کمالوندی

کمالوندی

 

Dikisahkah seorang Ayah telah pulang dari kerja jam 11 malam. Seperti biasanya, hari itu sangat melelahkan baginya. Setibanya dia di rumah ia melihat anaknya yang berumur 8 tahun telah menunggunya di teras rumah. Sepertinya anaknya sudah menunggu lama.

Sang Ayah pun menyapanya, “Kok masih main jam segini?”.

Biasanya si anak sudah lelap ketika ia pulang kantor, dan baru bangun ketika ia akan berangkat kerja di pagi hari.

Si anak menjawab, “Aku menunggu Ayah pulang, karena aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”

“Eh, anak kecil kok nanya gaji Ayah sih? Kamu mau minta uang lagi ya?” sahut sang ayah.

“Ah, nggak yah, aku sekedar..ingin tahu aja…” kata anaknya.

“Oke, kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 500.000. Setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi gaji Ayah satu bulan berapa, hayo?!”, tanya sang ayah.

Si anak kemudian berlari mengambil kertas dari meja belajar di kamarnya sementara Sang Ayah melepas sepatu dan mengambil minuman.

Anak kecil itu pun berlari mendekati ayahnya seraya berkata, “Jadi kalau satu hari Ayah dibayar Rp 500.000 utuk 10 jam, berarti satu jam Ayah digaji Rp 50.000 dong!”

“Wah pinter sekali, ya udah sekarang tidur dulu ya?! Sudah larut malam ni..!”

Tapi sang anak tidak mau beranjak dan justru minta uang ke Ayahnya sebesar Rp 10.000.

Si ayah pun berkata, “Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam begini. Sudah, besok pagi saja. Sekarang kamu bobok dulu, besok kan harus sekolah.”

Si anak itu pun menolaknya dan terus merengek minta uang tersebut. Dengan nada agak marah sang Ayahpun memintanya untuk kembali ke kamarnya dan segera tidur.

Akan tetapi, beberapa saat kemudian sang Ayah tampak menyesali ucapannya. Tak lama kemudian ia menghampiri anaknya di kamar. Anak itu sedang terisak-isak menangis sedih dengan uang Rp 40.000 yang digengam erat ditangannya.

Sang Ayahpun datang menemaninya dengan memegang kepala sang anak tersebut seraya berkata, “Maafin Ayah ya! Kenapa kamu minta uang malam-malam begini.. Besok kan masih bisa. Jangankan Rp.10.000, lebih dari itu juga ayah kasih. Kamu mau beli mainan apa sayang?”

“Ayah, aku ngga minta uang. Aku hanya ingin pinjam saja, nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajanku.”

“Iya..iya..tapi buat apa??” tanya sang Ayah.

“Aku menunggu ayah pulang hari ini dari jam 8 malam. Aku mau ajak Ayah main petak umpet. Satu jam saja yah, aku mohon. Mama sering bilang, kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Ayah. Aku buka tabunganku, tapi cuma ada uang Rp 40.000. Tadi Ayah bilang, untuk satu jam kerja, Ayah dibayar Rp 40.000.. Karena uang tabunganku hanya terkumpul Rp 40.000,- dan itu tidak cukup, aku mau pinjam Rp 10.000 dari Ayah,” Sang Ayah pun cuma terdiam.

Ia kehilangan kata-kata. Ia pun memeluk erat anak kecil itu sambil menangis sedih. Ia pun memeluk erat sang anak dan minta maaf kepadanya.

“Maafkan Ayah ya nak!” pinta sang Ayah.

“Ayah khilaf, selama ini ayah lupa untuk apa Ayah bekerja siang malam,” kata sang Ayah.

Si anak itu pun diam dalam pelukan sang Ayah yang membuatnya bahagia luar biasa.

 

Alkisah seorang laki-laki ahli akrobat meminta izin kepada salah satu Khalifah bernama Abu Ja’far al-Manshur untuk memperlihatkan kelihaiannya dalam ber-atraksi.

Sang Khalifah pun memberinya izin kepadanya. Kemudian lelaki tersebut mengambil beberapa piring besar. Dia pun kemudian mengombang-ambingkannya ke udara dengan kelihaian yang luar biasa tanpa ada satu pun yang jatuh ke tanah.

Abu Ja’far pun bertanya kepadanya, “Lalu apa lagi?”

Dia lantas mengeluarkan banyak tongkat. Pada tiap-tiap ujung tongkat terdapat tempat untuk menyusun tongkat lainnya. Selanjutnya dia melempar tongkat pertama dan langsung menancap di dinding. Lantas dia melempar tongkat kedua dan masuk ke lubang tongkat pertama, dan demikian seterusnya sampai seratus tongkat. Tidak ada satu pun yang jatuh ke tanah.

Setelah melakukan aksinya dia berharap agar sang Khalifah dapat menghargai kelihaiannya. Akan tetapi, Sang Khalifah justru memanggil para algojonya seraya berkata, “Tangkap lelaki ini dan berilah dia seratus cambukan.”

Lelaki itupun berteriak, “Mengapa engkau melakukan ini, wahai sang Khalifah?”

Khalifah pun menjawab, “Karena kamu telah menyia-nyiakan waktu kaum muslimin untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.”

 

Alkisah seorang petani memiliki beberapa keledai yang setiap harinya dia pakai untuk mengangkut padi dari sawah ke rumahnya. Pada suatu hari karena sang petani buru-buru ingin cepat sampai rumah sebelum matahari tenggelam dia pun berjalan lebih cepat dari biasanya.

Setelah melewati beberapa desa, salah satu keledainya kelelahan dan tidak kuat menanggung beban padi kering di tubuhnya, akhirnya keledai itupun terpeleset jatuh tersungkur pada sebuah sumur tua di sebuah desa yang sepi penduduk.

Petani itu pun berusaha mengeluarkan keledai itu, akan tetapi seberapa keras ia mencobanya tetap tidak bisa keluar. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengubur keledainya hidup-hidup.

Sang petani tersebut mulai menimbun tanah ke dalam sumur tua tersebut. Keledai yang merasa tertimpa tanah, menggoyangkan tubuhnya untuk menjatuhkan tanah di atas tubuhnya, dan melangkah di atas tanah tersebut. Tanah berikutnya ditimbun kembali ke dalam lubang.

Begitu pun seterusnya keledai tersebut mengibaskan kembali tubuhnya dan menaiki tanah pelan-pelan. Semakin tanah ditimbun, semakin tinggi tanah tersebut naik. Menjelang malam, keledai itu dapat keluar dari lubang sumur tua, lalu mencari sisa rumput yang berserak di tepi sumur tersebut.

 

 

Sebagai seorang yang beriman kepada Allah swt yang Maha Sempurna, tentunya kita memiliki hasrat untuk menjadi hamba yang bisa mengaplikasikan segala potensi kesempurnaan dalam diri untuk menjadi seorang mukmin yang sejati. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, kita tidak bisa berjalan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang hamba yang sedah mencapai derajat kesempurnaan yang tinggi seperti para Nabi, Sahabat dan ulama-ulama pewaris ilmu para Nabi dan kita dituntut untuk senantiasa mengikuti jejak mereka.

Dalam menggambarkan seorang mukmin sejati Imam Ja’far Shadiq yang dikenal sebagai pendiri madzhab Ja’fari pernah mengatakan bahwa:

“Ada empat hal yang harus dimiliki oleh seorang Mukmin, yaitu:

1.       Rumah yang Luas

2.       Kendaraan yang bagus

3.       Pakaian yang indah

4.       Lentera yang terang benderang

Lalu seseorang bertanya kepada beliau: “Kita tidak memiliki hal-hal seperti itu, lalu harus bagaimana?”

“semua ini juga memiliki sisi maknawi/makna batin juga. Dan yang dimaksud dengan rumah yang luas adalah kesabaran yang merupakan ciri dari seseorang yang memiliki jiwa yang besaar, maksud dari kendaraan yang bagus adalah Akal sehat, sedangkan maksud dari pakaian indah adalah haya’/rasa malu dan terakhir adalah lentera yang terang benderang yaitu ilmu yang buahnya adalah ketaatan dan penghambaan kepada Allah swt.” jawabnya.

Kamis, 23 Januari 2020 16:34

Bebaskan Dirimu dari Masalah

 

Seorang pria tua memiliki seekor keledai yang sangat ia sayangi, setiap hari ia menyempatkan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa dengan kesayangannya tersebut. Pada suatu hari dimana ia sedang berjalan dengan keledainya itu, keledainya terjatuh ke dalam sebuah lubang yang dalam dan dia tidak bisa menarik keledai tersebut keluar, tidak peduli seberapa keras ia mencobanya. Oleh karena itu, dengan berat hati ia memutuskan untuk mengubur keledainya hidup-hidup dan merelakannya.

Lelaki tua itu pun mulai menimbun lubang tersebut dengan tanah. Keledai yang merasa badannya tertimpa tanah, menggoyangkan tubuhnya untuk menjatuhkan tanah di atas tubuhnya, dan melangkah di atas tanah tersebut. Tanah berikutnya ditimbun kembali ke dalam lubang.

Berulang kali keledai itu mengibaskan kembali tubuhnya dan menaiki tanah tersebut. Semakin tanah ditimbun, semakin tinggi tanah tersebut naik. Menjelang siang, keledai itu dapat keluar dari lubang, dan berhasil menyelamatkan diri lalu merumput di padang rumput hijau. Si pemilik pun merasa senang akhirnya si keledai bias keluar dari lubang tersebut.

Setelah banyak ‘mengibaskan’ masalah, Dan melangkah (belajar dari kisah di atas), Suatu saat setelah terlepas dari masalah, anda akan mampu merumput di padang rumput hijau yang artinya anda akan mampu meraih apa yang anda impikan.

jadi jangan menyerah dengan keadaan yang terlihat begitu sulit di hadapan anda, mulailah berpikir memanfaatkan sesuatu di sekeliling anda untuk membebaskan diri dari setiap masalah.

Kamis, 23 Januari 2020 16:33

Kriteria Sahabat Menurut Islam

 

Salah satu nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah swt adalah kita diberikan insting untuk bersosialisasi dengan sesamanya dan hasil dari itu semua adalah terciptanya persahabatan antara individu yang menjalin satu ikatan kebersamaan. Dan dari pada itu semua persahabatan memiliki efek kepada kehidupan kita dan pada pola fikir kita sebagai manusia dalam memandang masa depan. Ini semua efek dari adanya jalinan persahabatan yang merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluq social.

Tanpa diragukan lagi, hal-hal terpenting yang membentuk pribadi seseorang setelah kehendak dan kemauannya sendiri adalah persahabatan dan pergaulan dengan sesama. Karena disadari ataupun tidak semua itu memiliki dampak pada pribadi seseorang seperti pola pikir, prilaku dan pandangan hidup diperoleh dari apa yang ia ambil dari sahabatnya. Disamping itu, sahabat bisa membawamu pada keridoan ataupun kemurkaan Tuhan.

Islam memandang persahabatan sebagai nilai agung dan menentukan dalam nasib dan kehidupan seseorang. Sehingga Nabi Muhammad saw dan sahabatnya yang mulia sangat menekankan untuk menjadikan seseorang sebagai sahabat kita sesuai dengan kriteria yang terkandung dalam nilai-nilai agama Islam. Beliau bersabda: “Orang menjalin persahabatan setelah teliti dalam memilih sahabat, maka persahabatannya akan langgeng dan kokoh”.

Menurut Islam, kriteria terpenting kematangan seseorang dalam bernalar sehingga dapat mengambil sikap yang bijak dan logis dalam semua hal. Dan dia harus menjadi penasehat bagi orang lain yang menunjukan kesalahan sahabatnya bukan hanya memujinya dalam segala hal dalam rangka menarik simpatinya. Banyak hadis yang menyatakan bahwa kita harus memilih sahabat yang bijak dan berakal sehingga kita senantiasa bersama orang-orang yang berakal dan itu merupakan jalan keselamatan bagi kita. Salah satu hadits dari Rasulullah saw  menggambarkan hal ini, beliau bersabda: “Bersahabat dengan orang Arif dan bijak akan menghidupkan jiwa dan Ruh.”

Hal yang lain yang harus kita jadikan kriteria sebagai seorang sahabat adalah apa yang datang nasihat-nasihat para Nabi dan yang terdapat dalam Quran yang mengisyarahkan tentang ciri sahabat yang baik yang harus kita pilih. Diantaranya :

·         Iman

Iman merupakan pondasi persahabatan yang paling kuat yang bisa menjadikan wasilah untuk mempererat hubungan hamba dengan Tuhannya. Iman disini adalah keyakinan terhadap pondasi agama seperti keesaan Tuhan, Nabi dan Hari Kiamat. Di dalam al-Quran di isyaratkan untuk tidak berteman selain dengan orang-orang mukmin dan jika tidak maka kita akan terlepas dari pertolongan Tuhan. ‘QS. Ali Imran : 28’

·         Memberikan rasa hormat terhadap yang berbeda keyakinan (Toleran)

·         Jujur

Kejujuran merupakan modal untuk mempererat tali persahabatan yang dengannya akan tercipta rasa saling percaya satu sama lain.

·         Bukan orang munafik

Mereka adalah orang-orang yang akan membahayakan aqidah kita dan agama kita, karena kemunafikan seseorang bersumber dari keingkarannya terhadap apa yang kita yakini dan dia akan menjadi agen musuh agama kita. ‘al-Baqarah : 14’

·         Berakhlaq mulia

Mereka inilah yang akan selalu mengingatkan kita kepada akhirat, dengan melihatnya akan menstimulasi diri kita untuk lebih mencintai agama kita. Mereka akan selalu mengingatkan akan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, bukan membenarkan setiap apa yang kita lakukan meskipun itu salah.

 

Pada suatu hari seorang raja bertanya kepada menterinya yang jika tidak terjawab maka dia akan diturunkan dari jabatannya, “Besok saya akan bertanya pada kamu yang jika kamu bisa jawab kamu tetap jadi Menteri, namun jika tidak bisa menjawabnya maka kamu akan saya turunkan.” Tegas sang raja.

Soal pertama adalah “Apa yang Tuhan makan?” kedua, “Apa yang Tuhan pakai?” dan ketiga, “Apa yang Tuhan sedang lakukan?”

Si Menteri yang tidak tahu jawabannya merasa putus asa dan sedih, namun dia memiliki seorang Budak yang cerdas dan pintar. Lalu Menteri pun berkata pada budaknya tersebut tentang tiga pertanyaan yang dilontarkan raja padanya dan mengancam posisinya jika tidak dijawab. Pertanyaannya, “Apa yang Tuhan makan?”,  “Apa yang Tuhan pakai?” dan “Apa yang Tuhan sedang lakukan?”.

Si Budak tahu jawabannya dan berkata pada tuannya, “Saya mengetahui jawabannya, namun saya akan menjawab dua pertanyaan dulu dan sisanya besok.”

“Jawaban pertama adalah Tuhan makan kesedihan dan kegelisahan para hamba-Nya.” kata si Budak.

“Kedua, yang Tuhan pakai adalah aib dan kesalahan-kesalahan para hamba-Nya.” lanjut Budak. “Adapun jawaban ketiga, izinkan saya menjawabnya besok tuan” kata si Budak mengakhiri ucapannya.

Keesokan harinya si Menteri dan Budak pergi menemui sang Raja. Menteri menjawab dua pertanyaan raja seperti apa yang dikatakan budaknya kemarin dan Raja membenarkan jawaban tersebut. “Dua jawabanmu itu benar, namun katakan apakah jawaban itu hasil pemikiranmu atau dari orang lain?” tanya Raja.

“Budak saya ini adalah seorang yang cerdas, dia yang memberikan jawabannya pada saya.” jawab jujur Menteri.

“Kalau begitu lepas pakaianmu dan berikan pada Budak, begitu juga budakmu hendaknya melepaskan pakaiannya dan memberikannya padamu.” perintah sang Raja.

Lalu Menteri bertanya pada Budak tentang pertanyaan ketiga, apa yang sedang Tuhan lakukan?

“Apakah kamu masih tidak mengerti apa yang Tuhan sedang lakukan?” tutur Budak. “Tuhan menjadikan seorang Budak sebagai Menteri dan menjadikan Menteri seorang Budak dalam sesaat.”

 

Wahai Tuhanku, Engkaulah pemilik segalanya dan Maha Mengendalikan! Apapun yang Kau inginkan untuk seorang hamba, maka Kau memberinya. Dan jika Kau tidak menginginkannya, maka Kau Maha Kuasa untuk mencabutnya.”

 

Hari ketika Rasulullah saw diangkat oleh Allah swt sebagai Rasul-Nya, beliau menyebarkan ajaran Allah kepada penduduk Jazirah Mekah. Merasa khawatir dengan pergerakan beliau dan perkembangan Islam yang pesat, para pembesar suku Quraisy pun mengadakan sidang. Mereka membicarakan perkembangan gerakan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam sidang tersebut ada dua pilihan, yakni menyelesaikannya dengan kekerasan atau menyelesaikannya dengan jalan damai. Lantas pilihan kedualah yang diambil.

Selanjutnya, rombongan orang Quraisy menemui Muhammad saw yang waktu itu beliau sedang berada di masjid. Orang Quraisy menunjuk Utbah bin Rabi’ah sebagai juru bicara karena dia yang paling pandai bicara diantara para anggota Dar al-Nadwah atau parelemen Mekah. Ia menyarankan Nabi Muhammad saw menghentikan gerakan dakwahnya dengan alasan keamanan karena dakwahnya tersebut meresahkan masyarakat.

“Wahai keponakanku! Aku memandangmu sebagai orang yang terpandang dan termulia diantara kami. Tiba-tiba engkau datang kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa oleh siapapun sebelum engkau. Kauresahkan masyarakat, kautimbulkan perpecahan, kaucela agama kami. Kami khawatir suatu kali terjadilah peperangan diantara kita hingga kita semua binasa.” kata Utbah.

Setelah berhenti sebentar, Utbah melanjutkan bicaranya:

“Apa sebetulnya yang kaukehendaki. Jika kauinginkan harta, akan kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat kauatasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kauinginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua.”

Rasulullah saw mendengarkan semua perkataan Utbah dengan sabar. Tidak sekalipun beliau mengeluarkan suara atau menggerakkan tubuh untuk memotong pembicaraan Utbah. Saat Utbah berhenti berbicara, Rasulullah saw bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” lalu Utbah menjawab bahwa dirinya sudah selesai berbicara. Rasulullah kemudian menjawab ucapan Utbah tersebut dengan surat Fushilat, “Haa mim. Diturunkan al-Quran dari Dia yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Sebuah kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an dalam bahasa arab untuk kaum berilmu…” Rasulullah terus membaca hingga sampai pada ayat sajdah, beliau kemudian bersujud.

Utbah yang duduk mendengarkan Rasulullah hingga selesai membaca bacaannya lalu berdiri. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia lantas pergi menemui kaumnya. Di tengah-tengah mereka, ia berbicara dengan pelan memberitahukan bahwa ia telah menemui Muhammad dan menyampaikan apa yang mereka kehendaki. Namun Muhammad menjawab dengan ucapan yang ia tidak mengerti. Ia meminta kaum Quraisy untuk tidak mengganggu Rasulullah karena beliau tidak akan berhenti dari gerakan dakwahnya. Namun ternyata orang-orang Quraisy tidak mematuhi nasihat dari Utbah.

Satu hal yang bisa kita petik dari hal ini adalah kesabaran Rasulullah saw dan akhlak beliau ketika berbicara dengan orang lain, sekalipun itu orang kafir. Rasulullah tetap mendengarkan dan tidak memotongnya meskipun beliau tidak menyukai hal tersebut. Kita harusnya berkaca dari peristiwa tersebut. Jangankan mendengar pendapat orang kafir, mendengar pendapat saudara sesama muslim saja kita enggan, bahkan seringkali memotongnya. Semoga kita bisa meniru akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga dari kisah keteladanan Rasulullah saw di atas bisa menginspirasi kita semua, untuk lebih sopan, lebih sabar, dan lebih menghargai orang dalam berbicara seperti nabi junjugan kita Muhammad saw.

Kamis, 23 Januari 2020 16:20

3 Kesalahan Besar dalam Berburuk Sangka

 

Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khatab selalu berjalan pada tengah malam untuk berkeliling melihat keadaan masyarakat sekitar Madinah sehingga jika ada yang membutuhkan, ia biasa langsung membantunya. Dengan terjun langsung ke masyarakat, Umar bin Khatab biasa merasakan kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya. suatu hari, khalifah kedua ini melewati sebuah rumah yang dari luar terdengar seorang pria di dalam rumah yang sedang tertawa terbahak-bahak. Semakin beliau mendekat, beliau juga mendengar suara gelak tawa wanita.

Khalifah Umar bin Khatab mengintip rumah tersebut lalu memanjat jendela dan masuk ke rumah tersebut. Beliau menghardik pria tersebut dengan berucap:

“Hai hamba Allah! Apakah kamu mengira jika Allah akan menutup aib dirimu sedangkan kamu berbuat maksiat!!”

Pria yang dihardik tersebut tetap tenang dengan lalu menjawab tuduhan Umar dengan berkata:

“Wahai Umar, jangan terburu-buru, mungkin hamba melakukan satu kesalahan, tapi anda melakukan tiga kesalahan,” jawab pria itu. Umar bin Khatab hanya terpaku, si pria meneruskan bicara.

“Yang pertama, Allah berfirman: jangan kamu (mengintip) mencari-carai kesalahan orang lain (Al Hujurat:12) dan anda telah melakukan hal tersebut dengan mengintip ke dalam rumah hamba,” kata pria tersebut.

“Yang kedua, Allah berfirman: masuklah ke rumah-rumah dari pintunya (Al Baqarah: 189) dan anda tadi menyelinap masuk ke dalam rumah hamba melalui jendela,” papar pria tersebut.

“Dan yang ketiga, anda sudah memasuki rumah hamba tanpa ijin, padahal Allah berfirman: jangan kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin (An-Nur: 27),” lanjut si pria

Menyadari bahwa dirinya juga salah, Umar lantas berkata, “apakah lebih baik disisimu jika aku memaafkanmu?” lantas pria tersebut menjawab, “Ya, amirul mukminin”. Umar pun memaafkan pria tersebut dan berpamitan pergi dari rumah tersebut.

Dari cerita diatas, dapat kita tengok bahwa seorang imam besar, pemimpin umat seperti amirul mukiminin Umar bin Khatab yang tersohor tersebut mau mendengarkan nasehat orang lain, bahkan orang yang bersalah. Nasehat itu tidak perlu dilihat siapa yang berkata, namun harus dilihat apa yang dinasehatkan. Selain itu kita juga harus selalu mengembangkan prasangka baik kepada siapapun, terutama saudara sasama muslim. Janganlah mencari-cari kesalahan mereka.

Misalnya, tidak berjumpa di pengajian, kita sudah berpikir bahwa ia lalai dari mengingat Allah, tidak jumpa di shalat Jum’at, ia kita anggap mementingkan dunia. Bahkan ketika kita melihat pria sedang bersenda gurau dengan lawan jenis, kita anggap bahwa dia telah terkunci mata hatinya. Dengan prasangka seperti itu, bisa jadi kita telah melakukan kesalahan yang lebih besar dibandingkan saudara kita tersebut. Oleh karen itu mari kita kembangkan sikap berprasangka baik kepada siapapun.

Kamis, 23 Januari 2020 16:19

Kisah Pemabuk dan Orang Sholeh

 

Suatu hari, nabi Musa as hendak menemui Allah di bukit Sinai. Seorang hamba yang sangat saleh mengetahui niat nabi Musa as dan bermaksud menemuinya  untuk memohonkan hajat kepada Allah swt untuknya. “Wahai nabi Allah, selama hidup ini saya telah berusaha menjadi orang yanga baik dengan shalat, puasa, haji dan kewajiban beragama lainnya. Saya banyak menderita karenanya, namun itu tak masalah. Saya hanya ingin tahu apa yang Allah akan berikan kepadaku nanti. Tolong tanyakan kepadaNya” Kata orang shaleh seraya menundukkan kepalanya.

Nabi Musa menerima pasannya dan menyangguinya, beliaupun melanjutkan perjalanannya menuju bukit Sinai. Di tengah perjalanan, beliau terhenti karena ada seorang pemuda yang sedang mabuk  di pinggir jalan. Pemuda itu bertanya akan kemana nabi Musa as.  dan etika nabi Musa menjawab akan bertemu Allah swt di bukit Sinai, pemabuk itu berkata:

“Aku adalah peminum, aku tidak pernah shalat, tidak puasa, atau amalan shaleh lainnya, tolong tanyakan kepada Allah apa yang dipersiapkan untukku oleh-Nya nanti.”

Nabi Musa menyanggupi permintaannya yang cukup aneh tersebut untuk menyampaikannya kepada Allah. Sekembalinya dari Sinai, beliau menyampaikan jawaban Allah untuk orang saleh tersebut. “Allah memberikan pahala besar dan hal yang indah-indah” tutur nabi Musa as. Si orang saleh tersebut menanggapi biasa saja dan ia mengatakan bahwa ia telah menduga hal tersebut. Sedangkan ketika bertemu si pemabuk, nabi Musa menyampaikan bahwa pemuda itu akan diberikan tempat yang paling buruk. Ketika mendengar ucapan nabi Musa, pemabuk itu berdiri dan justru menari-nari dengan riang gembira.

Nabi Musa pun heran, kenapa pemabuk itu justru gembira, padahal ia dijanjikan tempat yang paling buruk. Beliau bertanya kepada pemabuk itu, ada apa gerangan hingga segembira itu.

“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” jawab pemabuk itu dengan rasa bahagia yang terpancar di wajahnya.

Namun setelah beberapa waktu, nasib keduanya pun berubah, justru orang yang saleh berada di neraka dan si pemabuk berada di surga. Nabi Musa yang takjub bertanya kepada Allah, demikian jawaban Allah:

“Orang yang pertama dengan segala amal salehnya tidak layak memperoleh anugerah-Ku karena anugerah tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang kedua itu membuatKu senang karena ia senang dengan apapun yang Aku berikan kepadanya. Senangnya karena pemberian-Ku menyebabkan Aku senang kepadanya”

Dari kisah tersebut kita bias memetic sebuah pesan bahwa jangan pernah sekali-kali kita bangga terhadap kebaikkan yang kita lakukan, karena hal tersebut merupakan bagian dari kesombongan yang akan membakar seluruh kebaikan kita. Ingatlah selalu bahwa ketika kita mampu berbuat kebaikan, maka itu adalah nikmat dari Allah swt yang harus senantiasa kita syukuri.