کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 18 Desember 2021 13:47

Salah Paham Amar Ma’ruf Nahi Munkar

 

Memasuki era dewasa ini, perkembangan fenomena keagamaan semakin bervarian dan dengan beragam ekspresi. Oleh karenanya, beragam pula respon yang dihadapi masyarakat terkait fenomena yang berkembang di tengah masyarakat yang multikultural, layaknya Indonesia. Terlebih dari segi keagamaan (Islam) sebagai masyoritas, menjadi simbol kemajuan peradaban Islam di Indonesia.

Sebagaimana Islam yang ditumbuhkembangkan oleh Nabi Muhammad Saw, upaya mengimplementasikan nilai agama dengan santun, damai, cinta kasih, dan toleran begitu diharapkan dalam kehidupan. Akan tetapi, Sihabuddin Afroni dalam karyanya dengan judul “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstrimisme Beragama”, menyebutkan bahwa tidak sedikit pula ada kelompok Islam ekstrem (ghuluw) juga mulai berkembang di Indonesia, dimana mereka kerap kali menyandarkan pada teks-teks atau dalil dalam merespon segala hal.

Salah satu respon yang acap kali digaungkan oleh kelompok Islam tersebut adalah prinsip dalil ‘amar ma’ruf nahi munkar. Memang perintah tersebut sudah termaktub dalam al-Qur’an sebagai kitab suci, dan beberapa seruan untuk melakukan kebaikan, membela yang benar dengan bijak. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, pemaknaan teks ‘amar ma’ruf nahi mungkar oleh beberapa kelompok Islam yang condong pada tindakan dan pemikiran ekstrim disalahtafsirkan.

Sebagaimana dalam kasus beberapa tahun silam ketika kelompok Front Pembela Islam yang mengobrak-abrik (merusak) warung dengan dalih mengasnamakan agama. Ekstrem dalam KBBI bermakna: a). paling keras, paling ujung, paling tinggi: b). sangat teguh, fanatik, keras. Dengan begitu, ekstrimitas merupakan suatu hal (perbuatan/tindakan) yang keluar dari batas.

Jika diposisikan dalam terminologi syariat Islam, sikap demikian disebut dengan ghuluw (berlebihan dalam suatu perkara). Atau juga bisa didefinisikan sebagai suatu sikap yang melampaui batas. Secara istilah, ghuluw merupakan tipe atau model keberagamaaan yang mengakibatkan seseorang yang menempuh jalan tersebut tidak sesuai dengan syariat.

Namun, terdapat istilah lain dalam konteks tersebut, seperti halnya ifrat (mempersempit), tanattu’ (bersikap keras), takalluf (memaksakan diri) atau tashaddud (menyusahkan sesuatu). Secara garis besar, sikap tersebut dibagi menjadi dua bagian. Pertama ekstrem dalam segi akidah, seperti halnya ghuluw orang-orang Nasrani terhadap konsep Trinitas yang begitu mengagunggkan Nabi Isa As, bahkan menganggapnya sebagai Tuhan atau anak Tuhan.

Dalam Islam sendiri sikap demikian juga dianut oleh kelompok Syiah Rafidhah yang kala itu memposisikan Ali bin Abi Thalib lebih tinggi dari para sahabat dan Rasulullah Saw. Bahkan yang lebih ekstrem mereka menganggap Ali sebagai manifestasi dari Allah SWT. Salah satu contoh ekstrem lainnya yaitu ketika seorang sufi yang menganggap gurunya yang paling benar dan tidak mungkin salah/keliru.

Sedangkan makna teks amar (al-amr) sendiri berakar dari kata bahasa Arab yang artinya perintah, menyuruh atau juga memerintahkan. Ma’ruf sendiri berartikan diketahui, dikenal, serta diakui baik oleh masyarakat, akal sehat bahkan syariat Islam. Teks ma’ruf, didefinisikan sebagai suatu kebaikan yang sudah diakui dan dikenal oleh kebiasaan (‘uruf) yang sudah melekat di tengah kehidupan masyarakat.

Seperti halnya yang ditulis oleh Muhbib Abdul Wahab dalam karyanya yang bertajuk “Kontekstualisasi Amar Ma’ruf  Nahi Munkar”, contoh kecil dapat kita lihat seperti menyingkirkan batu dan duri di jalan, bersalaman dengan orang yang lebih tua, aktivitas gotong royong dan sebagainya.

Sedangkan sambungan teks tersebut yaitu nahi munkar (an-Nahyu ‘an al-munkar) berarti mencegah segala hal yang ditolak, melarangnya, dinilai tidak masuk ruang lingkup kebaikan, dibenci, dan dinilai tidak sesuai dengan tatanan norma dan syariat Islam. Sepeti contoh, membuang sampah sembarangan, korupsi, merampok, mencuri, melakukan kerusakan, berjudi, dan hal yang senada.

Sebagaimana umumnya diketahui, ciri khas Islam ekstrem yaitu menyandarkan segala sesuatu kepada teks keislaman, bahwa memandang hal yang tidak sependapat dengan pemikirannya adalah tindakan yang yang tidak tepat secara syariat. Tindakan demikian kurang tepat implementasinya jikalau menggunakan kekerasan dan pengerusakan seperti halnya FPI yang acap kali merusak fasilitas dan hak milik orang lain atas nama agama.

Konsep amar ma’ruf nahi munkar pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki dan merubah situasi kondisi masyarakat/manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imaran: 104:. Redaksi dalam ayat tersebut memerintahkan dan mengajak kepada umat Islam kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran. Dalam hal ini pada akhirnya memunculkan istilah dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah yang dimaksud di sini adalah secara luas, dalam artian tidak terbatas hanya dengan lisan (pidato, ceramah, orasi, dan hal yang senada), akan tetapi juga mencakup bagaimana bertindak berperilaku yang baik, adil, memberdayakan umat, menegakkan hukum.

Terlebih pada kasus yang kerap kali terjadi seperti halnya kelompok Islam Front Pembela Islam pada beberapa tahun terakhir melakukan tindak kerusuhan, maka tidak sejalan dengan tujuan awal diturunkannya teks Al-Qur’an tersebut. Kesalahpahaman dan penafsiran yang dangkal menjadikan pemahaman Islam ekstrem pun sempit dan menghalalkan segala cara dalam meraih keinginannya, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.

Khaled abou el-Fadl menjuluki kelompok tersebut dengan puritan, eksklusif, intoleran, tekstualis dan ekstrem. Dalam konteks kekinian, Islam ekstrem di Indonesia diwakili oleh kelompok FPI, LDII, HTI, Mujahidin Indonesia Timur dan sekte yang senada. Bahkan hal demikian juga menjamur pada ranah Universitas yang kini dikenal dengan Gema Pembebasan yang begitu semangat menggaungkan isu negara Khilafah sebagai patokan paten dalam bernegara ala Islam.

Begitu pula dengan adanya jargon jihad fi sabilillah yang dimaknai dengan memerangi kebathilan dengan cara apa pun. Mengatasnamakan agama dalam memberantas segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pemikirannya semakin gencar dalam membumikan dakwah yang menurutnya benar. Jihad dipandang juga sebagai salah satu jalan perang suci yang harus dilaksanakan dengan penuh semangat, bahkan siapa pun penganut aliran ekstrem jika gugur dalam proses jihad tersebut, maka balasan yang mereka yakini adalah syurga dan sahid.

Seperti halnya aksi pengeboman dan bahkan aksi teror di berbagai instansi pemerintahan maupun khalayak umum dengan dalih atas nama membela Islam. Padal dalam Islam sendiri, pemahaman secara teks saja tidak cukup dalam memahami makna berislam ala Nabi Muhammad Saw yang penuh dengan kesantunan dan toleransi dalam penerapannya. Bahkan Islam sediri dalam realitasnya dalam al-Qur’an banyak menyeru tentang kebaikan dan seruan perdamaian tanpa kekerasan.

Dengan begitu, tindakan yang dilakukan kelompok Islam ekstrem dalam memahami teks amar ma’ruf nahi munkar tersebut terdapat kesalahpahaman jika masih terdapat unsur kekerasan atau pengerusakan di dalamnya. Sesuai dengan prinsip Islam yang damai dan santun kepada siapapun, konsep rahmatan lil ‘alamin, merupakan upaya implementasi yang tepat untuk dibumikan di Indonesia.

 

Apakah ada cara untuk menghilangkan was-was? Apakah Islam mempunyai nasihat bagaimana menghilangkan was-was?!

Salah satu cara setan untuk mengganggu amal ibadah manusia adalah dengan menciptakan waswas dalam diri manusia.

Setan bisa membuat rasa was-was dalam diri manusia sehingga manusia merasa ragu akan ibadahnya. Misalnya saja ketika seseorang mengambil air wudhu kemudian setelah berwudhu dan hendak pergi untuk melakukan shalat lalu di dalam hatinya berkata “Apakah wudhuku sudah benar apa belum ya?” “Tadi aku basuh tangan dengan benar atau belum ya?”

Dikarenakan was-was tersebut si fulan bahkan bisa mengulang-ngulang wudhu hingga tak pernah melakukan shalat. Hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak baik.

Lalu bagaimana caranya untuk menangani was-was ini?

Baginda Nabi Muhammad saw dan ahlul bait beliau pernah berpesan bahwa untuk mengamalkan dan mengulang dzikir ini sehingga terhidar dari was-was. Dzikir tersebut ialah;

اعوذ بالله السمیع العلیم من الشیطان الرجیم و اعوذ بالله ان یحضرون ان الله هو السمیع العلیم

Audzubillahis samiul aliim minas syaitanir rajiim wa audzubillah an yahdharuna. Innallaha huwa samiul aliim.

Selain itu untuk menghilangkan rasa was-was, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata untuk banyak membaca shalawat –Allahumma shali ala Muhammad wa ala ali Muhammad- dan juga berpuasa di hari Rabu di pertengahan bulan serta hari Kamis di awal dan akhir bulan.

Sabtu, 18 Desember 2021 13:38

Hak-Hak Anak Menurut Imam Sajad As

 

Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata, “Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk perkembangannya.”

Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia. Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi senyuman dan nada pembicaraan yang baik.

Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat keji.

Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.

Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.

Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri. Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, “Orang yang memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya.”

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.”

Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia. Semoga Allah Swt senantiasa membantu para orang tua untuk mendidik putra putrinya dengan baik sehingga akan menjadi generasi-generasi yang berbobot dan akan memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakatnya.[

 

Apakah perbuatan baik Non-Muslim itu diterima atau tidak? Jika diterima, berarti antara Muslim dan Non-Muslim menjadi tidak berbeda lagi; yang penting, orang tersebut berbuat baik di dunia. Kalau orang itu kita asumsikan Non-Muslim atau tidak beragama sama sekali, ia tidak akan merugi sama sekali. Dan sekiranya tidak diterima, bahkan perbuatannya itu Iaksana debu yang bertebaran, tidak mendapat pahala dari Allah, bagaimana hal itu bisa sejalan dengan keadilan llahi?

Dewasa ini, di berbagai kalangan dari kaum intelektual hingga awam kita menemukan pertanyaan yang menyangkut keadilan Ilahi dan sering diperdebatkan mengenai masalah perbuatan baik Non-Muslim seperti pertanyaan di atas. Dahulu, pertanyaan semacam ini hanya ada dalam perbincangan para filsuf dan dibahas dalam buku-buku filsafat. Sedangkan pada masa sekarang, pertanyaan itu terlontar dari bibir orang di setiap kalangan. Jarang sekali kita temukan orang yang tidak melontarkan pertanyaan seperti itu, paling tidak kepada dirinya sendiri.

Manusia adalah tonggak seluruh makhluk, dan segala sesuatu selainnya diciptakan untuknya, tentunya dengan konsepsi benar yang dipahami oleh ahli-ahli hikmah, bukan yang biasa dikhayalkan oleh mereka yang berpandangan sempit. Lalu, kalau kita berasumsi bahwa manusia itu sendiri diciptakan untuk masuk neraka, orang akan meyakini bahwa kemarahan Allah lebih besar daripada rahmat-Nya. Mengingat kebanyakan manusia terasing dari agama yang benar, bahkan mereka yang mendapat cahaya agama yang benar masih pula banyak yang menyimpang dari segi perbuatan dan pelaksanaannya.

Kira-kira sejak setengah abad lampau -bersamaan dengan semakin mudahnya komunikasi antara kaum Muslim dan selainnya, banyaknya sarana interaksi umum di antara  mereka, dan seringnya  terjadi pertemuan di antara mereka, persoalan amal baik Non-Muslim ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan, khususnya di kalangan yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual tercerahkan. Mereka mulai mempersoalkan apakah syarat utama diterimanya perbuatan-perbuatan baik itu status pelakunya harus sebagai Muslim?

Tatkala banyak orang membaca biografi para pencipta dan penemu pada zaman modern yang telah memberikan sumbangan tak ternilai kepada manusia, padahal mereka bukan orang-orang Islam, mereka bertanya: apakah orang-orang ini berhak mendapatkan pahala di sisi Allah? Dan mengingat mereka lazim berpikir bahwa perbuatan Non-Muslim itu semuanya sia-sia dan tidak ada artinya, mereka menjadi mangsa kebimbangan dan keguncangan.

Atas dasar itu, persoalan yang tidak pernah lepas dari pikiran para filsuf dan tidak pernah terlewatkan untuk dibahas dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka itu kini semakin  menggelisahkan setiap pikiran dan menghangatkan setiap pertemuan. Suara-suara tentangnya pun semakin bermunculan, sebagai keberatan yang dihadapkan pada keadilan Ilahi. Memang, keberatan ini tidak Iangsung menyangkut keadilan llahi, tapi ia secara primer menyangkut perspektif Islam tentang manusia dan segenap perbuatannya. Baru setelah itu, secara sekunder, ia berkaitan dengan keadilan llahi manakala perspektif Islam tentang manusia, perbuatan-perbuatan dan perlakuan Allah terhadapnya itu dianggap berlawanan arah dengan kriteria-kriteria keadilan Ilahi.

Tak pernah hilang dari ingatan saya ketika seorang pria dari kota kelahiran saya datang ke Teheran. Dia adalah Muslim yang taat beragama. Ketika berjumpa dengan saya, dia mendebat saya mengenai persoalan ini. Orang itu telah menyaksikan para perawat Kristen yang merawat dengan ikhlas (paling tidak sesuai dengan keyakinan mereka) sejumlah pasien penderita lepra di rumah sakit Masyhad. Kejadian itu sangat memengaruhi, membingungkan, dan menyebabkannya ragu-ragu dan bertanya-tanya. Sebagaimana Anda ketahui, merawat orang sakit lepra adalah pekerjaan berat yang biasanya dihindari oleh para perawat lantaran tingkat kesulitannya yang demikian tinggi. Saat rumah sakit itu didirikan, tidak banyak dokter yang mau bertugas, demikian pula dengan umumnya perawat lokal yang enggan bekerja di sana.

Untuk itu, dipasanglah iklan di berbagai surat kabar tentang Iowongan tenaga perawat. Hasilnya, tidak seorang pun perawat di seluruh Iran yang mengajukan lamaran. Akibatnya, lowongan itu diisi oleh para perawat asketik Kristen asal Prancis. Mereka datang dan memikul tugas sebagai perawat di rumah sakit kusta tersebut. Pengorbanan, tindakan kemanusiaan, dan keikhlasan yang diperlihatkan oleh para perawat itu begitu berkesan pada diri para pasien yang telah terasingkan, bahkan dari ayah dan ibunya.

Orang tadi menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Kristen tersebut mengenakan pakaian panjang yang sangat rapi dan bersih, dan tidak tampak selain wajahnya. Masing-masing memegang rosario panjang, kira-kira berisi seribu biji. Setiap kali berhenti bekerja, mereka berdoa menggunakan rosario.

Selanjutnya, dengan pikiran yang sangat bergejolak dan dengan penuh semangat, ia bertanya, apakah benar pendapat yang menganggap bahwa selain orang-orang Islam itu tidak akan ada yang masuk surga? Di sini, saya tidak akan membicarakan motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedatangan para perawat Kristen tadi. Apakah memang benar-benar karena Allah dan di jalan-Nya, atau kecintaan sejati terhadap kemanusiaan, ataukah ada motif-motif lain yang tidak kita ketahui?

Saya tidak akan pesimistis, sekalipun tidak pula sepenuhnya optimistis. Saya hanya bermaksud menjelaskan bahwa peristiwa dan pelayanan tersebut begitu berpengaruh terhadap masyarakat kita dan mendorong putra-putri kita untuk bertanya dan mencari-cari.

Ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di sebuah perkumpulan, hadirin diminta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka ingin, saya memilih tema ceramah dari salah satu pertanyaan-pertanyaan tadi. Lalu saya temukan bahwa pertanyaan yang paling banyak diulang adalah sebagai berikut: “Apakah Allah akan melemparkan semua Non-Muslim ke neraka? Apakah Louis Pasteur, Thomas Alva Edison, dan Robert Koch termasuk mereka yang akan disiksa di akhirat (mengingat banyaknya asa mereka untuk peradaban dunia)?”

Sejak itu, saya sendiri menyadari betapa pentingnya masalah itu, dan betapa ia telah mengganggu pikiran dan jiwa banyak orang. Melalui diskusi ini, kita tidak bermaksud mengetahui tempat kembalinya seseorang. Kita tidak akan bisa memastikan apakah Pasteur adalah penghuni surga ataukah penghuni neraka. Karena, kita tidak bisa memastikan beberapa pertanyaan penting berikut: Apakah hakikat pemikiran dan keyakinannya? Apakah niat-niat sejatinya? Bagaimana pula watak-watak spiritual dan moralnya? Bahkan, bagaimana keseluruhan perbuatannya dalam hidupnya? Selain pengabdian-pengabdian ilmiahnya, kita tidak tahu banyak tentang dirinya.

Hal demikian tidak terjadi pada Pasteur saja, tetapi juga pada yang lain. Pada dasarnya, seseorang tidak berhak memastikan pendapatnya mengenai orang lain, apakah orang tersebut penghuni neraka atau penghuni surga. Status mereka sepenuhnya di tangan Allah. Dan tak seorang pun berhak mengungkapkan opininya dengan penuh keyakinan terkait apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.

Apabila kita ditanya, apakah Syaikh Murtadha Al-Anshari (semoga Allah merahmatinya) dengan segala kezuhudan, ketakwaan, keimanan, dan amal salehnya pasti termasuk penghuni surga atau tidak? Maka jawabannya adalah, sepengetahuan kami yang tidak pernah mendapati beliau melakukan kejelekan ilmiah dan amaliah, seluruh diri beliau adalah baik dan istiqamah. Adapun apakah seratus persen beliau menjadi penghuni surga, haL itu bukan urusan kita. Karena itu adalah hak prerogatif Allah yang Maha Mengetahui hati dan niat seseorang, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui rahasia paling tersembunyi dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, urusan mereka terserah kepada Allah. Kita bisa mengutarakan pendapat pasti ihwal orang-orang yang telah diceritakan oleh para wali Allah mengenai status ukhrawi mereka kelak.

Bersambung…..

 

Berdasarkan hadis dan riwayat dari Aimmah, dapat ditegaskan bahwa dosa termasuk salah satu faktor yang dapat menyebabkan terputusnya hubungan antara kita dengan Allah Swt, dan melenyapkan restu (taufiq) Allah, serta menghilangkan berbagai nikmat dan karunia-Nya yang hendak diberikan kepada kita.

Kenyataan seperti ini diungkapkan oleh pelbagai hadis dengan gaya ungkapnya yang bermacam-macam. Antara lain dari Imam Jafar Shadiq a.s.: “Jika seseorang melakukan kesalahan, maka akan muncul satu titik hitam di hatinya, dan jika dia taubat, maka akan hilang satu titik hitam itu. Tetapi jika kesalahannya bertambah, maka titik itu pun akan bertambah, sampai titik-titik itu mengalahkan hatinya. Dan setelah itu dia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan.” (Ushul AI-Kafi, 3/373)

Dalam hadis yang lain beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah SWT mewahyukan kepada Daud, ‘Ada satu hal dari tujuh puluh macam sanksi yang akan Kuperbuat kepada seorang hamba yang tidak mengamalkan ilmunya, yaitu akan Kucabut dari hatinya kenikmatan untuk berzikir kepada-Ku.” (Dar Al-Salam, 3/200)

Ada seseorang yang datang kepada Amirul Mukminin Ali a.s. sambil mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah mengharamkan salat malam kepada diriku.” Lalu beliau menjawabnya: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang telah terkekang oleh dosa-dosamu.” (Ilal AI-Syara’i, 2/51)

Imam Jafar Shadiq a.s. dalam hal ini mengatakan: “Sesungguhnya seseorang yang melakukan suatu dosa akan dihalangi untuk melakukan salat malam. Dan sesungguhnya perbuatan buruknya akan lebih cepat menggeroroti dirinya daripada pisau yang menyayat daging.” (Ushul Al-Kafi, 3/374)

Seseorang yang melakukan salat di tengah malam dan jauh dari jangkauan penglihatan manusia, sehingga akan jauh dari perbuatan riya. Di samping itu, untuk melakukan salat ini, seseorang harus melawan cuaca yang dingin, rasa kantuk yang menyerang, serta mengabaikan keperluan untuk beristirahat. Tidak ada dorongan yang lain baginya untuk melaksanakan salat ini kecuali untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Imam Jafar a.s. yang mengatakan: “Ketika turun ayat ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal (QS. Ali Imran: 135-136).’

lblis mendaki gunung yang disebut Tsur di Makkah, kemudian berteriak dengan suara yang sangat keras memanggil bala tentaranya, lalu mereka berkumpul semuanya di situ. Kemudian mereka mengatakan: ‘Wahai tuan kami, mengapa engkau mengundang kami ke sini?’

Iblis menjawab: ‘Turun ayat ini, lalu siapa yang bisa mendampingi ayat tersebut?’ Maka berdirilah salah satu setan sambil mengatakan, ‘Aku yang akan mendampinginya, aku akan begini dan begitu.’ Iblis menjawab: ‘Engkau belum pas mendampinginya.’ Lalu berdirilah yang lain dan mengatakan seperti itu pula, dan Iblis pun menjawabnya: ‘Engkau belum pas mendampingi ayat itu.’ Maka berkata Al-Waswas Al-Khannas, ‘Aku akan mendampinginya.’ lblis mengatakan: ‘Dengan apa?’ Dia menjawab:  ‘Aku akan memberikan janji dan angan-angan kepada manusia sampai mereka mau melakukan suatu kesalahan. Dan bila mereka telah terperosok ke dalam kesalahan, maka aku akan membuat mereka lupa untuk melakukan istighfar.’ Maka berkata lblis kepadanya: ‘Engkau yang paling cocok mendampingi ayat tersebut.’ Lalu dia ditugaskan untuk mengawal ayat ini sampai hari kiamat nanti.” (Amali AI-Shaduq, hal. 465)

Dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dosa dijadikan oleh setan sebagai satu media untuk menjerumuskan manusia kepada kesengsaraan dan menjauhkannya dari rahmat Allah Swt setelah itu.

 

Setelah kita membaca dan mengkaji dampak positif kebahagiaan dalam kehidupan kemarin yaitu kebahagiaan menjadi sebab seseorang merasakan kenikmatan-kenikmatan Ilahi , sekarang kita akan membahas dampak yang lainnya.

2. Kebahagiaan Menyebabkan Badan Sehat Serta Psikologi Tenang

Rasa senang dan bahagia mampu menjaga kita dari serangan stress dan gangguan psikologi. Selain itu juga bahagia mampu menjaga kesehatan psikologi kita. Namun manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh psikologi saja akan tetapi dirasakan juga oleh badan dan jasmani kita.

Imam Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata;

السرور یبسط النفس و یثیر النشاط

“Rasa bahagia itu meluaskan ruh dan benih keceriaan.”

Pada kenyataannya maksud dari kata meluaskan ruh adalah menambahkan potensi manusia untuk berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam kehidupan yang mana menyebabkan seorang manusia ketika berhadapan dengan kesulitan, ia mampu menghadapinya dengan sikap positif dan tidak akan menyerah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut.

 

Bahagia merupakan sebuah keadaan positif yang muncul pada diri manusia dan berlawanan dengan rasa sedih dan risau. Selain itu juga bahagia bisa dipredikatkan pada seseorang yang mana menjadi orang tersebut sedang berbahagia.

Dampak Positif Bahagia dan Ceria dalam Kehidupan

1. Kebahagiaan menjadi sebab seseorang merasakan kenikmatan-kenikmatan Ilahi

Siapa saja yang lebih banyak mendapatkan rasa bahagia dalam kehdiupannya maka ia akan merasakan dengan perasaan mendalam terhadap nikmat-nikmat Ilahi dan dengan mudahnya ia tidak akan cepat masuk dalam keadaan rasa sedih dan risau.

Selain itu karena ia sendiri merasa bahagia maka ia mampu memberikan pengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Kemudian ia selalu percaya pada Kekuatan Tanpa Batas Ilahi dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.

Kebalikan dari keadaan ini yakni mereka yang tidak merasakan kebahagiaan akan selalu berpikir dengan rasa sakit, kesulitan-kesulitan yang komplit dalam kehidupannya. Dan biasanya ketika dalam keadaan yang biasa pun yakni tidak adanya rasa sakit dan kesulitan kemungkinan ia akan kehilangan kenikmatan-kenikmatan yang ada. Dan dengan merusak keadaan maka bisa jadi harapan akan masa depan pun terganti dengan rasa keputus asa-an.

Sabtu, 18 Desember 2021 13:21

Cakupan Kemaksuman Para Nabi

 

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu sisi dari cakupan kemaksuman para nabi. Yaitu telah disebutkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik dengan sengaja atupun tidak.

Telah disinggung juga sedikit tentang pendapat Fakhr Razi berkaitan dengan bolehnya para nabi melakukan dosa sebelum masa kenabian. Tentu saja ini juga berkaitan dengan batasan ishmah dari sisi lainnya.

Untuk lebih jelasnya, di sini akan dimuat pernyataan lainnya yang menyebutkan pendapat tersebut dengan lebih gamblang:

“Mereka juga berbeda pendapat tentang waktu wajibnya ishmah tersebut. Sebagian mereka berpendapat: semenjak lahir sampai wafat. Dan kebanyakan mereka meyakini bahwa: ishmah tersebut hanya berlaku pada masa kenabian, adapun sebelumnya, maka tidak wajib. Dan ini adalah pendapat kebanyakan pengikut mazhab kita (Asyari)” semoga Allah merahmati mereka.”[1]

Dalam catatan ini Fakhr Razi tidak mengatakan semua kalangan Asyari berpendapat demikian akan tetapi hanya mengatakan kebanyakan mereka saja.

Berseberangan dengan pendapat di atas, mazhab Imamiah berkeyakinan bahwa para nabi semenjak lahir sampai wafat mesti maksum. Dalam kitab al-Lawami’ disebutkan:

“Dan pengikut mazhab Imamiah berpendapat: sesungguhnya mereka semua (para nabi dan rasul) maksum dari segala jenis dosa baik dosa besar maupun kecil, sengaja atau tidak, tersalah maupun secara takwil dan sebelum kenabian maupun pada masa kenabian. Hal ini adalah kebenaran yang terang benderang.[2]”

Di dalam kitab lainnya; Ashl al-Syiah, secara khusus disebutkan bahwa nabi Muhammad SAWW maksum semenjak lahir hingga wafatnya:

“Syiah Imamiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebutkan oleh al-Quran merupakan utusan Allah SWT dan hamba-hamba yang dimuliakan, diutus untuk mengajak manusia menuju kebenaran. Dan bahwa Muahammad SAWW adalah penutup para nabi serta penghulu para rasul, maksum dari melakukan salah dan dosa, ia tidak melakukan maksiat selama hidupnya serta tidak melakukan selain apa-apa yang diridhai oleh Allah SWT sampai ajal menjemputnya.[3]”

Dari beberapa catatan di atas dapat dipahami bahwa, berbeda dengan mazhab Asyari yang meyakini bahwa para nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian, mazhab Syiah meyakini bahwa para nabi terkhusus Rasulullah SAWW maksum semenjak lahir sampai wafat.

Namun, meyakini bahwa nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian memiliki konsekuensi tertutupnya jalan pembuktian kenabian.

Sebab, jika sebelum kenabian ada kemungkinan para rasul melakukan kebohongan, lupa, kesalah dan dosa, maka bagaimana kita bisa mempercayai mereka setelah kenabian? Karena mungkin saja pengakuan mereka di awal kenabian dianggap sebagai kebohongan atau kesalahan. Dan selama ada kemungkinan ini maka kita tidak akan pernah sampai kepada keyakinan akan kenabian mereka.

Dengan begitu, tujuan Allah dalam mengutus para nabi (manusia mendapat hidayah dengan mengikuti mereka), tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kemaksuman mereka sebelum kenabian adalah suatu kemestian.

Di samping itu, masa lalu yang kelam tentu saja akan berpengaruh terhadap dakwah para rasul, karena akan dijadikan alasan para pengingkarnya untuk menolak ajarannya. Hal ini akan sangat berbeda, jika para nabi memiliki latar belakang yang bersih tanpa noda. Sebab dengan begitu tidak ada sedikitpun celah dan alasan bagi ummatnya untuk tidak mengikuti ajaran mereka.

Coba kita bayangkan seandainya nabi Muhammad SAWW sebelum kenabian pernah melakukan kebohongan, lantas kira-kira bagaimana reaksi penduduk Makkah terhdap dakwah beliau yang pertama?

Dan bandingkan dengan nabi yang memiliki latar belakang terpercaya dengan menyandang gelar “amin”, tentu saja reaksi mereka akan berbeda.

Oleh karena itu mari memilih salah satu dari dua keyakinan di atas dengan konsekuensinya masing-masing.

[1] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Ishmat al-Anbiya, hal: 40, cet: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniah, Qaira.

[2] Al-Sayuri al-Hilli, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah, al-Lawami’ al-Ilahiyah Fi al-Mabahits al-Kalamiah, hal: 171, cet: Tabriz Iran, 1394 H.

[3] Kasyif al-Ghitha, Muahmmad al-Husain, Ashl al-Syiah wa Ushuluha, hal: 143, cet: Dar al-Adwa.

Sabtu, 18 Desember 2021 13:20

Ruh, Hati dan Akal

 

Manusia adalah makhluk bereksistensi. Ia ada sebagai bagian dari yang hadir di alam realitas. Sebagai bagian tersebut, ia ada secara bersamaan dengan entitas-entitas alam yang lain: langit, bumi, tumbuhan hewan dan sebagainya. Namun cara bereksistensi manusia amatlah khas. Pusat keunikan eksistensi manusia adalah kesadaran bahwa dirinya eksis. Karena kesadaran inilah yang menjadikan manusia tak sekedar menyadari dirinya yang eksis tapi lebih dari itu ia dapat bertanya ‘mengapa ia mesti eksis?’.

Eksistensi manusia dengan kesadarannya tak dibiarkan begitu saja terlewat, terlebih dalam momen-momen tertentu, manusia mesti bertanya akan eksistensinya. Dan di dalam pertanyaan itu ia pun bertanya apa itu eksistensi. Namun sebelum pertanyaan itu muncul, eksistensinya telah mendahuluinya. Eksistensi harus terlebih dahulu ‘eksis’ sehingga ia menjadi bahan pertanyaan, dan itu berarti seragam jawaban akan eksistensi tak akan mengubah eksistensi itu sendiri. ‘Bertanya’ dengan begitu bukan soal eksis atau tidak, melainkan lebih menegaskan kebutuhan manusia akan makna, makna akan eksistensinya.

Lebih mendasar lagi, dengan kemampuannya bertanya, berarti ada suatu dalam diri manusia yang membuatnya sanggup bertanya, yang mau tidak mau ia pun haruslah eksis sebagai suatu yang bertanya. Semua ini terlihat membentuk suatu lingkaran eksistensial dimana yang eksis bertanya tentang eksistensi. Teramat jelas bahwa tubuh manusia bukanlah entitas yang mempertanyakan makna eksistensi. Tubuh dan seluruh entitas material hanya mengalami fenomena-fenomena empiris tanpa bertanya akan apa yang dialaminya. Tubuh material praktis tunduk pada hukum-hukum alam, berjalan sesuai ritme kausalitas yang menggerakkan dirinya. Tubuh tak pernah memiliki cara untuk bereksistensi kecuali ada sebagaimana adanya.

Geliat Ruh Menggerakkan Hati Manusia

Manusia pada akhirnya tak puas dengan eksistensi tubuhnya dan aspek-aspek material yang dijalaninya setiap hari. Lalu manusia bertanya, ‘siapa dirinya, siapa aku’. Filsafat lalu hadir mencari jawaban, dan Rasio adalah basis untuk mencari jawaban tersebut. Rasio-lah yang selama ini dianggap sebagai energi bagi manusia untuk mengkonsepsi segala realitas. Rasio sebagai alat untuk mengkonsepsi memang menghadirkan suatu kenyataan yang khas pada manusia, manusia mengerti mengapa alam ini memunculkan fenomena-fenomena, terjadi itu dan ini. Rasio ini kemudian mengambil bentuk disiplin keilmuan bernama sains.

Rasio sains ini memang memberi warna bagi wawasan manusia akan alam, tapi tetap saja ia terkait dengan sesuatu yang di luar rasio itu sendiri. Rasio ini diandaikan begitu saja, dijadikan alat untuk mengkonsepsi dan bahkan untuk memanfaatkan potensi-potensi di alam guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidup manusia. Namun rasio sebagai dirinya yang eksis, dan bahkan mengapa ia dapat bekerja sedemikian rupa: mengkonsepsi, menganalisa, mengimajinasikan, dan sekian aktivitas rasional. Kekuatan apa yang ada pada rasio sehingga menjadikannya demikian?

Jika rasio menjadi titik tolak untuk menjawab fenomena alam, bagaimana ia sendiri dapat menjawab siapa dirinya? Filsafat lalu menempatkannya sebagai ranah ‘transendental’ yang hanya bisa diandaikan dan diterima adanya tanpa sanggup dikuliti dan dianalisa.

Kaum sufi, lalu melihat ada sesuatu yang belum terjawab, yakni hakikat diri. Hakikat diri ini tak mungkin lagi dijangkau oleh rasio, meskipun fenomena rasional berkontribusi memberi jalan bagi kesadaran akan yang ‘transenden’. Berarti dunia ini baik lahir maupun batin, tak berdiri sendiri sebagai entitas yang mengalami fenomena-fenomena. Ada yang menggerakkannya, mengarahkannya untuk sampai pada potensi-potensi yang dimilikinya.

Tesis al Quran Tentang Ruh, Hati dan Akal

Al Quran mengajukan satu tesis penting, bahwa manusia terlahir di dunia ini dengan bersendikan Ruh, ‘wa alqoyna fihi min ruhii’. Ada ruh yang meliputi diri manusia. Dan ruh itu sendiri tanpa tanpa identitas apapun kecuali ia adalah ‘perintah tuhan’, ‘qulil ruhi min amri robbi’. Karenanya, ruh adalah ‘energi’ Tuhan yang bekerja menurut perintahNya. Secara semantik, al Quran tak pernah menyebut ‘akal’ sebagai subyek/pelaku kegiatan-kegiatan konsepsi. Melainkan akal diletakkan sebagai bentuk kerja (predikat) pada hati,…’lahum qulubun ya’qiluna biha’,.. ‘afala ta’qilun’.

Maka ruh adalah energi pada hati untuk bergerak memaksimalkan potensi akalnya. Jika ruh adalah perintahNya, dan segenap realitas adalah iluminasi dan semburat cahaya wujudNya, maka apa yang menjadi tugas bagi ruh tiada lain agar segala realitas bersedia tunduk padaNya. Sehingga tujuan hakiki dari seluruh bangunan konseptual manusia melalui hati-pikiran/akalnya adalah ketundukan akan Hakikat dzatNya. Maka alam dijadikanNya sebagai ‘ayat’ yakni ‘tanda’, sebagai tanda eksistensi alam hanya gambaran belaka untuk membawa hati-pikiran kembali pada subyek hakiki yang ditandainya, Tuhan. Dan jika, hati tak berupaya melampaui alam dan bahkan terjebak di dalamnya, maka tiada yang dituju kecuali hanya kegelapan belaka. Maka, nafs yang menghendaki keburukan, dalam kerangka ini adalah suatu stagnasi berpikir manusia.

Tingkatan Ruh

Ruh sebagai eksistensi perintahNya adalah suci, sebagaimana ia menggambarkan Kesucian dzat Tuhan. Namun dalam proses emanasinya di alam ruh mengambil bentuk-bentuk yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kadar penciptaan. Pada benda-benda mati, ruh hanya berfungsi sebagai potensi gerak perubahan aksidental. Yang bertujuan untuk mengubah satu bentuk ke bentuk yang lain, hingga mencapai batas akhir eksistensinya yakni kehancuran.

Pada hewan dan binatang, ruh bekerja sebagai semata hasrat untuk memenuhi kehidupan (survivalitas). Ia bekerja memberi energi untuk menghasrati sesuatu, menjadi ‘insting’ kehidupan alami dalam pelbagai rupa, insting mencari makan, insting bertahan hidup, melindungi diri dan menghindari bahaya.

Sementara pada manusia, semua ruh yang dikandung oleh benda dan hewan ada padanya. Manusia memiliki jasad yang terus bergerak menuju kehancurannya. Namun ia juga memiliki ruh ‘instingtif’ sebagai hewan sehingga memiliki hasrat-hasrat bertahan hidup. Namun lebih dari itu ia memiliki ruh akal yang mampu berpikir, menganalisa yang dengannya menjadikan manusia sanggup membangun relasi kebudayaan dan peradaban. Namun ruh tertinggi bagi manusia adalah potensinya untuk mengenal dirinya sebagai hamba yang bersaksi akan Tuhannya. Ruh azali dan primordial yang mengakui dzatNya, dan tunduk akan kuasaNya dengan kesadaran penuh.

 

Kami telah mengulas di dalam deretan tulisan sebelumnya, mulai dari makna kemaksuman hingga dalil-dalil yang mendukung akan kemaksuman yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, dan di tulisan kali ini penulis hendak memperlihatkan kepada para pembaca tentang bukti lain yang mengisyaratkan akan kemaksuman Nabi Saw., dan para nabi lainnya.

Sebagai penegasan dari beberapa dari tulisan sebelumnya, penulis mencoba menghadirkan sebuah bukti akan kemaksuman sosok nabi, yang dikutip dari ulama kesohor Sunni,  Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Qastallani. Di dalam salah satu karyanya yang cukup familiar di antara akademisi-Muslim, Al-Muwwahib Al-Ladunniyah, ia menuturkan pernyataan sebagai berikut.

“Nabi Muhammad Saw terjaga (maksum) dari dosa-dosa besar dan kecil, baik karena sengaja maupun lupa, begitu pula dengan para nabi lainnya.”

Dengan memandang dan mengkaji tugas nabi di tengah manusia, sebagaimana yang telah diulas di dalam tulisan sebelumnya, maka selayaknya ia menyandang gelar maksum. Akal sehat akan menolak, jika seorang nabi terjerembab di dalam lubang dosa dan kesalahan. Sebab, jika hal itu terjadi pada diri nabi, tentu ia tidak akan mungkin menamatkan tugasnya dengan sempurna.

Jika diri seorang nabi dipenuhi kesalahan dan dosa, yang alih-alih ia menuntun umatnya ke jalan yang lurus, justru—boleh jadi—malah menyesatkan mereka (umatnya). Na’udzubillah min Dzalik.