کمالوندی
Protes Pertemuan dengan Trump, Penasihat Presiden Irak Mundur
Sejumlah media Irak mengabarkan pengunduran diri penasihat Presiden Irak sebagai bentuk protes atas pertemuan Presiden Irak dengan Presiden Amerika Serikat di sela Forum Ekonomi Dunia, WEF di Davos, Swiss.
Fars News (22/1/2020) melaporkan, Ahmed Al Yasiri mengundurkan diri dari posisinya untuk memprotes pertemuan Presiden Irak Barham Salih dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Davos, Swiss.
Stasiun televisi Al Ahed dan Biladi Irak, Rabu (22/1) mengatakan alasan pengunduran Ahmed Al Yasiri adalah pertemuan Presiden Irak dengan sejawatnya dari Amerika di sela pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia, ke-15 di Davos.
Gelombang anti-Amerika meluas di Irak pasca serangan udara Amerika yang menyebabkan Letjen Qasem Soleimani dan Wakil Komandan Hashd Al Shaabi, Abu Mahdi Al Muhandis, gugur di Baghdad.
Al-Baldawi: Demo Jumat, Referendum Pengusiran Amerika
Anggota koalisi al-Fatah di parlemen Irak, Mohammad al-Baldawi mengatakan, "Aksi demo hari Jumat di Irak sebuah referendum rakyat menentang kehadiran Amerika di negara ini."
IRNA melaporkan, Mohammad al-Baldawi Kamis (23/01) seraya menjelaskan bahwa aksi demo Jumat (24/01) akan menunjukkan sikap rkayat Irak terkait kehadiran Amerika di wilayah negara mereka menambahkan, upaya Amerika untuk terus bercokol di Irak akan gagal.
Aksi demo Jumat (24/01) atas seruan tokoh dan kubu politik, agama dan nasional Irak akan digelar usai shalat Jumat di berbagai kota negara ini termasuk Baghdad.
Menyusul serangan teror Amerika di Baghdad pada Jumat (03/01) dini hari yang menggugurkan Komandan pasukan Quds IRGC Letjen Qasem Soleimani, Abu Mahdi al-Muhandi, wakil komandan Hashd al-Shaabi serta delapan orang lainnya, anggota parlemen Irak pada 5 Januari meratifikasi draf pengusiran militer Amerika dari wilayah negara ini.
Berbagai petinggi Irak termasuk Perdana Menteri Adil Abdul Mahdi pasca diratifikasinya draf ini oleh parlemen menekankan penarikan segera pasukan Amerika dari wilayah Irak.
AS, Aktor Pemicu Kekacauan di Kawasan
Wakil Tetap Iran untuk PBB, Majid Takht Ravanchi menilai petualangan militer AS di wilayah Asia Barat sebagai pemicu instabilitas, dan mengatakan contoh terbaru dari petualangan ini adalah teror terhadap Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani di dekat bandara Baghdad, Irak.
Dia menyampaikan hal itu dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, yang dilaksanakan pada hari Rabu (22/1/2020) untuk membahas situasi di Asia Barat dan Palestina.
"Aksi pengecut meneror Letjen Soleimani merupakan contoh nyata dari terorisme negara dan pelanggaran serius terhadap prinsip hukum internasional, yang menuntut tanggung jawab internasional Amerika," tegas Takht Ravanchi.
Petualangan Donald Trump telah menciptakan berbagai krisis di dunia dan dalam hal ini, wilayah Asia Barat sangat merasakan dampak dari manuver politik dan militer AS.
Kawasan ini terjebak dalam krisis akibat ulah AS menggunakan isu terorisme sebagai alat, menempatkan pasukan secara ilegal di Suriah dan Irak, memberikan dukungan militer dan politik secara mutlak kepada rezim Zionis, dan mengerahkan banyak pasukan ke Asia Barat.
AS pantas disebut sebagai pemicu kekacauan di Asia Barat karena mereka memberikan dukungan untuk kebijakan perang Israel di Palestina, mendukung kebijakan provokatif rezim-rezim Arab, melakukan intervensi terhadap proses demokratisasi di Irak, dan meneror petinggi militer Iran.
AS datang ke Asia Barat dengan klaim memerangi terorisme, memasuki wilayah Suriah dengan alasan menumpas Daesh, dan sekarang terbukti hanya untuk menguasai ladang minyak negara itu. Di Irak, AS mencegah terciptanya keamanan dan pembangunan di negara tersebut.
Kebijakan AS tidak menghadirkan sesuatu untuk bangsa-bangsa regional kecuali kekacauan dan instabilitas. Dengan demikian, cara paling efektif untuk memastikan perdamaian dan keamanan regional adalah mengusir pasukan AS dari kawasan penting ini.
Setelah meneror Letjen Soleimani, sekarang desakan untuk mengusir pasukan AS dari kawasan semakin nyaring terdengar. Dengan aksi terorismenya, masyarakat di negara-negara kawasan termasuk Irak, mulai mengenali wajah asli Amerika.
Kehadiran jutaan orang pada acara tasyi' jenazah Letjen Soleimani di Irak dan Iran serta acara duka yang digelar di negara-negara lain, merupakan sebuah momentum yang tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat yaitu mengusir pasukan AS dari kawasan, dan sentimen anti-Amerika semakin meningkat dari sebelumnya.
Saat ini di kawasan dan dunia hanya sedikit orang yang percaya dengan klaim AS dalam masalah memerangi terorisme. Tuntutan bangsa-bangsa regional saat ini adalah mengusir pasukan AS dan ini menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan ketenangan dan stabilitas di kawasan ini.
Komandan Basij Iran Gugur Diteror di Darkhovin
Kepala Hubungan Masyarakat, Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC, Provinsi Khuzestan, barat daya Iran mengabarkan gugurnya komandan pasukan relawan rakyat Basij kota Darkhovin.
Mohammad Reza Nemati, Rabu (22/1/2020) mengatakan, Komandan Basij Kota Darkhovin, Abdolhossein Majdami, Rabu (22/1) gugur ditembak dua teroris di depan rumahnya.
Menurut Reza Nemati, sampai saat ini belum ada orang atau kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas teror tersebut.
Ia menambahkan, penyelidikan sudah dimulai, dan hasilnya akan segera diumumkan ke publik.
Abdolhossein Majdami adalah salah satu pembela Makam-makam Suci Ahlul Bait as, dan kawan Komandan Pasukan Qods, IRGC, Letjen Syahid Qasem Soleimani.
Konferensi Internasional "HAM AS Menurut Perspektif Rahbar"
Konferensi Internasional Kedua "HAM Amerika dari Perspektif Rahbar (Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei) telah berlangsung pada hari Selasa, 21 Januari 2020.
Konferensi yang digelar di aula seminar Basirah bekas "Sarang Mata-mata Amerika" itu terfokus pada terorisme pemerintah Amerika dan balasan keras.
Amir Hatami: Tamparan Iran kepada AS di Ain al-Asad akan Abadi
Menteri Pertahanan Republik Islam Iran mengatakan, dampak tamparan keras angkatan bersenjata Iran menarget pangkalan militer AS di Ain al-Asad akan abadi di sejarah.
Seperti dilaporkan IRNA, Amir Hatami Kamis (23/01) di Konferensi Standar Kualitas Angkatan Bersenjata Republik Iran di Tehran menambahkan, tamparan keras angkatan bersenjata Iran dalam menarget pangkalan AS di Ain al-Asad dilakukan di level tertinggi standar dari sisi waktu, kualitas dan akurasi rudal.
Seraya menjelaskan bahwa balasan atas kejahatan AS adalah tuntutan umum bangsa Iran, Amir Hatami mengatakan, "Dewasa ini Republik Islam memiliki seluruh elemen kekuatan dan tekad yang diperlukan untuk membalas agresor dan setiap ancaman di setiap level akan dibalas dengan senjata defensif berkualitas.
Sepah Pasdaran Iran dalam membalas kejahatan Amerika meneror Komandan pasukan Quds IRGC, Letjen Qasem Soleimani pada (08/01) menembakkan puluhan rudal ke pangkalan militer AS di Provinsi al-Anbar dan Arbil Irak.
Syahid Soleimani yang berkunjung ke Irak atas undangan resmi petinggi negara ini, pada Jumat (03/01) dini hari bersama Abu Mahdi al-Muhandis, wakil komandan Hashd al-Shaabi beserta delapan orang lainnya gugur syahid akibat serangan udara militer Amerika di dekat Bandara Udara Baghdad.
Masa Depan Perjanjian Nuklir JCPOA yang Makin Rumit
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Javad Zarif dalam statemennya pada hari Senin, 20 Januari 2020 menyinggung perilaku ilegal dan tak dapat dibenarkan Eropa terhadap perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama).
Dia mengatakan, jika berkas Iran dikirim ke Dewan Keamanan PBB, maka Tehran berpotensi untuk keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Dia menambahkan, Iran menindaklanjuti keputusan terbaru troika Eropa (Inggris, Prancis, dan Jerman) untuk mengaktifkan mekanisme penyelesaian sengketa JCPOA melalui jalur hukum.
"Republik Islam Iran memulai pembahasan metode penyelesaian sengketa secara resmi setelah Amerika Serikat keluar dari JCPOA," ujarnya.
Zarif menjelaskan, Iran mengirim tiga surat pada 10 Mei, 26 Agustus dan November 2018 kepada Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini dan dalam surat tersebut secara resmi dinyatakan bahwa metode penyelesaian sengketa telah dimulai.
Menlu Iran lebih lanjut menuturkan, Tehran setelah mengirim surat pada bulan November, memberi tenggat waktu 7 bulan kepada Uni Eropa, dan Iran pada Mei 2019 memulai penurunan komitmennya dalam JCPOA di mana dua bulan kemudian dampak nyatanya telah mulai terlihat.
Menurut Zarif, Iran mengambil lima langkah penurunan komitmennya dalam perjanjian JCPOA dan tidak ada rencana untuk mengambil langkah berikutnya untuk menurunkan komitmen tersebut.
"Jika Eropa kembali pada komitmen-komitmennya dalam JCPOA, maka Iran akan menghentikan langkahnya ini. Namun jika Eropa tetap melanjutkan langkahnya tersebut sesuai dengan permainan politik, maka Republik Islam memiliki berbagai sarana untuk digunakan," pungkasnya.
Pasca keluarnya AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018, Jerman, Inggris dan Perancis berjanji mempertahankan kesepakatan internasional ini dan mempertahankan kepentingan ekonomi Iran, namun sampai saat ini, ketiga negara itu belum melakukan langkah praktis atas janjinya untuk mempertahankan kesepakatan JCPOA.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengancam untuk mengenakan tarif 25 persen pada impor mobil Eropa jika Inggris, Perancis dan Jerman tidak secara resmi menuduh Iran melanggar perjanjian nuklir JCPOA.
Tiga negara Eropa memicu mekanisme perselisihan berdasarkan perjanjian pada 15 Januari 2020, yang merupakan tuduhan resmi terhadap Iran dan dapat menyebabkan pemberlakuan kembali sanksi PBB yang dicabut berdasarkan perjanjian JCPOA.
Namun belum jelas apakah ancaman itu dinilai perlu karena Eropa telah mengisyaratkan niat untuk memicu mekanisme perselisihan selama berpekan-pekan. Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri AS belum berkomentar.
AS keluar dari pejanjian nuklir JCPOA pada 2018, yang menurut para pejabat Gedung Putih sebagai bagian dari strategi yang dimaksudkan untuk memaksa Iran menyetujui kesepakatan yang lebih besar.
Sejak AS keluar dari perjanjian JCPOA, negara ini menerapkan kembali sanksi unilateral 2018 terhadap Iran.
Para pejabat Tehran telah berulang kali membantah program nuklirnya bertujuan untuk tujuan militer.
Karena Eropa tidak komitmen terhadap JCPOA setelah AS keluar dari perjanjian nuklir ini, maka Iran secara bertahap mengurangi komitmennya dalam JCPOA.
Sementara itu, Rusia, salah satu penandatangan JCPOA, menegaskan bahwa Moskow tidak melihat alasan untuk memicu mekanisme perselisihan.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer pada 16 Januari mengkonfirmasi bahwa negaranya menghadapi ancaman tarif dari AS.
"Ungkapan atau ancaman ini, seperti yang akan mereka lakukan, memang ada," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyesalkan keputusan Inggris, Perancis, dan Jerman untuk mempermasalahkan soal perjanjian nuklir JCPOA hanya karena tekanan AS.
"Jika Anda ingin menjual integritas Anda, silakan. Tapi Jangan menganggap dasar moral/hukum yang tinggi," kata Zarif.
Menlu Iran kepada Jerman, Perancis dan Inggris mengatakan, jika kalian ingin menjual kehormatan, maka lanjutkan jalan ini, tapi jangan menganggap diri kalian bermoral atau memiliki keunggulan hukum, kalian tidak memiliki posisi ini.
AS Ancam Bunuh Komandan Pasukan Qods yang Baru
Wakil khusus Amerika Serikat untuk Iran mengatakan, Komandan Pasukan Qods, IRGC yang baru, pengganti Jenderal Qasem Soleimani yang terbunuh dalam serangan pesawat nirawak Amerika di Irak, akan mengalami nasib serupa dengan pendahulunya.
Fars News (23/1/2020) melaporkan, Brian Hook kepada surat kabar Al Sharq Al Awsat menuturkan, Esmail Ghaani (Komandan Pasukan Qods yang baru) akan menerima nasib yang sama jika mengikuti jejak pendahulunya dalam membunuh warga Amerika.
Ia menambahkan, Presiden Amerika sejak lama sudah menegaskan setiap serangan terhadap warga atau kepentingan Amerika, akan dibalas tegas.
Di sela pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia, WEF di Davos, Swiss, Brian Hook menjelaskan, ini bukan ancaman baru, Presiden Amerika selalu menekankan balasan tegas atas setiap ancaman terhadap kepentingan Amerika.
CENTCOM: Akibat Rudal Iran, Belasan Tentara AS Alami Cedera Otak
Wakil Komandan Gugus Tugas Bersama Operasi Inherent Resolve, Pusat Komando Amerika Serikat, CENTCOM mengatakan, tentara Amerika yang mengalami Cedera Otak Traumatik, TBI, bukan sakit kepala biasa seperti dikatakan Presiden Donald Trump, jumlahnya di atas 11 orang.
Mayjen Alexus G. Grynkewich dalam wawancara dengan majalah dwi-mingguan Amerika, Foreign Policy, Rabu (22/1/2020) menuturkan, sejumlah banyak tentara Amerika lain yang mengalami cedera otak traumatik dilarikan ke Jerman untuk diobati.
Menurut Foreign Policy, berita dua minggu lalu tentang selusin tentara Amerika yang diperiksa secara medis untuk mengetahui kemungkinan mengalami cedera otak traumatik, memicu spekulasi bahwa Gedung Putih sengaja menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya.
Namun Mayjen Grynkewich membantah jika pemerintah Amerika memerintahkannya menunda pengumuman ini, ia berdalih gejala cedera otak traumatik tidak mudah dilkenali sehingga para komandan tidak langsung menyadari ada anggotanya yang terkena.
Macron Adu Mulut dengan Polisi Israel
Presiden Perancis Emmanuel Macron dilaporkan terlibat adu mulut dengan polisi Israel di bumi pendudukan Palestina.
Ria Novosti melaporkan, Emmanuel Macron Rabu (22/01) setelah polisi Israel memasuki Gereja Ste. Anne di Quds pendudukan dan gereja tersebut milik Perancis, menuntut polisi Israel mengikuti undang-undang. Ia menambahkan, "Undang-undang ini telah berusia beberapa abad dan bagi Saya tidak ada perubahan."
Setelah menyaksikan pemandangan ini, dengan marah Macron mengatakan kepada aparat keamanan Israel dengan bahasa Inggris, "Kalian mengetahui peraturan! Aku tidak suka dengan perilaku kalian dihadapanku. Keluar kalian!"
Sepertinya aparat keamanan Israel berusaha terlebih dahulu memasuki gereja ini sebelum Macron.
Emmanuel Macron bukan petinggi Perancis pertama yang marah terhadap aparat keamanan Israel.
Tahun 1996 Jacques Chirac, presiden Perancis saat itu juga menghadapi masalah serupa dan ketika polisi Israel mencegah dirinya mendekati warga Palestina, ia juga terlibat adu mulut dan mengancam akan meninggalkan Israel.
Saat itu, berbagai media menyatakan bahwa Israel dengan langkahnya tersebut berusaha mengatakan kepada Chirac bahwa kontrol kota bersejara sepenuhnya berada di tangan Israel, kota yang mayoritasnya warga Palestina.



























