimannya.
Orang-orang merasa takjub dan ketakutan. Mereka keluar dan tidak tahu apa yang terjadi. Seseorang ketakutan dan dengan suara keras berkata, "Qarun dan harta kekayaannya tidak ada lagi. Allah telah menyerahkan bumi kepada nabi-Nya dan Musa memerintahkan bumi untuk menelan Qarun dan para pendukungnya. Ia telah menghadapi siksa dan pada saat yang sama tidak ada penolong baginya.
Mereka yang kemarin menyesali harta kekayaan dan kedudukan Qarun berkata, "Sungguh kami telah beranggapan salah. Segala puji bagi Allah karena kami tidak seperti Qarun. Sesungguhnya Allah akan melapangkan atau menyempitkan rezeki setiap hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya bila Allah tidak melimpahkan kasih sayangnya kepada kami, nisaya kami pasti tenggelam juga ke dalam bumi.
Terkait masalah ini, dalam al-Quran ayat 78 surat Qashas Allah berfirman, "... apakah ia tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?..."
Kemudian kitab ilahi ini menyimpulkan dalam ayatnya, "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Qashas: 83) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Ritual Haji dan Persatuan Umat
Kongres haji tahun ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya juga digelar dengan penuh keagungan di Tanah Suci Mekkah. Haji adalah manifestasi aktual dari persatuan dan kesatuan umat Islam. Ritual ini membuktikan bahwa dimensi persamaan mereka jauh lebih banyak dari sisi perbedaan. Jika Muslim memelihara persatuan dan kesatuan itu sepanjang tahun di berbagai sektor, maka musuh-musuh Islam tidak akan punya keberanian untuk menginvasi negara-negara Muslim dan menghina sakralitas agama agung ini.
Sepanjang sejarah, Muslim menelan kemunduran terbesar akibat melupakan dimensi persamaan dan menaruh perhatian pada sisi-sisi perbedaan. Kebijakan pecah belah antara sesama Muslim telah menjadi kebijakan strategis musuh-musuh Islam untuk menancapkan pengaruh di tengah mereka. Oleh karena itu, ritual berlepas tangan dari orang-orang musyrik dalam beberapa tahun terakhir terasa sangat penting untuk didengungkan dan dilestarikan.
Filosofi baraah dari orang-orang musyrik mengandung pesan bahwa kongres haji bukan hanya sebuah ritual ibadah, tapi manasik yang mencakup dimensi sosial dan politik. Ritual baraah dari orang-orang musyrik adalah bukti dari dimensi sosial dan politik ibadah haji. Dalam ritual itu, Muslim berlepas tangan dari orang-orang musyrik sekaligus menegaskan persatuan dan kesatuan umat Islam. Tahun ini, acara tersebut juga digelar dengan penuh semangat dan megah.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam pesan haji 1433 Hijriyah, kembali mengingatkan umat Islam untuk mewaspadai kebijakan pecah belah musuh di negara-negara Muslim. Rahbar mengatakan, "Musim haji yang penuh dengan rahmat dan berkah telah tiba dan kembali menyinari mereka yang beruntung hadir di tempat-tempat nurani itu dengan pancaran anugerah Ilahi. Di sini, semua orang mendapat kesempatan berlatih persaudaraan, kesamaan dan ketaqwaan."
Ayatullah Khamenei menambahkan, "Di sinilah kamp pendidikan dan pengajaran; ajang pentas persatuan, keagungan dan keanekaan umat Islam; kancah bergumulan melawan syaitan dan thaghut. Inilah lokasi yang ditetapkan Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa sebagai tempat bagi kaum mukminin untuk bisa menyaksikan kepentingan dan kebaikan mereka. Sesaat ketika membuka mata akal dan ibrah, kita saksikan bahwa janji samawi ini meliputi seluruh sisi kehidupan individual dan sosial kita."
Menyinggung peristiwa-peristiwa penting di dunia Islam, Ayatullah Khamenei menandaskan, "Salah satu masalah terpenting Dunia Islam yang berhubungan langsung dengan nasib umat Islam adalah revolusi yang terjadi di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah. Sampai sekarang, transformasi ini sudah menggulingkan beberapa rezim bejat yang tunduk kepada Amerika Serikat dan bersekutu dengan Zionisme, dan tengah mengguncang kekuasaan beberapa rezim yang lain. Rugi besar jika kaum muslimin tidak memanfaatkan kesempatan agung ini untuk memperbaiki nasib umat Islam. Sekarang, kubu agresor yang suka intervensi tengah menguras tenaga untuk mendistorsi gerakan agung umat Islam ini."
Dalam gerakan-gerakan yang besar ini, Muslim dan Muslimah bangkit untuk melawan kediktatoran para penguasa dan menentang hegemoni AS yang berujung pada pelecehan dan penistaan bangsa-bangsa lain serta kedekatan dengan rezim Zionis Israel yang haus kejahatan. Dalam perjuangan hidup dan mati ini, faktor penyelamat bagi mereka adalah Islam serta ajaran dan syiar-syiarnya. Dan, inilah yang mereka nyatakan dengan suara lantang. Pembelaan kepada bangsa Palestina yang tertindas dan perjuangan melawan rezim Zionis menjadi tuntutan utama mereka. Mereka mengulurkan tangan persahabatan kepada bangsa-bangsa Muslim dan menuntut persatuan umat Islam.
Seperti biasanya sebelum dimulainya manasik haji, Lembaga Bi'tsah dan Badan Penyelenggara Haji Iran di Mekkah telah menggelar beberapa seminar dan pertemuan yang menghadirkan tokoh dan jemaah haji dari berbagai negara Islam. Semua pertemuan itu memfokuskan pada isu persatuan dunia Islam dan pertukaran pemikiran di antara berbagai kelompok mazhab dalam Islam. Salah satu tema seminar internasional itu adalah "Rasulullah Saw dan Kemuliaan Muslim dalam Ajaran Ahlul Bait as." Pertemuan ini digelar untuk membahas pelecehan terhadap Rasul Saw dan Islam dalam beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Para peserta seminar memaparkan pandangan-pandangan mereka tentang kebijakan musuh-musuh Islam dan cara-cara untuk mempererat persatuan di tengah Muslim. Seorang cendekiawan Pakistan, Sayid Shahed Reza dalam ulasannya, menyinggung gelombang kebangkitan di tengah umat Islam menyusul pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw. Dikatakannya, hasil dari Kebangkitan Islam itu akan lebih tampak dan lebih terasa di tengah generasi-generasi mendatang Muslim dunia. Menurut Shahed Reza, kajian terhadap problema-problema umat Islam di sela-sela pelaksanaan ibadah haji akan meminimalisir tantangan yang dihadapi oleh seluruh dunia Islam.
Dia berharap umat Islam dunia bisa mencapai kesamaan visi dalam merespon penistaan terhadap Rasul Saw. Ditambahkannya, "Meskipun tidak adanya koordinasi, Muslim dunia telah mencapai sebuah persatuan dan Kebangkitan Islam dalam menyikapi pelecehan terhadap Nabi Saw."
Seminar lain yang digelar oleh Lembaga Bi'tsah dan Badan Penyelenggara Haji Iran di Mekkah, mengangkat tema "Tanggung Jawab Kita dalam Membela Rasulullah Saw." Syeikh Ali Najafi, putra dari Ayatullah Syeikh Bashir Najafi, dalam pemaparannya menyinggung orang-orang yang merusak citra Islam sepanjang sejarah yaitu, orang kafir dan individu yang berlagak sebagai Muslim. Dikatakannya, kitab suci al-Quran telah berbicara tentang keberadaan orang-orang seperti itu dan menganggap mereka lebih buruk dari kafir.
Menurut Syeikh Ali, "Salah satu tantangan kita adalah sikap-sikap yang secara lahiriyah tampak Islami, namun sepenuhnya bertentangan dengan semangat Islam." Syeikh Ali mengatakan, "Kita harus bertindak selaras dan terkoordinir dalam menghadapi Barat dan mengaktualisasikan sirah Imam Ali as dalam menyikapi musuh."
Sementara itu, anggota parlemen Lebanon dari kubu Hizbullah, Nawar al-Saheli mengatakan, "Pelecehan terhadap Rasul Saw merupakan sebuah konspirasi global terencana. Analisa kami menunjukkan bahwa Zionisme dan arogan dunia terlibat langsung dalam tindakan itu. Meski demikian, reaksi Muslim harus dilakukan dengan bentuk yang tidak sampai disalahgunakan oleh pihak lain. Para pemikir dan cendekiawan harus bertindak dan menetapkan cara yang berperadaban dalam mereaksi masalah tersebut."
Sepanjang musim haji tahun ini, Lembaga Bi'tsah dan Badan Penyelenggara Haji Iran di Mekkah juga menggelar seminar lain dengan tema "Pendekatan Mazhab-mazhab Islam." Dalam pertemuan itu, seorang anggota Dewan Pusat Hizbullah Lebanon, Khalil Rizk seraya mengapresiasi langkah-langkah pemersatu yang diadopsi oleh Republik Islam Iran selama musim haji, mengatakan jika Nabi Muhammad Saw bukan sebagai penghulu para nabi, suci, sakral dan mulia bagi kaum Muslim, maka tidak tersisa lagi sesuatu yang dapat mempersatukan umat Islam.
Menurut Khalil Rizk, perpecahan di tengah kaum Muslim dikarenakan perbedaan pandangan mereka setelah wafatnya Rasul Saw dan bukan karena agama Islam itu sendiri. Ditambahkannya, "Islam sebagai sebuah syariat menyeru seluruh Muslim untuk berpegang pada al-Quran yang satu dan semua juga harus menyeru Tuhan Yang Esa." Menurutnya, Rasul Saw menentang pengelompokan di tengah masyarakat dan semua Muslim diperintahkan untuk bersatu.
Membaca Perubahan Strategi Turki di Suriah
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan sikap baru pemerintahannya menyangkut krisis di Suriah. Dia dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (31/10) di Jerman, mengatakan terserah kepada Dewan Keamanan PBB untuk memutuskan apakah zona larangan terbang harus diberlakukan di Suriah atau mewujudkan zona aman untuk warga sipil di negara itu.
Erdogan seusai bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin, menandaskan bahwa jika Dewan Keamanan tidak membuat keputusan seperti itu, maka tidak ada negara yang berhak memberlakukan zona larangan terbang di utara Suriah. Ditambahkannya, "Pengalaman memberlakukan zona larangan terbang di Irak membuktikan bahwa itu sangat berat bagi kami."
Menurut para pengamat politik, kebijakan baru Erdogan mengindikasikan adanya pergeseran dalam kebijakan pemerintah Ankara terkait krisis Suriah. Sebab sebelum ini, Ankara dengan harapan menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, telah bekerja keras untuk meyakinkan Dewan Keamanan guna menegakkan zona larangan terbang dan menyeru masyarakat internasional untuk menghentikan kekerasan di Suriah, namun upaya-upaya itu gagal karena berbagai alasan.
Di tingkat dunia, memperhatikan veto Rusia dan Cina terhadap setiap intervensi militer di Suriah dan keengganan masyarakat internasional untuk aksi militer di negara itu, maka langkah mundur Turki di Suriah sudah diprediksi sebelumnya.
Di Turki sendiri, opini publik, media massa, dan para politikus partai penguasa juga berbeda pandangan tentang cara menyikapi pergolakan di Suriah, terutama soal penegakan zona larangan terbang.
Sekarang, krisis Suriah sudah menjadi tantangan utama bagi Turki dan setiap hari ikut menambah beban politik dan ekonomi Ankara. Opini publik dan kebanyakan politikus di Ankara percaya bahwa campur tangan Turki dalam urusan internal Suriah secara serius akan merusak citra dan kredibilitas politik negara itu di tingkat regional. Belum lagi, pemerintah Erdogan di awal kepemimpinannya berjanji akan menciptakan dan memelihara hubungan baik dengan negara-negara tetangga.
Beberapa pengamat politik lainnya di Turki meyakini bahwa pandangan para pemimpin negara itu tentang intervensi di Suriah telah berubah, khususnya setelah aksi-aksi terbaru Partai Pekerja Kurdi (PKK) di utara Suriah dan meningkatnya kekuatan para pendukung partai itu.
Beberapa pihak juga percaya bahwa jika Turki bersikeras ingin menegakkan zona larangan terbang di Suriah, maka hubungan negara itu dengan tetangga-tetangganya, terutama Cina dan Rusia akan semakin rumit.
Moskow sebelumnya mengumumkan bahwa teknis penegakan zona larangan terbang di Suriah harus transparan dan terbuka. Menurut Rusia, penentangan terhadap keputusan itu adalah untuk mencegah terulangnya skenario Libya, yang berujung pada intervensi militer asing. (IRIB Indonesia/RM/NA)



























