کمالوندی
Republik Islam Iran dan Demokrasi Religius
Kemenangan Revolusi Islam pada 1979 adalah peristiwa politik terpenting abad 20 di kawasan dan dunia. Peristiwa besar ini menopang prestasi besar di arena politik Iran.
Seiring kemenangan Revolusi Islam dan penyusunan konstitusi, bangsa Iran mengambil langkah pertama dalam konteks budaya, sosial dan politik untuk menyiapkan partipasii rakyat dalam pemilihan umum. Imam Khomeini, pendiri Revolusi Islam dalam sebuah pernyataan terkenal mengatakan, "Pemungutan suara adalah rakyat, dan semua hal harus dimulai dengan rakyat dan bangsa di puncak."
Sejak awal, Revolusi Islam memulai sistem demokrasi berdasarkan nilai-nilai agama dan kedaulatan serta hak pilih rakyat. Rakyat Iran, dengan hak mereka untuk memilih,menjaga dan menjunjung nilai-nilai revolusi dan agama serta kebangsaannya melalui pemilihan umum.
Setelah kemenangan Revolusi Islam, Iran menggelar lima putaran pemilihan untuk Dewan Ahli Kepemimpinan yang diadakan untuk memilih wakil mereka di lembaga penting ini. Melalui mekanisme ini rakyat secara tidak langsung telah memilih Pemimpin Besar Revolusi Islam atau Rahbar.
Selama empat dekade ini, Iran telah menggelar lebih dari 10 putaran pemilihan langsung ke parlemen dan 11 putaran pemilu presiden. Selain itu, rakyat Iran juga telah berpartisipasi dalam pemilihan dewan kota dan desa selama lima putaran, dan dua kali telah menyetujui konstitusi.
Kini setelah memasuki langkah kedua revolusi, kelanjutan dan penguatan karakteristik ini sangat penting. Pemilu terus menjadi salah satu elemen penting dalam langkah kedua revolusi, yang menandai kelanjutan dari proses demokrasi di Republik Islam.
Komponen-komponen ini merupakan dasar yang kuat untuk bergerak maju dalam konteks stabilitas dan legitimasi politik. Di satu sisi, pemilu memberikan dasar bagi kekuatan politik, dan di sisi lain, sebagai kriteria untuk mengevaluasi legitimasi sistem politik dalam masyarakat.
Dari perspektif ini, pernyataan "Langkah kedua Revolusi Islam" memiliki tujuan-tujuan penting yang menjanjikan keberhasilan untuk bergerak maju menuju cakrawala peradaban Islam yang luhur. Dengan demikian, memajukan tujuan dari pernyataan langkah kedua secara langsung terkait dengan kehadiran rakyat di panggung pemilu dan kelanjutan dari proses demokrasi.
Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam mengeluarkan pernyataan "Langkah Kedua Revolusi" dan menekankan kelanjutan dari jalan ini, dengan menjelaskan pencapaian luar biasa selama empat dekade terakhir dan membuat rekomendasi kunci. Ayatullah Ali Khamenei, telah menggambarkan sistem "demokrasi religius" sebagai metode pemerintahan yang terbaik, paling tepat dan efisien dan telah menekankan bahwa sistem demokrasi agama adalah model dan metode terbaik bagi pejabat negara Islam untuk menjalankan tujuan dan tugasnya.
Selama empat puluh tahun terakhir, partisipasi rakyat dalam isu-isu politik seperti pemilihan umum telah meningkatkan ketajaman visi politik rakyat dan pandangan mereka tentang masalah tersebut. Dalam prosesnya, analisis politik dan pemahaman tentang isu-isu internasional seperti kejahatan Barat, khususnya AS, dan penindasan historis terhadap bangsa Iran dan kejahatan serta gangguan kekuatan arogan dalam urusan negara-negara dunia menjadi lebih jelas.
Mengacu pada pencapaian masa lalu, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menunjukkan, "Untuk mengambil langkah tegas di masa depan, kita harus mengenali masa lalu dengan benar dan belajar dari pengalaman. Jika strategi ini diabaikan, maka kebohongan akan berada di tempat kebenaran, dan masa depan berada di bawah ancaman yang tidak diketahui. "
Berkaca dari masa lalu, Revolusi Islam telah mengubah rezim boneka dari monarki otoriter menjadi pemerintahan rakyat yang demokratis. Dalam hal ini, indikator seperti menjaga kemerdekaan dan martabat nasional, keamanan bertumpu pada kekuatan dalam negeri, dan penekanan kuat terhadap partisipasi dalam pemilu sebagai pilar penting legitimasi dan stabilitas Republik Islam.
Bagaimanapun, pemilihan umum sebagai bagian utama dari proses realisasi demokrasi, sekaligus sarana bagi pemenuhan partisipasi warga negara dalam pembentukan lembaga-lembaga politik dan perannya dalam menjalankan otoritas politik. Hal ini dinyatakan dalam bagian pernyataan Langkah Kedua Revolusi, "Setelah revolusi menjadi sistem negara, revolusi Islam tidak mengalami stagnasi dan tidak padam. Tidak melihat adanya kontradiksi antara gejolak revolusioner dan tatanan sosial maupun politik, namun tetap mempertahankan teori sistem revolusioner untuk selamanya,".
Pemerintahan Republik Islam Iran menjadikan partisipasi politik rakyat sebagai bagian penting dalam dinamika politik negara ini yang sejalan doktrin politik dan agama yang mereka yakini, sehingga partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik sejalan dengan ketaatan mereka terhadap prinsip konstitusi negara ini.
Pengalaman politik empat dasawarsa Republik Islam menunjukkan bahwa, kekuatan internal melalui penguatan infrastruktur legitimasi rakyat telah menjadikan Iran sebagai pusat kekuatan demokratis yang mengusung nilai agama di dalamnya.
Pemilu sejatinya merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pembentukan lembaga-lembaga politik dan peran aktifnya dala, penentuan para pejabat pelaksana otoritas politik. Ini adalah kesempatan untuk melakukan modernisasi masyarakat yang demokratis. Sejak Revolusi Islam berdiri, telah digelar rata-rata satu pemilu setiap tahun yang jarang terjadi sebelumnya di dunia demokrasi biasa. Sosiolog dan pemikir Prancis Maurice Duverger mengatakan bahwa pemilu adalah buah yang dinikmati bersama dari hak pilih.
Dari perspektif ini, pernyataan "Langkah Kedua Revolusi" memiliki implikasi politik internal dan eksternal yang penting untuk meninjau masa lalu dan langkah menuju masa depan.
Dalam "Pernyataan Langkah Kedua Revolusi", pemimpin Revolusi Islam, menekankan pentingnya masalah-masalah ini, untuk membuat rekomendasi kunci "jihad besar bagi pembangunan Iran Islami yang besar." Bagian dari pernyataan ini mengeksplorasi karakteristik dan komponen politik dari langkah kedua revolusi, termasuk peradaban politik.
Nabi Muhammad Saw Dalam Pandangan Orientalis (2)
Kaum orientalis melakukan riset untuk mencari tahu tentang Nabi Islam yang agung dan agamanya, dimana penelitian ini jauh dari kebenaran dan realita.
Para nabi diutus satu persatu di setiap hari dan masa, sehingga datang pamungkas mereka, Nabi Muhammad Saw di dunia yang penuh kebodohan di Jazirah Arab bak bintang yang bersinar. Nabi terakhir telah mengisi dunia dengan cahaya tauhid sampai sekarang dan setelah 14 abad dari kemunculan agama langit Muhammad Saw, suara global agama ini terdengar dari timur hingga barat dunia.
Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah teks agama?"
Rasulullah Saw menjawab, "Agama adalah akhlak."
Nabi Muhammad Saw berhasil mengumpulkan para kabilah Arab di bawah satu bendera agama, al-Quran dan kiblat yang satu dengan akhlaknya. Nabi Saw menjadikan parameter kebajikan dengan takwa dan sabar. Dengan jelas dan tegas beliau membatalkan diskriminasi, rasis, etnik dan kabilah.
Al-Quran dalam memperkenalkan Rasulullah Saw mengatakan, "Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Sampai abad kedelapan belas, para orientalis melakukan penelitian untuk mengidentifikasi Nabi Muhammad Saw dan agama yang dibawanya, dimana penelitian ini jauh dari kebenaran dan realita. Pada abad kedelapan belas, serangan terhadap Islam dan Nabi Muhammad terus berlanjut, dengan satu-satunya perbedaan dengan sebelumnya adalah bahwa para kritikus memusatkan semua perhatian mereka pada Nabi, bukan pada agama Islam. Pada saat yang sama, periode ini juga memiliki efek yang berbeda, karena terkadang mengulangi penghinaan di masa lalu.
Zaman Pencerahan (Renaissance) pada abad kedelapan belas didasarkan pada keyakinan bahwa alam dan dunia keduanya harus dirasionalkan. Immanuel Kant mengatakan, "Masa Rennaissance adalah manusia beranjak dan melewati ikatan etnis yang telah ia ciptakan untuk dirinya sendiri," Faktanya, para peneliti periode ini mencoba melakukan pekerjaan mereka berdasarkan rasio.
Oleh karenanya, di era ini, meskipun Islam masih dianggap sebagai analogi yang tidak benar di Eropa, tetapi sering dipuji sebagai fenomena yang menarik dan sensasional. Islam, yang pernah dianggap sebagai ancaman serius, kurang menarik perhatian orang Eropa dan Barat selama periode ini. Di Eropa, Islam dan Muhammad telah menjadi dasar dan sumber inspirasi sastra dan seni.
Tentu saja, tidak dapat dibayangkan di masa ini penggambaran tentang Nabi dan Islam dilakukan dengan keinginan baik atau tidak memihak, tetapi kali ini fokusnya adalah pada Nabi sendiri.
Dua karya besar Simon Ockley dan George Sale, dua orientalis Inggris termasuk dua langkah penting dalam pengkajian tentang Islam. Keduanya mengaku telah berusaha sepenuhnya tidak memihak dan tidak punya motif tertentu dalam perlakuan mereka terhadap Islam dan metode penilaian mereka tentang Muhammad. Bahkan, mereka dapat dikenal sebagai pembela pertama Nabi Muhammad Saw yang menulis tentangnya sesuai dengan semangat Rennaissance, tetapi bahkan mereka tidak sepenuhnya mampu menjauhkan diri dari prasangka asli mereka.
Simon Ockley dalam bukunya berjudul The History of the Saracen sangat memuji umat Islam yang berhasil menaklukkan daerah lain dan perilaku mereka dengan masyarakat. Ia menyinggung satu poin ini bahwa Arab memperlakukan masyarakat yang ditaklukkan dengan adil, obyektif dan menghormati, berbeda dengan para penakluk lainnya. Ia pada tahun 1717 M mempublikaskan ungkapan-ungkapan ringkas Imam Ali as dengan judul Sentences of Ali dan memuji keilmuan dan kebijakan Imam Ali as.
"Sedikit pengetahuan yang dimiliki oleh kita orang Eropa, semuanya berasal dari Timur. Mereka yang mentransfer pengetahuan ini pertama kali ke Yunani dan Romawi mengambil sahamnya dari mereka. Setelah barbarisme dan kekejaman menyebar ke seluruh dunia Barat, umat Islam dengan melakukan penaklukan kembali menyebarkan pengetahuan itu ke Eropa dan kami berutang semuanya kepada Muhammad," tulis Ockley.
George Sale dalam karyanya yang merupakan terjemah al-Quran menulis pengantar tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw dan keyakinan Islam. Karyanya memicu protes terhadapnya sampai ia dituduh sebagai setengah Muslim dan menjadi target pidato kebencian. Namun Sale dengan pernyataan yang lugas dan efektif dalam membela dirinya dalam pendahuluan itu menulis:
"Berbicara tentang Muhammad dan al-Quran, saya tidak membiarkan diri saya menggunakan ungkapan menghina, memalukan dan terlepas dari etika... Sebailknya, saya mengharuskan diri saya untuk memperlakukan Nabi Muhammad dan al-Quran dengan etika dan kesopanan yang sama." Ia percaya bahwa Nabi Muhammad Saw mengajak orang-orang Arab dari penyembahan berhala untuk menyembah Tuhan Yang Esa dan berusaha untuk menghapus distorsi yang dilakukan oleh orang lain dalam Tauhid. Ia menulis, "Rencana dan gambaran pertamanya (Nabi) yang mengajak orang-orang Arab yang menyembah berhala menuju pengetahuan tentang Allah yang hakiki, jelas merupakan rencana yang mulia dan sangat dipuji. Di sinilah saya tidak dapat mengkonfirmasi klaim almarhum penulis (Prido) bahwa Muhamad telah melakukan kesalahan ketika ia memaksa orang-orang dari penyembahan berhala menjadi monoteisme."
Pada abad ke-18, gagasan tentang kepahlawanan sangat berpengaruh, dan Nabi Muhammad menjadi pahlawan dari penyair Jerman yang terkenal, Goethe. Johann Wolfgang von Goethe, seorang penyair berbahasa Jerman adalah salah satu penyair dan genius abad ke-18 yang paling tertarik pada Islam dan Nabi Muhammad. Terlepas dari keterbatasan sumber-sumber rujukan Islam yang tersedia, ia menyajikan gambaran yang indah dan abadi dari berkah spiritual Nabi Muhammad Saw dalam karya dramanya Faust.
Dalam bagian dari puisi Mahomets Gesang (Dendang Nabi Muhammad), Goethe menyamakan Nabi Muhammad dengan sungai yang tak terbatas yang telah membawa banyak aliran sungai bersamanya dan selalu menambah keagungannya dan membawa manusia ke rumah abadi bersamanya. Sepotong puisi ini diucapkan dalam bahasa kerabat terdekat Nabi, Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as, di mana Goethe menggambarkan dan membandingkan semua tahap dari dakwah Nabi Saw dan bimbingannya di antara orang-orang. Ia dengan penuh semangat memilih Nabi Muhammad Saw sebagai sumber inspirasi untuk pembebasan dan melihat Nabi Muhammad datang dari sungai yang menyirami dataran.
Ghoethe di sebagian puisinya menulis:
Pandangi mata air
yang bersumber dari gunung
Betapa segar dan menyenangkan
Seperti mata bintang-bintang,
Saat mereka bersinar.
Benar-benar pemimpin dan penuntun
Semua mata air itu adalah saudaranya
Dia membawa bersamanya.
Dan di sana, jauh di bawah lembah
Di garis depan sungai ini ada bunga tumbuh
Dan sayuran menjadi hidup dari napasnya.
Sekarang sungai ini semakin besar setiap saat
Ke depan, aliran air
Silsilahnya akan membuatnya
Dan air telah mengangkat pemimpin itu di pundak mereka
Dan itu mengalahkan semua kerajaan
Dan memberikan namanya ke tanah
Dan di garis depan dia membangun kota.
... dan begitu pula saudara-saudara, harta karun, anak-anaknya.
Dia bergerak menuju Sang Pencipta.
Dan dalam banjir sukacita dan kebahagiaan
Menuju jantung sarangnya.
Goethe memuji Nabi Muhammad sebagai manusia yang luar biasa dan bukunya menyajikan al-Quran sebagai warisan abadi.
Nabi Muhammad Saw Dalam Pandangan Orientalis (1)
Ketika orang Barat memasuki berbagai negeri, sekelompok cendekiawan berusaha memahami budaya Timur. Hasil dari usaha ini adalah disiplin ilmu yang disebut "Orientalisme". Salah satu topik yang awalnya dipertimbangkan oleh para sarjana Timur adalah pengetahuan tentang Nabi Muhammad Saw. Pengakuan ini, meskipun kadang-kadang disertai dengan pandangan bias, termasuk, dalam banyak kasus, pengakuan tentang kebenaran Nabi Muhammad Saw dan agama Islam yang akan kita bahas dalam rangkaian program ini.
Nabi Muhammad Saw adalah mata rantai terakhir dalam rangkain para nabi ilahi yang dipilih untuk memimpin umat manusia dan dengan kemunculannya dan agama transendennya telah mengubah dunia. Ia adalah seorang nabi dari Timur yang menonjolkan kemanusiaan dan kesalehan serta mengajarkan kesetaraan, persaudaraan, kedamaian, dan persahabatan. Suara pertamanya kepada umat manusia adalah untuk mengatakan, "Qulu La Ilaha Illallah Tuflihu", Katakan tidak ada tuhan selain Allah, kalian selamat.
Dan ini menandai awal dari perubahan di dunia dan pencarian yang benar atau salah akan nabi pamungkas.
Ketika orang Barat memasuki berbagai negeri, termasuk Timur, sekelompok cendekiawan berusaha memahami budaya Timur. Hasil dari upaya ini adalah disiplin ilmu yang disebut "Orientalisme". Orientalisme adalah ilmu yang berhubungan dengan penelitian dan pengetahuan dari semua pengetahuan dan adat istiadat masyarakat Timur. Dengan kata lain, siapa pun yang mempelajari atau mengajar tentang Timur, apakah antropolog, sosiolog, ahli bahasa, atau sejenisnya, dianggap sebagai orientalis.
Oleh karena itu, orientalis adalah mereka yang menulis atau memberi kuliah tentang Timur dan isu-isu serta budaya dan sejarahnya, dengan motif atau niat apa pun, baik secara ilmiah atau karena keingintahuan atau kesadaran atau untuk tujuan politik dan untuk tujuan dominasi militer, ekonomi, budaya dan kristenisasi. Mereka semua memiliki satu kesamaan, klaim telah mengetahui Timur atau sebagiannya. Salah satu tema umum yang dipelajari adalah Nabi Muhammad Saw.
Di program baru ini, kami akan mengetengahkan pandangan para oriantelis tentang Nabi Muhammad Saw dan mencoba untuk meninjau perubahan pandangan mereka.
Realitas Timur dalam arti terdalamnya melampaui Asia dan bahkan sampai ke sebagian besar Afrika. Ajaran budaya Timur menekankan keunggulan spiritual atas materi, kebermaknaan hidup dan telah memperjelas status tinggi manusia dalam sistem eksistensi. Pandangan singkat tentang sejarah kuno peradaban Timur yang besar mengungkapkan bahwa agama dan spiritualitas adalah unsur pemersatu budaya Timur yang paling penting dan bahwa kebenaran abadi yang dibawa para nabi ilahi kepada umat manusia sepanjang sejarah adalah pusat peradaban Timur.
Pemikiran kaum orientalis, dalam perhatian khususnya pada dunia Islam, telah menantang Islam di segala bidang sambil mencoba memahami agama, sumber dan akarnya. Barat pernah mengalami otoritas Islam bahkan di Maroko, di Andalusia, dan kemunculan Islam sejak awal dianggap oleh orang-orang Kristen yang setia sebagai peristiwa yang luar biasa. Dari sini, beberapa sejarawan peradaban Eropa, dengan rasa bahaya dari kekuatan Islam, berusaha sekuat tenaga untuk mempublikasikan apa saja melawan Islam dan Nabi Muhammad Saw serta membuat fitnah yang paling menjijikkan dan penghinaan tentang Rasulullah Saw. Bahkan orang yang menonjol, seperti Voltaire, yang kemudian merevisi pandangannya tentang Islam, menulis drama menentang Nabi dan ditampilkan di Perancis.
Sedemikan luasnya cara pandang negatif dan fanatik ini, sehingga sejauh penulis buku Muhammad di Eropa di pendahuluan teks Inggrisnya menulis, "Dalam karya-karya mayoritas penulis Eropa, Muhammad digambarkan sebagai seorang pria dengan ketidaksempurnaan moral yang besar..."
Barat berusaha menghancurkan, memutarbalikkan, salah mengartikan dan salah menggambarkan tokoh-tokoh terkemuka untuk merongrong Islam dari ketinggian martabatnya, serta untuk menumbangkan intelektual masyarakat Islam. Dalam hal ini, berbagai kelompok peneliti Islam di Eropa masing-masing berurusan dengan kepribadian Nabi.
Dalam pengertian yang paling optimistis, sebagian besar orientalis entah tidak memiliki akses ke ajaran-ajaran Timur yang asli atau tidak dapat menangkapnya dalam ruang mental mereka sendiri. Oleh karena itu, budaya dan peradaban Timur telah dideskripsikan sebagai sangat rusak dan tidak memadai bagi orang Barat sehingga telah membuat citra yang sia-sia dari tradisi Timur. Dengan demikian, dalam penelitian mereka, kami menemukan bahwa orientalis pertama, dengan asumsi spesifik, memberikan laporan yang tidak akurat dan hampir kosong. Sekelompok pemikir, terutama di abad ke-5, membuat studi yang lebih tulus, dan para peneliti telah memperoleh hasil luar biasa dalam beberapa dekade terakhir.
Sayangnya, orientalisme ilmiah secara diam-diam terikat pada tujuan-tujuan politik, dan bahkan beberapa orientalis telah mendapat kritik serius. Annemarie Schimmel, dalam esainya tentang kualitas komunikasi dan praktik Orientalisme, dan khususnya penguasa gereja tentang Islam menulis:
"Dari semua agama yang ditemui oleh agama Kristen, agama Islam adalah yang paling disalahpahami dan merupakan hasil dari serangannya yang parah. Gambaran yang ada dalam pikiran para narator di abad pertengahan tentang Islam dan Nabi Muhammad benar-benar telah terdistorsi. Perubahan ini terkadang mengambil dimensi sedemikian rupa sehingga Muhammad, yang umumnya ditulis dan diucapkan sebagai Mahomet di Barat, dianggap semacam dewa yang mahakuasa dan ia berbicara tentang penyembahan patung emas!"
Tingkat distorsi dan kesalahpahaman terhadap agama yang bahkan melarang tanda-tanda terkecil dari penyembahan berhala dan nabinya menyebut dirinya sebagai hamba Allah, dapat disebabkan oleh kesalahpahaman bahasa agama Islam. Selama tahun-tahun (1143 - 1616 M) beberapa sarjana ditemukan yang secara bertahap mempelajari al-Quran dan bahasa Arab. Annemarie Schimmel menulis tentang karya kelompok orientalis ini pada abad keenambelas dan ketujuhbelas:
"Saya yakin bahwa (di antara mereka yang menuduh Islam memiliki kekurangan) hanya ada beberapa yang telah melakukan studi terhadap al-Quran, dan ada jauh lebih sedikit dari mereka yang benar-benar membacanya, dimana telah mencoba memberikan kata dan frasa di dalamnya makna yang tepat sesuai kata tersebut..."
Pada tahun 1842 M, Gustav Weil berusaha mengomentari kehidupan Muhammad Saw berdasarkan pemisahan sesuai peristiwa sejarah. Di dekade-dekade setelahnya, William Muir, Aloys Sprenger dan Margoliouth ingin membuat wajah negatif dari Muhammad Saw dengan mendistorsi citra Muhammad yang merupakan kumpulan sempurna semua kebajikan sepanjang sejarah para nabi dan menyebut beliau dalam kondisi terbaik hanyalah seorang pembaharu masyarakat.
Karl Heinrich Emil Becker pernah menulis, "Kita tahu banyak tentang memberikan aspek ilusi pada pribadi Muhammad, tetapi kita tidak tahu banyak tentang cara adil berurusan dengannya."
Salah seorang orientalis yang banyak melakukan penelitian tentang sejarah Islam dan benar-benar dikritik oleh bahkan non-Muslim adalah Henri Lammens. Ilmuwan Kristen George Jordac telah mengkritik dengan bijak seraya menyesalkan atas kritik pendeta Belgia ini dan menganggap karya-karya seperti itu bertentangan dengan semangat sains dan metode ilmiah.
Seiring waktu, meskipun sikap menjadi agak adil dan mulai dilakukan penelitian, tidak ada upaya yang dilakukan untuk memahami pesan Nabi dan ajarannya di Barat. Kemunculan dan kebangkitan Eropa modern selama Renaisans, yang ditentukan oleh kemajuan ilmiah dan teknologinya, tidak dapat menghentikan konflik dengan kepribadian agung dan spiritual Nabi dan menghilangkan ketakutannya akan penyebaran Islam. Sekalipun demikian, Muhammad bagaikan cahaya yang bersinar dalam kegelapan dunia ini, membawa pesan terbesar tentang martabat, hak asasi dan kebebasan manusia, dan ia telah menjadi mentor bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah.
Muhammad Saw memikat hati setiap manusia. Kenyataan ini memaksa para orientalis untuk mengakui kepribadiannya yang luar biasa dan ajarannya yang berpengaruh. Annemarie Schimmel dalam hal ini menulis, "Muhammad Saw adalah pelita Islam. Cahaya yang menerangi kegelapan dunia di mana para hadirin berkumpul. Ia adalah lilin yang menyala, sehingga hati manusia seperti laron yang terbang mengitarinya."
Mengenal Para Ulama Besar Syiah
Setelah Imam Mahdi as memasuki periode keghaiban panjang, muncul ribuan faqih dan ulama besar di kalangan Syiah untuk memberikan pencerahan dan membimbing masyarakat ke jalan Allah Swt.
Sejarah kehidupan dan perjuangan ilmiah mereka cukup menarik untuk disimak. Pada seri acara ini, kita akan menelusuri sejarah para ulama besar, kegiatan ilmiah mereka, karya-karyanya, dan kiprah mereka dalam menyebarkan ajaran agama. Selain itu, kita juga akan mempelajari tentang kepribadian dan kehidupan irfani mereka.
Dalam budaya Islam, para ilmuwan dan ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia. Rasulullah Saw – utusan terakhir dan penghulu para nabi – menyebut ulama sebagai pelita bumi dan pewaris para nabi.
Islam adalah agama langit yang terakhir dan setelah Muhammad Saw, tidak ada lagi nabi baru yang diutus oleh Allah Swt, karena manusia telah mencapai sebuah fase dari perkembangan dan kesempurnaan. Mereka menerima ajaran agama untuk kebahagiaan abadi dari Rasulullah Saw dan menjaganya sebagai sebuah warisan yang berharga.
Rasulullah Saw – sebagai hamba Allah Swt – telah menjalani kehidupan untuk beberapa saat di dunia ini dan kemudian dipanggil menghadap Sang Kuasa, tapi ajaran Islam harus tetap hidup sampai hari terakhir kehidupan umat manusia di bumi ini.
Keberadaan para imam maksum dari keturunan Rasulullah Saw – lebih dari dua abad setelah kemunculan Islam – telah menyebabkan pertumbuhan dan penyebaran ajaran Islam. Mereka menjaga Islam dari berbagai terjangan badai fitnah, nifak, dan penyimpangan. Para imam maksum mempersembahkan jiwa dan raganya untuk menjaga agama terakhir Ilahi ini.
Atas kehendak Allah, imam keduabelas (Imam Mahdi as) disembunyikan dari orang-orang sehingga tidak hanya manusia, tetapi alam penciptaan juga bisa tetap eksis dan jiwanya terselamatkan dari kejahatan para durjana.
Menurut sejumlah riwayat, alasan keghaiban Imam Mahdi as adalah bagian dari rahasia Allah yang akan diketahui setelah kemunculannya. Namun, ada beberapa alasan rasional yang disebutkan oleh riwayat seperti, untuk menguji masyarakat, memperlihatkan ketidakmampuan pemerintahan tiran dalam membahagiakan manusia, mendidik manusia, menjaga Imam sebagai perantaraan rahmat Ilahi, dan mempersiapkan dunia untuk mendirikan sebuah pemerintahan Ilahi yang adil.
Selama Imam Mahdi as menjalani fase keghaiban, para ulama yang bertakwa bertugas untuk menyebarluaskan Islam, menjelaskan persoalan agama, dan membimbing masyarakat. Berdasarkan banyak riwayat, kedudukan ulama di sisi Allah lebih tinggi daripada para nabi Bani Israil.
Ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah. Tuhan memperkenalkan orang-orang yang berilmu – setelah Dirinya dan para malaikat – sebagai pemberi kesaksian atas keesaan-Nya.
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali-Imran, ayat 18)
Di ayat tersebut, para pemilik ilmu yang bertauhid dan hatinya diterangi dengan cahaya iman, berada di urutan berikutnya setelah Tuhan dan para malaikat. Para imam maksum juga mengisyaratkan mengenai peran penting ulama di masa kegaiban panjang.
Imam Ali al-Hadi as berkata, "Andaikan tidak terdapat seorang ulama setelah kegaiban pemimpin kalian yang menyeru kepada-Nya, membimbing ke arah-Nya, dan lebur pada agamanya dengan hujjah-hujjah Allah serta membela orang-orang yang lemah di antara manusia dari cengkraman iblis dan tipu dayanya, maka tidak tersisa seorang pun kecuali murtad dari agama Allah."
Ada banyak ayat dan riwayat yang menyeru manusia untuk mengenali dan mengikuti ulama. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Allah Swt berfirman kepada Nabi Daniyal bahwa hamba-Ku yang paling dibenci di sisi-Ku adalah orang bodoh yang meremehkan hak orang alim dan tidak mengikutinya, dan hamba-Ku yang paling dicintai di sisi-Ku adalah orang bertakwa yang mengejar banyak pahala, bersama orang-orang alim, mengikuti orang-orang yang sabar, dan menerima orang-orang yang bijak."
Posisi istimewa yang diberikan Islam kepada ulama, bukan tanpa alasan. Berdasarkan kehendak Allah, Islam adalah agama terakhir yang membawa aturan yang paling sempurna untuk kebahagiaan manusia. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, agama ini melalui masa-masanya tanpa kehadiran seorang nabi pun dan untuk itu, ia membutuhkan kehadiran para ulama yang bisa menjawab tantangan dan tuntutan baru umat manusia.
Allah Swt melalui al-Quran, telah menjelaskan panduan umum dan kaidah yang tetap untuk kebahagiaan abadi manusia. Dengan merujuk ke sumber-sumber hukum agama, manusia diharapkan dapat menemukan landasan hukum untuk masalah-masalah parsial yang dihadapinya di berbagai bidang.
Upaya menyingkap landasan hukum ini disebut ijtihad yaitu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ulama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syar'i mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Quran dan hadis.
Para ulama perlu menguasai sumber-sumber agama secara penuh untuk dapat melakukan ijtihad dan mengeluarkan sebuah hukum fikih. Mereka berjuang siang-malam untuk menjaga agama dan memberikan pencerahan kepada manusia.
Anda bisa mengikuti sejarah kehidupan para ulama besar Syiah dan kontribusi mereka di masyarakat di seri-seri berikutnya.
Pemimpin Hamas Bertemu Menhan Malaysia di Qatar
Kepala Biro Politik Hamas, Palestina, Ismail Haniyeh, Minggu (19/1/2020) bertemu dengan Menteri Pertahanan Malaysia, Mohamad Sabu di Doha, Qatar.
ISNA (19/1) melaporkan, Ismail Haniyeh dan Mohamad Sabu dalam pertemuan itu membicarakan sejumlah masalah penting seputar hubungan bilateral kedua negara.
Dalam pertemuan itu Kepala Biro Politik Hamas juga mengapresiasi sikap pemerintah Malaysia terkait perjuangan bangsa Palestina.
Menurut Haniyeh, peran rakyat Malaysia cukup besar dalam mengurangi blokade Jalur Gaza melalui banyak delegasi yang mengunjungi wilayah ini.
Petinggi Hamas Bertemu PM Malaysia di Kuala Lumpur
Ketua Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh bertemu Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur.
Dalam lawatannya pada hari Selasa (21/1/2020), Haniyeh dan Mahathir bertukar pandangan seputar perkembangan di Palestina, dukungan untuk bangsa Palestina, dan cara-cara menghadapi tantantang yang dihadapi Palestina.
Haniyeh memulai tur ke luar negeri sejak pekan lalu. Ia telah berkunjung ke Mesir, Turki, dan kemudian Qatar. Dia juga datang ke Tehran untuk menyampaikan belasungkawa atas gugurnya Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani.
MUI Kecam Keras Serangan AS terhadap Qasem Solaemani
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengutuk keras serangan militer AS yang menewaskan Komandan Pasukan Quds Korp Garda Revolusi Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani bersama wakil komandan Al-Hashd al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis dan sejumlah orang lainnya.
Sekjen MUI, Anwar Abbas mengatakan, MUI mengutuk dengan keras pembunuhan terhadap Jenderal Iran, Qasem Soleimani yang tewas bersama pemimpin milisi Hashed al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis, di Bandara Internasional Baghdad Irak yang diserang dengan rudal dari drone AS.
Menurut Anwar, serangan AS terhadap Soleimani akan memicu ketegangan dan ancaman baru, karena Iran tidak akan tinggal diam dan akan melancarkan pembalasan yang menimbulkan petaka besar.
"Pembunuhan yang dilakukan secara terencana oleh pemerintah AS ini tentu jelas akan memantik ketegangan dan ancaman baru karena jelas pemerintah Iran sebagai negara yang berdaulat tidak akan tinggal diam dan akan melakukan pembalasan terhadap apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah AS tersebut dengan caranya sendiri," ujar Anwar, dilansir situs Detik Sabtu (4/1/2020).
Bendahara Umum PP Muhamadiyah ini menyerukan supaya Amerika tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan tidak beradab dalam menyelesaikan masalah, karena bisa menimbulkan masalah baru yang lebih rumit.
Langkah kekerasan yang dilakukan AS, tutur Anwar, selain tidak mudah untuk menyelesaikannya, juga berpotensi menyeret dan merusak kehidupan rakyat dan masyarakat di negara lain karena naiknya harga minyak dunia dan terganggunya perdagangan internasional.
PBNU Kecam Pembunuhan Jenderal Soleimani
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini menanggapi terbunuhnya Komandan Quds Force Iran, Jenderal Qassem Soleimani oleh serangan roket yang ditembakkan secara sengaja oleh militer AS.
Bagi PBNU, tindakan AS dengan melakukan pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani adalah tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan, dan melanggar prinsip-prinsip perdamaian dunia.
"(Kami) mengecam keras tindakan Pemerintah AS bersama militernya yang dengan sengaja menembakkan roket yang menyebabkan gugurnya Jenderal Qassem Soleimani," kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Selasa (7/1).
Helmy meminta kapada komunitas internasional dan PBB untuk menyeru kepada AS agar bertindak secara rasional demi kepentingan perdamaian dunia. Termasuk segera tarik pasukan-pasukan AS di Timur Tengah dan berhenti membunuhi rakyat di wilayah tersebut," tuturnya.
Selain itu, Helmy juga mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya-upaya bantuan penyelesaian konflik melalui PBB. Prinsip yang harus dipegang Indonesia harus objektif melihat persoalan ini.
"Dan juga kepada segenap masyarakat untuk bersikap tenang dan tidak terprovokasi sehingga terpancing melakukan tindakan yang semakin memperkeruh suasana," tutur dia.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta agar pemerintah Indonesia tetap mengambil sikap non-blok terkait konflik Amerika Serikat dan Iran yang kembali mencuat pasca serangan tersebut.
"Kita harus tegas mengambil politik bebas aktif non- blok. Tidak boleh kita berpihak kepada siapapun. Itu urusan mereka. Menurut saya begitu," ujar Kiai Said.
Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut dia, Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sebenarnya telah mengupayakan agar Amerika Serikat dan Iran bisa damai. Namun, menurut dia, pada kenyataannya negara-negara di Timur Tengah tetap bergejolak sampai saat ini.
"Itu sebenarnya sudah diusahakan. Tapi ya itulah kenyataannya di Timur Tengah ini selalu bergejolak. Tapi kita prinsipnya Indonesia harus tetap objektif, non-blok, bebas aktif," ucap Kiai Said.
Menlu RI Temui Dubes AS dan Iran, Minta Semua Pihak Menahan Diri
Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno LP Marsudi bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat dan Iran. Pertemuan digelar secara terpisah.
Retno mengatakan pertemuan digelar untuk menyampaikan sikap Indonesia terkait hubungan Iran dan AS usai pembunuhan Mayor Jenderal Qasem Soleimani.
"Tadi saya memanggil Duta Besar Iran (Mohammad Azad) dan Amerika Serikat (Joseph R Donovan Jr). Saya menyampaikan pesan persahabatan," kata Retno di Jakarta, Senin 6 Januari 2020 seperti dikutip media Detiknews.
Retno meminta AS dan Iran menahan diri. Dia menyebut eskalasi dalam hubungan antara Iran dan AS tidak akan bermanfaat bagi siapapun malahan bakal memberi dampak pada ekonomi dunia.
Menurutnya, ini pesan yang disampaikan Indonesia dalam politik luar negeri Indonesia.
Israel Gelar Latihan Militer untuk Persiapan 2020
Pasukan rezim Zionis Israel dikabarkan menggelar latihan militer di kota Haifa, utara Palestina pendudukan.
Seperti dilansir koran Yedioth Ahronoth, juru bicara militer Israel, Avichay Adraee mengatakan pelaksanaan latihan militer yang berakhir pada Rabu ini (22/1/2020) bertujuan untuk mempertahankan kesiapan tentara Israel pada 2020.
Dalam laporan militer rezim Zionis ke parlemen Knesset beberapa waktu lalu, disebutkan bahwa serangan potensial Hizbullah Lebanon ke gudang amonia di pelabuhan Haifa akan menewaskan sedikitnya ribuan warga Zionis.
Sementara itu, puluhan warga Israel terluka dalam serangan rudal pasukan perlawanan Palestina dari Gaza ke distrik Zionis di wilayah perbatasan Gaza.
Al-Hayya: Hubungan Hamas dengan Iran, tidak Berubah
Anggota Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) mengatakan, hubungan Hamas dengan Republik Islam Iran sama sekali tidak berubah dan juga tidak akan berubah di masa depan.
Khalil al-Hayya, seperti dilaporkan televisi al-Alam, Rabu (22/1/2020) menambahkan, dukungan Iran terhadap poros perlawanan selalu berlanjut dan Letnan Jenderal Qasem Soleimani memainkan peran besar dalam hubungan baik Hamas dan Tehran.
Al-Hayya menjelaskan bahwa Hamas telah berubah menjadi bagian dari kebijakan anti-Amerika dan anti-Zionis, yang diadopsi Iran dan Hizbullah Lebanon.
"Hamas juga selalu berada di samping Iran pada masa-masa sulit dan tidak takut terhadap perimbangan politik di kawasan," ucapnya.
Di bagian lain, al-Hayya menegaskan jika rezim Zionis tidak mematuhi kesepakatan dengan Palestina pada tahun 2020, maka poros perlawanan akan memulai kembali serangan rudal ke Israel.
"Rezim Zionis menyetujui tuntutan-tuntutan Hamas secara lisan, tapi dalam praktiknya, mereka selalu melanggar kesepakatan dan memperketat blokade Gaza," ungkapnya.



























