کمالوندی
Penindasan Dimulai dari Kedzaliman yang Kecil
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Khosrow Anushirvan (kelahiran 501, kematian 579 AD) putra Ghobad I, yang merupakan raja Sasania selama 22 tahun dijamu masyarakat dengan panggang daging sapi, namun garam tidak ada di sana karena kebetulan mereka telah kehabisan garam, salah satu budak pergi ke desa untuk membeli garam. Anoushirvan berkata kepada si budak: (Beli garam dengan harga tidak kurang dari harga pasaran (jangan ditawar), sehingga tidak menjadi awal mula dari kebohongan-kebohongan dan dengan demikian desa tidak akan hancur.)
Mereka berkata kepada Anoushirvan, “Apa masalahnya jika kita menawar harga lebih murah?”
Anooshirovan menjawab: “Penindasan dan kedzaliman yang besar dimulai dari waktu yang singkat dan sesuatu yang kecil kemudian berulang kali meningkat dan meningkat.”
Orang bijak akan selalu menghindari kedzoliman sekecil apapun sehingga tidak menjadi awal mula dari kedzaliman yang lebih besar. Oleh karena itu, marilah kita menjaga diri kita untuk senantiasa menjauhi segala kedzoliman sekecil apapun.
Maafkanlah Kesalahan Orang Lain Padamu
Salah satu putra Harun al-Rashid (khalifah Abbasiyah kelima), ketika sangat marah, datang kepada ayahnya dan berkata:
‘Ayah, putra fulan (Salah satu petinggi kerajaan) menghina ibuku.”
Harun memanggil para tetua pemerintah dan berkata kepada mereka: “Apa hukuman bagi orang seperti itu yang telah menodai kehormatan istriku?”
Seseorang berkata: “Hukumannya adalah eksekusi mati.” Yang lain berkata: “Hukumannya adalah potong lidah.” Ketiga, dia berkata: “Adalah lbih baik jika hukumannya disita hartanya.” Keempat berkata: “Lebih baik diasingkan saja.”.
Harun menoleh ke putranya dan berkata: “Wahai anakku! Kemuliaan bagi dirimu adalah jika kamu memaafkannya, dan jika tidak bisa, berarti kamu juga menghina ibunya, tetapi tidak setara dengan balas dendam,”
Pesan yang disampaikan oleh raja Harun Ar-Rasyid ini bagi kita adalah untuk senantiasa memaafkan kesalahan orang lain karena kemuliaan ada pada memaafkan kesalahan orang lain kepada kita ukan membalas keburukannya.
Hasil tidak Akan Membohongi Usaha
Dikisahkan bahwa salah satu raja Arab mengatakan kepada pengikutnya: “Bayar gaji si fulan dua kali lipat, karena dia selalu berjaga di depan pintu dan siap siaga untuk melaksanakan perintah, tetapi para pelayan lainnya hanya bias berleha-leha dan menyepelekan perintah.”
Ketika dia mendengar perintah ini, pengikut tersebut berteriak dan menjerit sehingga suaranya memenuhi istana.
Mereka bertanya: Kenapa kamu marah? Apa maksud dari kemarahan ini?
Dia menjawab: “Pangkat hamba di jalan Tuhan yang agung adalah sama. Lalu kenapa raja berani membedakan gaji pelayannya?”
Raja bijak pun menjawab: Orang yang gagal mematuhi perintah tuannya akan memiliki upah yang lebih rendah, tetapi dia akan dihargai ketika dia bersungguh-sungguh melaksanakan perintah tuannya.
Salman, Gubernur Muslim Yang Berkhidmat Pada Masyarakat
Kali ini, cerita hikmah hadir membawakan kisah nyata dari seorang gubernur yang benar-benar melayani serta berkhidmat pada masyarakat dan gubernur tersebut adalah seorang muslim. Ia adalah Salman Al-Farisi. Bagaimana kisahnya, mari kita baca bersama-sama!
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya.
“Hai kuli, kemari! Tolong bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.”
Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.
Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir! Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?
Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan, kalau orang itu adalah gubernur kami?”
Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada “kuli upahannya” yang ternyata adalah Salman al Farisi.
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Mada’in” ucap si pedagang.
“Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.”
Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”
Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan ke-gubernuran-ku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?
Agama Islam Jelas Muliakan Perempuan (Part 1)
Islam memandang semua manusia mempunyai derajat yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Dalam Islam hanya ketakwaannya saja yang membedakan antara satu sama lain. Selebih itu baik laki-laki maupun perempuan semuanya sama di hadapan Allah swt.
Perempuan Dalam Al-Quran
Al-Quran sendiri menjelaskan bahwasanya perempuan dan laki-laki itu sama yakni dalam penciptaan pun Allah tidak membedakan mereka.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” (Surah Al-Araf, ayat 189)
Dari sini Allah swt hendak menjelaskan bahwa wanita dan laki-laki itu diciptakan dari bahan yang sama. Jika laki-laki diciptakan dari tanah maka begitu pun dengan perempuan, mereka diciptakan juga dari tanah.
Selanjutnya adalah di dalam al-Quran kita menemukan bahwa yang menjadi lawan bicara al-Quran bukan hanya laki-laki saja akan tetapi umum antara laki-laki dan perempuan. Misalnya saja al-Quran menggunakan kata An-Nas (Manusia), Bani Adam (Anak Adam), atau juga Insan (manusia).
Kemudia Allah berfirman secara jelas bahwa laki-laki dan perempuan itu sama di sisi-Nya dan yang membedakan adalah ketakwaan mereka.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surah Al-Hujurrat, ayat 13).
Sampai di sini kita telah buktikan bahwasanya perempuan dan laki-laki itu sama dalam agama Islam tidak ada perbedaannya sama sekali.
Baginda Nabi Muhammad Cerminkan Islam Ramah Bukan Islam Marah
Baginda Nabi Muhammad saw terkenal dengan seorang pribadi yang tidak pernah terdahului dalam berucap salam. Yakni baginda Nabi Muhammad saw selalu menjadi orang yang pertama dalam menyampaikan salam.
Namun suatu hari ada seorang dari sahabat Nabi ingin menyampaikan salam sebelum Nabi mengucapkan salam padanya. Kemudian sang Sahabat bersembunyi di belakang dinding.
Setelah itu ketika Nabi Muhammad saw berjalan mendekati dinding tersebut turun Malaikat Jibril as dan memberitahu Nabi bahwa ada seseorang yang menunggunya di belakang dinding.
Kemudian ketika hampir mendekati dinding, beliau mengucapkan salam padanya.
یا من اختفیت وراء الحائط: سلام علیکم
“Wahai engkau yang bersembunyi di belakang dinding, Assalmaualaikum.”
Sahabatpun terkejut dan menjawab salam Nabi Muhammad saw.
Saudara-saudaraku inilah akhlak Nabi Muhammad saw yang sangat agung. Beliau adalah cerminan agama Islam yang rahmah bukan agama Islam yang marah.
Nabi saw tidak pernah terdahului dalam berucap salam dan juga selalu menjadi orang pertama yang berucap salam pada yang lainnya.
Kisah Hikmah; Imam Hanafi dan Harta Yang Hilang
Suatu hari Hasan bin Jiyad bercerita tentang seorang laki-laki yang datang menghampiri Imam Fiqih Abu Hanifah. Laki-laki tersebut datang dan berkata padanya, “Bertahun-tahun aku mengumpulkan uang dan harta. Lalu aku menyimpannya di sebuah tempat tapi aku lupa di mana uang dan hartaku berada. Bisakah engkau membantuku?”
“Permasalahanmu bukan permasalahan ahli Fiqih.” Jawab Abu Hanifah. Lalu setelah itu beliau berpikir sejenak dan berkata pada laki-laki tersebut.
“Shalatlah kamu dari malam sampai subuh tiba! InshaAllah engkau akan mengingat tempat kamu menyimpan uang dan harta-harta mu.”
Laki-laki tersebut pergi dan di malam harinya ia mendirikan shalat. Lalu tanpa waktu lama, tiba-tiba dia mengingat tempat tersebut dan pergi mengambil uang dan harta-hartanya.
Keesokan harinya, laki-laki tersebut pergi menuju Abu Hanifah untuk berterimakasih dan berkata padanya, “Bagaimana bisa engkau mengetahui bahwa dengan perantara hal ini, aku bisa mengingat tempat menyimpan uang-uangku?”
“Karena aku mengetahui bahwa setan tidak akan membiarkanmu shalat dari malam sampai menjelang subuh. Setan akan mengganggumu dengan mengingatkanmu tempat menyimpan uang-uangmu yang terlupa.”
Pembaca yang budiman, dari cerita di atas kita mengetahui bahwasanya setan senantiasa mengganggu kita walaupun kita tengah dalam keadaan shalat. Yang diinginkan setan adalah supaya manusia menjadi temannya di dalam neraka. Yakni manusia menjadi jauh dari Tuhan dan dekat dengan dirinya, itulah tujuan setan. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran, surah an-Nisa ayat 118-120 bahwa setan tidak akan pernah berhenti untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah swt sehingga manusia masuk neraka bersamanya.
Maka dari itu penting kiranya kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap langkah hidup kita serta senantiasa berlindung pada Allah swt setiap waktunya supaya tidak terjerumus dalam godaan setan.
Siti Fathimah Az-Zahra Yang Akhlaknya Mirip Nabi Saw
Suatu ketika, di hari pernikahan Siti Fathimah az-Zahra dengan sayidina Ali bin Abi Thalib, ketika semua orang berbahagia, datang seorang perempuan faqir meminta bantuan pada hadirin. Namun tidak ada yang memberikan batuan padanya.
Lalu, siti Fathimah az-Zahra melihat peristiwa ini. Kemudian ia pergi dari keramaian ke rumah sayidina Ali, setelah itu dia melepaskan baju pengantinnya dan memakai pakaian lamanya.
Kemudian siti Fathimah datang menghampiri wanita faqir dan memberikan pakaian pengantinnya untuk dijual di pasar sehingga uangnya bisa ia gunakan.
Ketika Baginda Nabi Muhammad saw mendegar hal ini, lalu beliau bertanya pada anak semata wayangnya, Fathimah.
“Wahai anak ku yang tersayang! Kenapa engkau melakukan hal ini, memberikan gaun pengantinmu di hari pernikahan mu?”
Kemudian siti Fathimah menjawab, “Aku ingin mengamalkan apa yang engkau sabdakan untuk menginfakkan apa yang kalian cintai pada yang membutuhkan.”
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَ ما تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَليمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang engkau infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. “ (Surah Ali Imran, ayat 92)
Kedudukan Luhur Sayidah Fatimah Az-Zahra (2)
Hari-hari Fatimiyyah adalah sebuah momen yang diisi oleh para pengikut Syiah dengan acara duka untuk mengenang hari kesyahidan Sayidah Fatimah az-Zahra as.
Tanggal kesyahidan Sayidah Fatimah tidak diketahui secara jelas dan ada perbedaan riwayat mengenai hal ini. Di Iran, ada dua hari berkabung untuk memperingati syahadah wanita mulia ini yaitu tanggal 13 Jumadil Awal dan 3 Jumadil Akhir. Hari-hari ini disebut dengan hari-hari Fatimiyah pertama dan Fatimiyah kedua.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat an-Nur
Sosok Sayidah Fatimah az-Zahra disebut sebagai sebuah pelita bagi pecinta Ahlul Bait dalam ayat Misykat (ayat 35 surat an-Nur), sementara para imam maksum yang lahir dari keturunannya adalah pemberi petunjuk kepada umat manusia.
"Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah tempat pelita yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu berada dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api (lantaran minyak itu sangat bening berkilau). Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nur, ayat 35)
Para mufassir telah menafsirkan ayat Nur dengan berbagai metode dan secara khusus menyebutkan beberapa objek mengenai kata misykat (tempat pelita). Muhammad Ali ibn Ibrahim Qummi dalam bukunya, Tafsir al-Qummi menulis, "Maksud dari kata misykat adalah Fatimah az-Zahra dan arti dari kalimat Fiha Misbah al-Misbahu adalah dua putra mulianya, Imam Hasan dan Imam Husein."
Beberapa kitab tafsir dengan mengutip sebagian riwayat, menafsirkan kata zujajah sebagai Imam Ali as dan kalimat Nurun Ala Nur adalah para imam Syiah yang datang silih berganti dan memiliki cahaya ilmu dan hikmah.
Seorang ulama besar Syiah, Allamah al-Majlisi ketika menafsirkan kalimat Nurun Ala Nur, mengutip sebuah riwayat dari Imam Jakfar Shadiq as yang berkata, "Di tengah Ahlul Bait, terdapat para imam yang datang silih berganti dan masing-masing dari mereka adalah pemberi petunjuk ke jalan makrifat."
Iya, Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Sosok Sayidah Fatimah as merupakan misykat yang darinya lahir para imam maksum. Semua makrifat Ilahi terpancar dalam wujudnya dan ia adalah penjaga cahaya tauhid, dan mereka semua berasal dari nur (cahaya) yang satu.
Ilustrasi peringatan hari syahadah Sayidah Fatimah az-Zahra as.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat Ibrahim
Sekarang kita akan mengkaji tafsir ayat 24 dan 25 surat Ibrahim, dan secara khusus menafsirkan maksud dari kalimat syajarah thayyibah (pohon yang baik) dalam ayat tersebut.
Allah Swt berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat." (QS. Ibrahim, ayat 24-25)
Menurut berbagai riwayat, maksud dari kalimat syajarah thayyibah adalah Rasulullah Saw, Imam Ali, Sayidah Fatimah as, dan kedua putra mereka.
Sallam Ibn Mustanir mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir as tentang firman Allah, 'seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.'
Imam menjawab, "Pohon itu adalah Rasulullah yang garis keturunannya tertancap kokoh di Bani Hasyem. Batang pohon itu adalah Ali as, dan akarnya adalah Fatimah, cabang-cabangnya adalah para imam maksum, dan daun-daunnya adalah para pengikut Syiah. Jika ada satu orang Syiah meninggal dunia, maka satu daun dari pohon itu akan jatuh, dan jika ada satu kelahiran, maka satu daun baru akan tumbuh."
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat al-Baqarah
Allah Swt mengajarkan beberapa kalimat kepada Nabi Adam as dan kalimat tersebut membuat taubatnya diterima.
Setelah termakan godaan syaitan dan turunnya perintah keluar dari surga, Nabi Adam menyadari bahwa ia telah menzalimi dirinya dan dengan penuh penyesalan bertaubat kepada Allah. Dia mendengar permohonan taubat Nabi Adam as dan mengajarkan beberapa kalimat kepadanya sebagai syarat penerimaan taubat.
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah ayat 37)
Para mufassir berbeda pendapat mengenai "kalimat-kalimat" yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam untuk bertaubat. Berbagai riwayat yang dinukil dari Ahlul Bait menyebutkan bahwa maksud dari "kalimat-kalimat" adalah mengajarkan nama-nama manusia yang paling mulia yaitu Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein as.
Nabi Adam bertawassul kepada nama-nama tersebut untuk memohon ampunan dari Allah dan Dia pun menerima taubatnya. Kalimat-kalimat tersebut juga membuat Nabi Ya'qub memperoleh kembali penglihatannya setelah menangis terus-menerus karena perpisahan dengan Yusuf, kapal Nabi Nuh as terselamatkan dari badai dan bersandar di sebuah bukit, dan padamnya kobaran api yang dinyalakan untuk membakar Nabi Ibrahim as.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat ar-Rahman
Allah Swt dalam surat ar-Rahman ayat 19-22 berfirman, "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan."
Dalam sebuah riwayat dari Sa'id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas disebutkan, "Makna dari dua lautan asin dan tawar yang keduanya kemudian bertemu adalah Ali dan Fatimah. Maksud dari batas pemisah yang tidak melampaui masing-masing adalah kasih sayang abadi yang terjalin di antara kedua sosok mulia ini, dan maksud dari mutiara dan marjan yang keluar dari lautan tersebut adalah Hasan dan Husein as."
Sebuah riwayat lain dari Ibnu Abbas, telah memperjelas penafsiran dari kalimat, "antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing" yaitu bahwa di antara kedua pribadi mulia tersebut, terdapat cinta dan kasih sayang yang sedemikian rupa sehingga menjauhkan segala bentuk emosi dan dendam.
Samudera kasih sayang Sayidah Fatimah dan suaminya adalah tidak bertepi, demikian juga dengan makrifat dan keutamaan mereka berdua.
Ayat tersebut berbicara tentang keutamaan besar dan kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi as. Allah Swt menjadikan mereka sebagai sumber keberkahan, gudang ilmu pengetahuan, teladan akhlak yang mulia, simbol ketakwaan dan kesucian, serta simbol kedermawanan.
Anak-anak mereka merupakan mutiara yang berharga, yang tumbuh besar di tengah samudera kasih sayang Sayidah Fatimah dan Imam Ali as. Hasan dan Husein as mewarisi keindahan fisik dan batin, ilmu, dan takwa dari kedua orang tuanya.
Kedudukan Luhur Sayidah Fatimah Az-Zahra (1)
Ayyam Fatimiyah (hari-hari duka Sayidah Fatimah Az-Zahra as) adalah hari berkabung dan berduka cita yang diperingati untuk mengenang syahadah putri tercinta Rasulullah Saw ini.
Hari kesyahidan Sayidah Fatimah as tidak diketahui secara pasti dan ada perbedaan riwayat mengenai hal ini. Ada dua hari istimewa yang dikenang untuk memperingati syahadah putri Rasulullah Saw ini yaitu tanggal 13 Jumadil Awal dan 3 Jumadil Akhir. Hari-hari itu disebut dengan hari-hari Fatimiyah.
Di sini, kita akan mengupas tentang ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan kedudukan Sayidah Fatimah az-Zahra as. Ia memiliki kedudukan yang luhur sehingga Allah Swt menurunkan banyak ayat al-Quran tentang istri Imam Ali as ini.
Allah Swt menurunkan surat al-Kautsar untuk menunjukkan kedudukan luhur dan mulia Sayidah Fatimah as, pengorbanan tulusnya diabadikan dalam surat al-Insan, kesucian wanita ini dijelaskan dalam Ayat Tathir (ayat 33 surat al-Ahzab), puncak irfani dan spiritualitasnya digambarkan dalam Ayat Mubahalah (ayat 61 surat Ali Imran).
Keberadaan Sayidah Fatimah disebut sebagai sebuah pelita bagi para pecinta Ahlul Bait dalam Ayat Misykat (ayat 35 surat an-Nur), ia diperkenalkan sebagai sebuah pohon yang suci dalam ayat 24 surat Ibrahim.
Sayidah Fatimah dan Imam Ali as adalah samudera ilmu dan makrifat Ilahi, sementara anak-anak mereka adalah mutiara dalam samudera itu. Ayat Mawaddah (ayat 23 surat al-Syura) menjelaskan bahwa upah atas jerih payah Rasulullah Saw adalah mencintai dan menyayangi Ahlul Baitnya.
Di antara putra-putri Sayidah Khadijah as dan Rasulullah Saw adalah Abdullah. Namun, Abdullah meninggal dunia di usia kanak-kanak. Pada suatu hari, salah satu pemimpin kaum musyrik Makkah, Ash bin Wa'il melihat Rasulullah ketika keluar dari Masjidil Haram dan berbicara singkat dengannya.
Sekelompok pemimpin Quraisy yang menyaksikan pertemuan mereka, bertanya hal itu kepada Ash bin Wa'il. Mereka berkata, "Dengan siapa kamu berbicara tadi?" Dia menjawab, "Dengan dia yang (Abtar) terputus!"
Allah kemudian menurunkan surat al-Kautsar untuk membela dan membesarkan hati Rasulullah. "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."
Para mufassir menafsirkan al-Kautsar sebagai kebaikan dan nikmat yang banyak yaitu banyaknya keturunan Rasulullah dan ini terwujud melalui anak-anak Sayidah Fatimah, di mana anak keturunannya tidak terhitung jumlah mereka dan ini akan berlanjut sampai hari kiamat.
Mayoritas ulama Syiah menganggap sosok Sayidah Fatimah as sebagai al-Kautsar. Menurut takwil ayat ini, Allah memberikan keturunan yang banyak kepada Rasulullah melalui putrinya ini.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Barang siapa yang membaca surat al-Kautsar dalam shalat wajib dan sunnahnya, maka Allah akan mengeyangkannya dengan air telaga Kautsar pada hari kiamat."
Pengorbanan tulus Sayidah Fatimah as dan keluarganya diabadikan oleh Allah dalam surat al-Insan.
Imam Hasan dan Imam Husein as menderita sakit selama beberapa hari. Rasulullah dan beberapa sahabat pergi membesuk cucunya itu di rumah mereka. Di sana, Rasulullah berkata kepada Imam Ali, "Jika engkau bernazar untuk kesembuhan mereka, maka Allah akan mempercepat kesembuhannya."
Imam Ali as menjawab, "Wahai Rasulullah! Aku akan bernazar untuk kesembuhan mereka berdua yaitu melakukan puasa syukur selama tiga hari."
Beberapa hari kemudian, Imam Hasan dan Imam Husein telah sembuh dari sakitnya. Dengan demikian, Imam Ali dan Sayidah Fatimah bersama pelayannya Fidhah menunaikan nazar mereka dengan berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
Imam Ali as kemudian meminjam gandum dan Fiddhah membuat lima potong roti dan ketiganya berpuasa. Ketika tiba waktu berbuka, seorang peminta-minta mengetuk pintu rumah dan meminta makanan. Karena tidak ada makanan lain selain beberapa potong roti di rumah, mereka memberikan roti itu kepada pengemis itu dan hanya berbuka dengan air.
Mereka berpuasa di hari kedua dengan perut kosong. Imam Ali kembali meminjam gandum untuk dibuatkan roti lalu berbuka dengannya. Tapi ketika tiba waktu berbuka, giliran seorang anak yatim yang mengetuk pintu rumah mereka dan meminta bantuan. Kali ini juga keluarga Imam Ali harus merelakan roti untuk berbuka puasa diberikan kepada anak yatim itu.
Hari ketiga mereka berpuasa dalam kondisi perut kosong belum diisi apapun selama dua hari. Kejadian hari pertama dan kedua terulang kembali di hari ketiga. Ketika akan berbuka puasa, ada orang lain yang membutuhkan bantuan mengetuk pintu rumah mereka.
Setelah mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu itu adalah seorang hamba sahaya yang tertawan oleh pemiliknya yang kaya raya, keluarga Imam Ali untuk ketiga kalinya harus merelakan roti untuk berbuka puasanya diberikan kepada budak itu.
Di hari keempat, Rasulullah Saw mendatangi rumah Ali untuk mengetahui apa yang terjadi. Beliau melihat keluarga Ali dalam kondisi lemah. Setelah bertanya apa yang terjadi, beliau segera mengangkat tangannya dan berdoa, "Wahai Zat yang segera pertolongannya! Ya Allah, anak-anak Muhammad, Nabi-Mu terlihat lemah akibat lapar. Ya Allah, bantulah mereka..."
Ketika itu, malaikat Jibril datang dan berkata, "Wahai Muhammad! Terimalah ucapan selamat dari Allah!" Nabi Muhammad Saw berkata, "Apa itu?" Malaikat Jibril kemudian membacakan surat al-Insan dan berkata, "Surat itu diturunkan untuk Ali dan keluarganya yang suci."
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (QS. Al-Insan: 8-9)
Peringatan hari gugurnya Sayidah Fatimah as di Tehran. (dok)
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat al-Qadr
Menurut sabda Rasulullah Saw, Fatimah adalah pemimpin wanita semesta alam dan membutuhkan makrifat yang tinggi untuk memahami kedudukannya. Diriwayatkan dari para imam maksum bahwa ia dinamakan Fatimah karena para hamba tidak mampu memahami kedalaman makrifatnya.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?"
Imam Jakfar Shadiq berkata, "Lailah (malam) adalah Fatimah dan al-Qadr adalah Allah. Barang siapa yang mengenal Fatimah dengan sebenar-benarnya makrifat, maka dia telah menemukan malam Lailatul Qadr."
Jadi, orang yang memahami kedudukan luhur Sayidah Fatimah as dengan sebenar-benarnya makrifat, maka ia telah merasakan malam Lailatul Qadr. Sebagaimana hakikat keberadaan malam Lailatul Qadr berbalut misteri, maka hakikat Fatimah juga tersembunyi dan tidak semua orang bisa memahami kedudukannya. Kedudukan Fatimah dan Lailatul Qadr adalah dua mutiara yang tersembunyi.
Lailatul Qadr adalah malam diturunkannya al-Quran, sementara Fatimah as adalah tempat diturunkannya al-Quran natiq (yang berbicara) yaitu para imam maksum.



























