کمالوندی
Surat al-Zumar ayat 46-50
قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (46)
Katakanlah, "Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya." (39: 46)
Ayat sebelumnya berbicara tentang kekesalan kaum musyrik ketika disebut nama Allah Swt dan ketergantungan mereka pada berhala. Ayat 46 ini berpesan kepada Rasulullah Saw, "Berpalinglah dari mereka ke sisi Allah Yang Maha Esa, yang menciptakan langit dan bumi, dan yang mengetahui barang ghaib dan yang tampak. Di hari kiamat, Dia akan memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara hamba-hamba-Nya."
Di hari kiamat, hakim mutlak adalah Tuhan dan Dia mengetahui semua rahasia. Semua perselisihan berakhir dengan putusannya. Di pengadilan akhirat, orang-orang sesat tidak punya jalan untuk mengingkari hakikat dan mereka mengakui kesesatannya. Namun, pengakuan ini tidak lagi berguna bagi mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Fokuslah kepada Allah Yang Maha Kuasa dan berpalinglah dari selain Dia.
2. Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi, juga mengetahui seluruh urusan makhluknya baik yang tampak maupun yang ghaib.
3. Putusan Tuhan atas urusan manusia didasari oleh pengetahuan, pengetahuan-Nya atas perkara yang tampak dan tersembunyi.
وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِنْ سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ (47) وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (48)
Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. (39: 47)
Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya. (39: 49)
Orang-orang yang berbuat zalim di dunia, menerima azab yang amat pedih di akhirat dan jenis azab ini belum pernah terlintas di benak mereka.
Kata Zhulm menurut al-Quran mencakup kezaliman pikiran dan akidah seperti syirik dan kufur, juga mencakup penindasan terhadap orang lain. Namun, jelas bahwa kezaliman pikiran dan akidah jauh lebih berbahaya daripada kezaliman sosial. Karena dalam banyak kasus, kezaliman sosial bisa ditebus, tetapi kezaliman akidah akan menyeret generasi manusia pada kesesatan dan menciptakan bencana. Untuk itu, kezaliman jenis ini sangat sulit diperbaiki dan dipulihkan.
Orang-orang zalim menerima balasan berlandaskan keadilan Tuhan, dan Dia bahkan tidak akan menzalimi mereka sedikit pun. Siksaan ini merupakan manifestasi dari keburukan mereka di dunia, di mana kini muncul dalam bentuk api neraka.
Selama di dunia, mereka disibukkan untuk mengumpulkan harta dan mengira akan meraih kebahagiaan dengan harta yang dimilikinya. Oleh sebab itu, mereka menertawakan dan mengolok-olok setiap kabar tentang hari kiamat. Mereka menganggap peringatan yang diberikan nabi dan orang saleh sebagai halusinasi orang-orang bodoh dan tidak berperadaban.
Namun ketika sudah dikumpulkan di Mahsyar, mereka mulai menyadari bahwa harta tidak berguna di akhirat dan pembangkangannya telah mendatangkan azab yang pedih.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta dan takhta tidak berguna di akhirat, meskipun ia memiliki seluruh kekayaan di bumi ini.
2. Azab neraka adalah manifestasi dari perbuatan buruk yang dilakukan manusia di dunia.
3. Hari kiamat adalah hari tersingkapnya semua tabir dan rahasia. Di sana, hakikat surga dan neraka tampak bagi manusia.
4. Jangan pernah menertawakan hukum syariat, akidah, dan nilai-nilai agama, sehingga membuat manusia menyesal di hari kiamat.
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (49) قَدْ قَالَهَا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (50)
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (39: 49)
Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan. (39: 50)
Ayat ini menyinggung salah satu watak manusia yang tidak tahu terima kasih. Banyak dari mereka mengingat dan menyeru Allah saat dalam kesulitan dan musibah. Namun ketika kelapangan datang, mereka kembali melupakan Tuhan dan berkata, "Ilmu dan kepintaranku telah membuat masalah teratasi dan aku diberi nikmat karena kepintaran ini."
Al-Quran mengingatkan orang-orang yang sombong ini dan berkata, "Apa yang diberikan kepada kalian adalah sebuah ujian sehingga tampak jelas apakah kalian mensyukuri nikmat Tuhan atau mengingkarinya."
Kesombongan seperti ini sudah banyak contohnya dalam sejarah dan orang-orang yang memperoleh harta dan takhta, telah melupakan Tuhan. Mereka berpikir bahwa apa yang dimilikinya akan menyelamatkannya di dunia dan akhirat. Padahal, harta dan takhta tidak dapat mencegah kehendak Tuhan atas mereka dan juga tidak membebaskan mereka dari azab akhirat.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia menyadari kelemahannya dalam menghadapi kesulitan dan musibah. Tekanan ini membuat fitrah mereka bangkit untuk mencari Tuhan. Akhirnya mereka menyeru Tuhan dan meminta pertolongan-Nya.
2. Kekayaan dan kedudukan berpotensi membuat manusia melupakan Tuhan dan menjadi sombong.
3. Kesulitan dan nikmat adalah sama-sama ujian untuk manusia sehingga watak aslinya terlihat. Ujian ini akan menunjukkan siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar nikmat.
Surat al-Zumar ayat 42-45
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (42)
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (39: 42)
Berdasarkan ayat ini, Allah swt mengambil ruh orang yang mati, dan menahannya sementara terhadap orang-orang yang tidur. Hanya Allah swt yang menetapkan kematian akan menjemput siapa saja yang telah dikehendaki-Nya.
Masalah ini berkaitan dengan ketauhidan. Ayat al-Quran ini menegaskan bahwa kehidupan dan kematian seseorang ditentukan oleh Allah swt. Sebab, tidak ada sekutu bagi Allah dalam masalah tersebut.
Ayat ini menyinggung sebuah masalah penting tentang dua dimensi manusia yaitu jasmani dan ruhaninya atau badan dan ruhnya. Ketika ajal tiba, maka hubungan antara badan dan ruh terputus. Jasmani manusia dikubur dan akan hancur, tapi ruh tetap ada, hingga hari kiamat kelak untuk dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt.
Masalah penting lain yang disinggung di ayat ini mengenai kematian temporal yang terjadi menimpa manusia di saat tidur. Ketika tidur hubungan antara ruh dan jasmani berada pada tingkat terkecil, sehingga seolah-olah mati dan hidup kembali ketika bangun.
Terkadang ketika tidur manusia bermimpi dengan berbagai perasaan sedih maupun bahagia. Semua itu berhubungan dengan ruh manusia, dan tidak akan terjadi ketika ajal menjemput.
Jika direngungkan dengan baik, tidur merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah swt. Sebab tidak sedikit yang tertidur, tapi tidak bangun kembali dan ajal menjemputnya. Selain itu, tidur juga menunjukkan dimensi non-material manusia, terutama ketika bermimpi.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jasmani dan ruhani pada hakikatnya mandiri, tetapi keduanya saling berhubungan ketika manusia hidup. Namun di saat ajal menjemput, ruh terpisah dari badan manusia. Ruh akan kembali abadi, tapi jasmani akan hancur.
2. Tidur adalah saudara kematian. Ketika tidur, manusia merasakan kematian sementara.
3. Tidur dan bangun setiap hari dirasakan oleh setiap manusia. Tapi hanya orang-orang berakal saja yang mengambil pelajaran dari peristiwa sederhana dan berlangsung secara rutin dialami setiap orang ini.
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ (43) قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (44)
Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah, “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?” (39: 43)
Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (39: 44)
Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan berhala sebagai perantara antara dirinya dengan Tuhan. Mereka mengatakan, “Kami menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan mereka sebagai perantaranya.”
Orang-orang musyrik membuat berhala dari batu dan kayu yang dianggap suci sebagai manifestasi Tuhan.
Ayat ini menjawab pemikiran keliru tersebut dengan menegaskan bahwa berhala tidak bisa menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan. Sebab hanya Allah yang bisa menentukan siapa yang bisa diberi izin untuk menjadi wasilah atau perantara.
Al-Quran menjelaskan bahwa para Nabi Allah swt bisa menjadi wasilah antara manusia dengan Tuhan, dan pemberi syafaat dengan izin-Nya. Sebagaimana kisah saudara-saudara Nabi Yusuf yang bertaubat dan menjadikan ayah mereka, Nabi Ya’qub, sebagai wasilah untuk memohon ampunan dari Allah swt.
Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran tidak menolak prinsip syafaat, tetapi yang ditolak adalah menjadikan berhala sebagai pemberi syafaat, sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik terdahulu.
2. Perantara antara kita dan Allah swt harus lebih mulia dan suci dari kita. Lalu mengapa menyembah berhala yang dibuat dari bahan seperti batu dan kayu yang tidak memiliki akal maupun kekuatan apapun untuk membantu manusia?
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (45)
Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati. (39: 45)
Ayat ini mengungkapkan sikap orang-orang musyrik yang tidak senang dan menentang masalah hari akhirat. Ketika nama Tuhan Yang Maha Esa disebut, orang-orang musyrik yang tidak meyakini hari akhirat merasa kesal dan tidak senang. Tapi ketika nama-nama berhala disebut, hati mereka gembira.
Orang-orang musyrik hanya memikirkan dunia ini saja dan tidak meyakini hari akhirat. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang Allah swt dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, mereka menunjukkan perasaan kesal dan benci.
Mereka tidak mau tunduk dan beribadah kepada Allah swt. Tetapi mereka pasrah di hadapan sesama manusia yang dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan. Ketika mereka dekat dekat dengan orang-orang kaya dan berkuasa, hati mereka senang dan menjadikannya sebagai sumber kebahagiaan.
Sebaliknya, orang-orang mukmin menjadikan Allah swt sebagai sandaran dirinya. Ketika mereka dekat dengan Allah swt, hati mereka tenteram. Mereka menjadikan Allah swt sebagai sumber kebahagiaan hidupnya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Salah satu tanda orang yang beriman adalah hatinya tenang ketika nama Allah swt disebut, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran dan tempat bergantung.
2. Jika perintah Allah swt diabaikan dan menjadikan manusia sebagai tempat bergantung, maka berhati-hatilah akan jebakan syirik.
Surat al-Zumar ayat 38-41
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ (38)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (39: 38)
Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya tentang mereka yang mendapat hidayah dan yang tersesat, ayat ini mengisyaratkan masalah penting. Ayat ini mengatakan, “Orang-orang musyrik menerima Allah sebagai pencipta dan percaya bahwa Allah menciptakan dunia, termasuk manusia, tapi mereka beranggapan bahwa sesuatu atau manusia berperan penuh dalam menentukan nasibnya. Seakan-akan Allah setelah mencipta dunia dan seisinya menyerahkan urusan manusia kepada mereka sendiri dan Allah menepi dari mengelola dunia.”
Di akhirat ayat ini disebutkan, “Tapi orang-orang mukmin yang tetap mempercayai bahwa semua, termasuk dirinya adalah ciptaan Allah dan tetap dalam pengaturan ilahi. Mereka hanya bertawakal kepada Allah. Setelah melaksanakan kewajibannya dengan benar, mereka menyerahkan hasil kerjanya kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar menetapkan yang baik untuk mereka.”
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para penyembah berhala menerima Allah sebagai pencipta, tapi menilai berhala berperan memelihara dan memberi syafaat dan menjadikannya sebagai perantara antara mereka dan Tuhan.
2. Keberuntungan dan kerugian manusia ada di tangan Allah, bukan apa yang kita gambarkan dan yang kita lihat secara lahiriah. Karenanya, alih-alih bersandar pada sesuatu yang sama seperti kita diciptakan Allah, sudah seharusnya kita bertawakal kepada Allah.
قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (39) مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ (40)
Katakanlah, “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui. (39: 39)
Siapa yang akan mendapat siksa yang menghinakannya dan lagi ditimpa oleh azab yang kekal.” (39: 40)
Dua ayat ini mengisyaratkan bahwa harus melawan keyakinan dan perilaku tidak benar di tengah masyarakat yang kita hidup di sana. Ketika Nabi Muhammad diutus oleh Allah, beliau dengan tegas mengumumkan kepada kaum dan keluarganya bahwa saya tidak menerima penyembah berhala dan hanya menyembah Allah yang Maha Esa.
Ayat ini sama dengan ayat “Lakum Dinakum Waliya Din”, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, dimana Nabi Muhammad Saw secara transparan dan tegas mengumumkan tidak akan menerima hubungan dengan orng-orang musyrik dan menyerah dihadapan keyakinan tidak benar mereka.
Selanjutnya, Nabi Saw memberikan peringatakan kepada orang-orang musyrik agar memperhatikan dampak perbuatan mereka. Karena di dunia mereka akan terkena kemurkaan ilahi dan begitu juga di akhirat. Tentu saja bila kalian mendapat siksa ilahi, maka harus diketahui itu hasil perbuatan dan pilihan kalian, bukannya Allah mengazab seseorang karena kezaliman.
Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang mukmin adalah kuat dengan kehendaknya dan tidak larut dalam lingkungan yang kotor dan menyimpang. Orang yang seperti ini tidak terpolusi dengan pikiran dan keyakinan tidak benar masyarakat.
2. Para pemimpin ilahi menyatakan sikapnya dengan transparan dan tegas. Mereka tidak menegosiasikan keyakinan agamanya dan tidak akan mundur sedikitpun.
إِنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ (41)
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka. (39: 41)
Ayat ini menyebutkan kewajiban Nabi dalam menerima wahyu dan menyampaikannya. Ayat ini mengatakan, “Allah telah mewahyukan apa saja yang dibutuhkan untuk menuntun manusia berdasarkan kebenaran kepada nabi-Nya dan ia menyampaikan apa yang didapatkannya kepada manusia tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan dalam bentuk kitab dan tertulis.”
Di sini, ada sebagian yang menerima ucapannya dan memanfaatkan hidayah ilahi dalam kehidupannya dan ada yang lain karena fanatik, taklid buta, permusuhan dan keras kepala tidak mau menerima dan tetap dalam kesesatannya.
Jelas, Nabi sebagai pengajar dan penuntun manusia, berharap semua manusia mengimani apa yang dibawanya, tapi ketika sebagian orang tidak mau beriman, beliau tidak dapat memaksa mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Prinsip al-Quran adalah menjelaskan kebenaran dan hakikat. Seluruh yang ada adalah benar dan kebatilan tidak ada di dalamnya. Al-Quran diturunkan dengan tujuan manusia dapat memilih jalan yang benar dengan memperhatikan tuntunannya dan menemukan hidayah.
2. Manusia bebas dalam memilih jalannya dan pada saat yang sama harus bertanggung jawab atas yang dipilih dan menerima dampaknya.
3. Kewajiban para nabi adalah menyampaikan wahyu, bukan memaksa manusia menerimanya.
Surat al-Zumar ayat 33-37
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (33) لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (34)
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (39: 33)
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. (39: 34)
Di hari kiamat, manusia akan dibagi dalam dua kelompok; mereka yang bertauhid dan musyrik. Di akhir ayat sebelumnya telah disinggung akan nasib orang-orang musyrik, dimana permusuhan, sikap keras kepala dan melawan kebenaran menyeret mereka ke dalam neraka. Sementara ayat ini berbicara tentang orang-orang mukmin.
Ayat ini mengatakan, “Mereka mendengarkan ucapan yang benar dan mengimaninya serta sampai pada ketakwaan. Mereka adalah orang-orang yang mengimani firman Allah baik di dalam hati, ucapan dan perbuatan. Mereka adalah pendakwah agama dan pengamal sejati akan ajaran-ajaran agama. Orang-orang seperti ini jauh dari segala bentuk yang mementingkan hal-hal lahiriah, riya dan kemunafikan.
Berbeda dengan orang-orang musyrik yang akhirnya dimasukkan dalam neraka jahannam, nasib orang-orang mukmin sejati adalah surga. Mereka mendapatkan apa saja yang diinginkan di surga, baik kenikmatan materi maupun maknawi.
Jelas, orang-orang mukmin sejati adalah orang yang melakukan amal saleh dan berbuat baik kepada orang lain. Ini adalah pahala yang diberikan kepada mereka dikarenakan iman yang sejalan dengan amal perbuatan.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Benar dalam berkata dan berbuat merupakan syarat pertama iman kepada Alah dan kebohongan tidak sesuai dengan semangat keimanan.
2. Dakwah agama akan efektif dan berpengaruh ketika pendakwah melaksanakan apa yang diucapkannya, jika tidak mungkin hasil dakwahnya justru negatif.
3. Rahmat dan nikmat ilahi di surga tidak ada batasan dan mengikuti kehendak mereka yang ada di sana.
4. Takwa dan berbuat baik adalah dua kata yang banyak digunakan dalam al-Quran dan menjadi kelaziman satu dengan lainnya.
لِيُكَفِّرَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي عَمِلُوا وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ (35)
Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (39: 35)
Salah satu permintaan orang bertakwa dan berbuat baik dari Allah adalah pengampunan perbuatan buruk mereka dan perbuatan terbaik mereka yang menjadi parameter pahala. Allah menerima permintaan mereka dan dengan mengampuni perbuatan dosa mereka, Allah menganugerahkan pahala terbaik kepada mereka.
Penting untuk diingatkan bahwa takwa tidak berarti terjaga dari dosa, sehingga seorang bertakwa dijaga dari segala bentuk kesalahan dan dosa, tapi takwa adalah sebuah sifat yang menyebabkan manusia tidak melakukan perbuatan dosa dan pembangkangan kepada Allah serta manusia akan menahan diri dari perbuatan yang menjadi sarana bagi perilaku berdosa. Pada saat yang sama, ada kemungkinan orang ini tergelincir dan tanpa sadar melakukan perbuatan dosa.
Pada dasarnya, takwa seperti perisai yang berada di tangan seorang pejuang untuk menjaganya dari serangan panah musuh, tapi bisa saja ada anak panah yang tidak dapat ditangkis oleh perisai ini dan mengenai tubuhnya. Tapi yang penting adalah pejuang itu memiliki perisai di tangannya, sehingga ia dapat menjaga dirinya dari serangan musuh. Dengan gambar ini, mungkin saja ada orang yang meletakkan perisai takwa di atas tanah dan mengikuti dorongan hawa nafsu dan godaan setan.
Namun rahmat Allah yang luas mencakup orang yang bertakwa dan karena usaha mereka untuk menjaga diri dari dosa, ketika dalam kasus-kasus yang mereka tidak sadar telah melakukan dosa, Allah mengampuni mereka dan akan memberikan pahala kepada mereka lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Karena niat dan motifasi mereka dalam berbuat lebih unggul dan baik dari perbuatan baik itu sendiri.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Yang penting adalah niat, motifasi dan tujuan manusia. Ketika manusia berusaha keras untuk menjauhi perbuatan dosa, Allah tidak menghitung perbuatan buruknya dan memberi perbuatan baiknya dengan pahal yang lebih baik.
2. Membersihkan diri dari dosa dan dampak buruknya adalah pengantar untuk mendapat rahmat dan pertolongan ilahi.
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (36) وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُضِلٍّ أَلَيْسَ اللَّهُ بِعَزِيزٍ ذِي انْتِقَامٍ (37)
Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya. (39: 36)
Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab? (39: 37)
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, terkait perbandingan orang beriman dan kafir, ayat ini berkata kepada Nabi Muhammad Saw, “Alih-alih menerima ucapan yang benar, mereka justru bangkit melawanmu dan mengancammu. Padahal Allah bagimu sudah cukup. Tanpa-Nya tidak ada yang dapat menyakitimu, sebagaimana sebelumnya Nabi Ibrahim tidak terbakar api, Musa selamat dari kezaliman Firaun dan Isa yang dijaga dari penyaliban.”
Kelanjutan ayat ini tentang hidayah dan kesesatan, “Barangsiapa yang menerima hidayah ilahi dan mengikutinya akan aman dari kesesatan dan barangsiapa yang tidak menerima hidayah ilahi tidak akan sampai ke rumah kebahagiaan, sekalipun ia menyangka dirinya telah mendapat hidayah.”
Akhir ayat ini menekankan poin ini bahwa bagaimana orang-orang musyrik dan kafir tidak tahu bahwa mereka tidak akan pernah menang dihadapan kehendak Allah? Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah akan membalas orang-orang yang melawan para nabi ilahi dan ajaran mereka? Balasan Allah adalah kesesatan mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketika manusia taat dan menjadi hamba Allah, maka Allah akan mengelola urusannya.
2. Manusia mukmin bersandar pada Allah saat menghadapi ancaman musuh dan tegar di jalan kebenaran, tidak takut akan kekuatan dan fasilitas yang dimiliki musuh dengan selalu berharap kepada Allah dan tawakal kepada-Nya.
3. Manusia menjadi sesat bukan tanpa sebab. Manusia tidak mendapat cahaya hidayah karena perbuatannya yang tidak benar, sehingga terseret pada penyimpangan.
Surat al-Zumar ayat 29-32
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (29)
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (39: 29)
Ayat ini menggambarkan kondisi orang-orang musyrik yang sedang bertikai melalui sebuah tamsil. Bayangkan jika ada seorang budak dimiliki oleh beberapa sekutu yang bertikai dan setiap orang memberikan perintah kepadanya, ia tentu akan bingung dan tidak tahu perintah siapa yang harus didahulukan. Jika si budak ini mengabaikan perintah salah satu dari tuannya, ia akan dihukum dan tidak diberi makan.
Di pihak lain, ada seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang pemilik saja dan tidak ada tugas lain kecuali mematuhi perintah tuannya. Jelas, si budak ini tidak akan kebingungan dan selalu mendapat dukungan dari tuannya itu.
Ketika di penjara, Nabi Yusuf as juga menggunakan perumpamaan seperti ini untuk mengajak para tahanan menyembah Allah Swt. Ia berkata, "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?" (Surat Yusuf, ayat 39)
Beginilah kondisi orang-orang musyrik dan mukmin. Syirik akan membuat manusia terombang-ambing dan kebingungan, dan mereka kehilangan ketenangan batin. Namun, orang mukmin hanya mematuhi dan tunduk pada perintah Tuhan, dan berharap pada rahmat-Nya saja.
Sayangnya, banyak orang tidak memperhatikan perbedaan antara syirik dan tauhid. Mereka masih menambatkan hatinya pada sesuatu selain Allah Swt dan belum sampai pada derajat tauhid hakiki.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang-orang yang bertauhid hanya mengejar keridhaan Allah dalam perbuatannya, tetapi orang musyrik ingin menarik keridhaan berbagai kalangan dan jelas ia tidak mampu membuat semua orang puas, karena setiap orang punya selera masing-masing.
2. Dampak tauhid dan syirik bisa dilihat di dunia ini dan tak perlu menunggu datangnya hari kiamat. Orang yang bertauhid menjalani kehidupan yang tenang dan optimis, sementara orang musyrik selalu gelisah dan tidak tenang.
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ (30) ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ (31)
Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (39: 30)
Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu. (39: 31)
Kematian sama-sama mendatangi orang mukmin dan musyrik, dan tidak ada manusia yang hidup abadi di dunia ini. Bahkan para Nabi sebagai manusia pilihan Tuhan, juga tidak luput dari aturan universal ini. Jika musuh-musuh Rasulullah Saw selalu menanti kematiannya, maka ketahuilah bahwa mereka juga akan mati.
"Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?" (Surat al-Anbiya ayat 34)
Namun, kematian bukan akhir dari segalanya dan ia adalah gerbang menuju hari kiamat. Di sana, orang mukmin dan musyrik saling berhadap-hadapan dan mereka berdebat tentang kebenaran dan kebatilan akidah masing-masing.
Orang-orang musyrik tampaknya belum bersedia menerima kebatilan akidahnya dan mereka bangkit untuk membela perilakunya selama di dunia ini. Namun, Allah Swt akan menjadi hakim di antara dua golongan ini dan memutuskan perkara mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kematian adalah bagian dari sunnah Ilahi bagi semua manusia dan tidak ada pengecualian di dalamnnya.
2. Di pengadilan Tuhan, berbagai golongan saling melemparkan tudingan dan berusaha membebaskan dirinya dan menjerat orang lain, tetapi Allah akan menjadi hakim pada hari itu dan memutuskan perkara atas dasar kebenaran.
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (32)
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (39: 32)
Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt dan tidak bersedia menerimanya.
Kaum kafir yang mengingkari Tuhan atau kaum musyrik yang menyekutukan Dia, sama-sama menolak perkataan yang benar dan mendustakannya. Jelas bahwa perbuatan buruk mereka di dunia akan menyeretnya ke neraka.
Di sisi lain, orang-orang mukmin membenarkan ayat-ayat Allah dan mengimaninya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kezaliman yang paling besar adalah mendustakan Allah dan menolak perkataan yang benar yang datang dari sisi-Nya.
2. Kesombongan dan fanatik buta adalah faktor yang menyebabkan manusia menolak kebenaran. Mereka mengingkarinya tanpa memperhatikan benar- tidaknya ucapan itu.
Surat al-Zumar ayat 24-28
أَفَمَنْ يَتَّقِي بِوَجْهِهِ سُوءَ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقِيلَ لِلظَّالِمِينَ ذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ (24)
Maka apakah orang-orang yang menoleh dengan mukanya menghindari azab yang buruk pada hari kiamat (sama dengan orang mukmin yang tidak kena azab)? Dan dikatakan kepada orang-orang yang zalim, “Rasakanlah olehmu balasan apa yang telah kamu kerjakan.” (39: 24)
Bagian akhir dari ayat sebelumnya berbicara tentang dua golongan manusia yaitu mereka yang mendapatkan hidayah dan mereka yang tersesat. Ayat 24 surat Az-Zumar membandingkan dua golongan tersebut dan balasan yang mereka terima di hari kiamat.
Pada hari kiamat, kondisi orang-orang yang zalim sangat mengenaskan dan mereka berusaha melindungi dirinya dari api neraka dengan wajahnya, karena tangan dan kakinya telah dibelenggu.
Meski seluruh anggota badan terbakar oleh api neraka, namun penyebutan kata wajah (biwajhihi) untuk menekankan pentingnya kedudukan wajah di antara semua anggota badan, termasuk dalam proses identifikasi. Selain itu, terbakarnya wajah akan lebih menyakitkan daripada bagian lain dari anggota tubuh.
Orang-orang kafir kemudian diejek oleh para malaikat sambil berkata, "Rasakanlah olehmu azab neraka yang membakar itu, karena perbuatan-perbuatan yang telah engkau kerjakan dahulu di dunia."
Dalam literatur Islam, menyaksikan amal perbuatan dan merasakan akibatnya pada hari kiamat disebut dengan Tajassum al-'Amal atau perwujudan amal. Amal perbuatan kita akan dihadirkan di depan kita dan kemudian diberikan balasan sesuai dengan perbuatan itu.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Siksa dan azab neraka adalah hasil dari perbuatan manusia di dunia, yang muncul dalam bentuk api yang membakar pada hari kiamat.
2. Pada hari kiamat, manusia akan menyaksikan amal perbuatan yang dilakukannya.
كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ (25) فَأَذَاقَهُمُ اللَّهُ الْخِزْيَ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (26)
Orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul), maka datanglah kepada mereka azab dari arah yang tidak mereka sangka. (39: 25)
Maka Allah merasakan kepada mereka kehinaan pada kehidupan dunia. Dan sesungguhnya azab pada hari akhirat lebih besar kalau mereka mengetahui. (39: 26)
Ayat ini menyinggung tentang kondisi orang-orang kafir di dunia. Di sepanjang sejarah, orang-orang yang mendustakan para nabi dan ajaran Ilahi, mereka juga merasakan azab di dunia ini, baik itu azab yang tampak nyata maupun yang tidak terlihat dengan mata.
Sebagian azab bersifat hissi (fisik/tampak) seperti azab kaum Nabi Nuh as dan kaum Nabi Luth as serta orang-orang seperti Firaun dan Qarun. Namun, sebagian azab juga bersifat maknawi (abstrak) seperti dikunci pintu hatinya, ditolak doanya, dan ditimpakan kegelisahan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian dari dampak perbuatan dosa akan tampak di dunia ini dan sebagiannya di akhirat. Demikian juga dengan azab, sebagian bersifat fisik/tampak dan sebagian lagi abstrak.
2. Meski sebagian azab ditimpakan di dunia ini, namun azab hari kiamat jauh lebih pedih dan lebih besar.
3. Allah Swt memiliki kuasa untuk menghukum para pendosa dan mampu mendatangkan azab kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka.
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (27) قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (28)
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (39: 27)
(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. (39: 28)
Al-Quran bersifat komprehensif dan universal untuk memberikan hidayah dan pelajaran bagi manusia. Ia menyediakan semua sarana yang berperan dalam membimbing manusia. Pada dasarnya, al-Quran adalah cahaya hidayah yang selalu menyala dan menerangi jalan.
Al-Quran memberikan perumpamaan agar manusia dapat mengambil pelajaran dari sejarah orang-orang terdahulu, nasib orang-orang yang berbuat baik dan jahat, dan dari cara mereka menjalani kehidupan ini. Semua tamsil ini bertujuan untuk menyadarkan manusia dari kelalaian.
Kitab suci ini menggunakan bahasa Arab yang fasih, sempurna, dan universal agar mudah dimengerti. Ayat-ayatnya seirama dan kalimat-kalimatnya jelas, serta sama sekali tidak ada penyimpangan dan kontradiksi di dalamnya.
Dengan semua kriteria ini, dapat disimpulkan bahwa tujuan penurunan al-Quran adalah untuk mengajak manusia kepada takwa dan meninggalkan perbuatan buruk.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran adalah sebuah kitab pedoman yang sempurna dan universal. Ia memuat apa yang dibutuhkan manusia dan tidak ada yang terlewatkan olehnya.
2. Bahasa tamsil biasanya lebih besar efeknya bagi masyarakat ketimbang argumen yang rumit.
3. Al-Quran menggunakan bahasa yang fasih dan jelas. Kitab ini tidak memuat kalimat yang menyimpang dan kontradiksi.
Surat al-Zumar ayat 22-23
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (22)
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (39: 22)
Wahyu Ilahi ibarat butiran hujan yang turun membasahi bumi. Hanya tanah-tanah yang siap ditanami yang akan memperoleh manfaatnya, begitu juga dengan manusia, hanya hati yang bersih yang akan mendapatkan petunjuk dari firman Tuhan.
Reaksi alamiah manusia tidak sama dalam menerima kebenaran. Sebagian orang memiliki kelapangan dada dan kebesaran jiwa, sementara sebagian lain memiliki hati yang sempit dan membatu.
Ayat tersebut berbicara tentang pengaruh cahaya iman bagi kehidupan manusia. Membatasi dunia pada alam materi akan mempersempit pandangan manusia tentang kehidupan dan aspek-aspeknya.
Para pengingkar Tuhan mencari kebahagiaan dan kesenangan pada kelezatan materi dan duniawi. Oleh sebab itu, jiwanya sempit dan gersang. Namun, kaum mukmin yang meyakini alam ghaib memandang dunia ini sebagai jembatan untuk menuju akhirat dan mereka memiliki jiwa yang lapang.
Beriman kepada Allah akan membuat kapasitas manusia berkembang dan membuka ufuk pandangannya. Sudut pandangnya tidak terbatas pada kematian, tetapi mereka juga menyaksikan kehidupan setelah kematian di dunia ini. Jiwa mereka terbuka dan lapang, mereka tersadar hanya dengan sedikit nasihat dan pengingat.
Dengan petunjuk ayat-ayat al-Quran, kaum mukmin tetap melangkah di jalan yang lurus di tengah kegelapan dan cobaan dunia dan meniti jalan hidup ini dengan selamat.
Sebaliknya, hati orang-orang kafir telah membatu dan tidak dapat mendengarkan nasihat atau argumen yang kuat sekali pun. Jiwa dan pikiran mereka sempit dan seakan tidak ada ruang dalam dirinya untuk menerima kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang berhati batu dan tanpa cahaya, yang telah menutup pintu hatinya dari petunjuk Ilahi.
Jadi, orang yang mengingkari Tuhan atau melupakan-Nya, akan selalu berada dalam kegelisahan dan kekhawatiran. Sebab, kematian bagi mereka bermakna kehilangan segalanya.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman berperan dalam melapangkan hati manusia dan memperluas sudut pandangnya. Iman akan meningkatkan kapasitas seseorang dan membuatnya selalu tunduk pada kebenaran.
2. Orang mukmin mengarungi jalan berliku di dunia ini dengan cahaya Ilahi, jadi bahaya terperosok ke jurang kehancuran akan sangat kecil.
3. Syirik dan kufur (mengingkari kebenaran) membuat hati manusia mengeras. Hati yang bebal akan menghalangi pancaran cahaya Ilahi dan akhirnya menyebabkan ia tersesat.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (23)
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. (39: 23)
Ayat ini berbicara tentang beberapa kriteria al-Quran serta perbedaan antara kondisi orang mukmin dan kafir. Salah satu kriteria wahyu adalah bahwa ayat-ayatnya tidak saling bertentangan, tetapi semuanya serasi dan seirama. Firman Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan ucapan makhluk, al-Quran adalah wahyu Ilahi dan perkataan yang paling baik atau ahsanul hadits.
Wahyu Ilahi mengikuti sebuah gaya bahasa yang sama dan serasi dan ini menjadi pembeda antara al-Quran dengan perkataan orang lain bahkan Rasul Saw. Meskipun wahyu Ilahi disampaikan melalui lisan Rasul, tetapi ada perbedaan yang besar antara ayat al-Quran dan hadis Nabi.
Meskipun semua ayat al-Quran mengejar tujuan yang satu, namun ayat-ayatnya mengkaji sebuah tema dari sisi yang berbeda. Menurut kaidah "segala sesuatu akan tampak jelas dengan lawannya," metode al-Quran adalah membandingkan kebenaran yang dibangun atas argumen yang kuat dan rasional dengan kebatilan yang rapuh dan sesat.
Al-Quran mengingatkan manusia akan konsekuensi memilih jalan yang lurus atau sesat. Ia menjelaskan kedua jalan itu dan membuat perbandingan sehingga manusia bisa memilih dengan cara yang paling baik.
Sebagai contoh, bagian pertama ayat berbicara mengenai iman dan kaum mukmin dan bagian lain tentang kufur dan kaum kafir. Bagian pertama ayat berkisah tentang pahala dan bagian lain tentang siksaan. Bagian pertama ayat bercerita seputar perintah Ilahi dan bagian lain tentang larangan-larangan-Nya. Bagian pertama berbicara tentang hidayah dan faktor-faktornya dan bagian lain tentang kesesatan dan penyebabnya.
Dengan perbandingan ini, al-Quran mendorong manusia untuk menimbang sisi positif dan negatif segala sesuatu dan kemudian memilih jalan yang paling baik.
Poin lain adalah bahwa manusia berada di antara dua kondisi al-khauf (rasa takut) dan ar-raja' (rasa penuh harap). Mereka diliputi rasa takut dengan melihat kelemahan dan dosa-dosanya, namun mereka merasa optimis akan rahmat dan ampunan Tuhan dengan melihat kasih sayang-Nya yang maha luas.
Jelas bahwa al-Quran diturunkan untuk semua manusia, tetapi petunjuknya hanya akan diperoleh oleh para pencari kebenaran, sementara para pengingkar kebenaran, mereka tidak mendapatkan petunjuk Ilahi dan terperangkap dalam kesesatan.
Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran adalah perkataan yang paling baik atau ahsanul hadits.
2. Ayat-ayat al-Quran tidak saling bertentangan. Ada kemiripan di antaranya, tetapi sama sekali tidak ada pertentangan dan kontradiksi di antara ayat-ayatnya.
3. Orang mukmin diliputi rasa takut ketika membaca ayat-ayat tentang azab Ilahi, dan mereka optimis saat berjumpa dengan ayat-ayat rahmat.
4. Allah menyediakan sarana hidayah untuk semua manusia dan al-Quran tidak diturunkan untuk komunitas tertentu. Ia adalah kitab petunjuk dan bisa diakses oleh semua orang, tetapi cahaya hidayahnya hanya akan diperoleh oleh para pencari kebenaran.
Surat al-Zumar ayat 17-21
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, (39: 17)
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (39: 18)
Al-Quran di ayat ini juga menggunakan analogi. Karena di bagian sebelumnya pembahasan seputar kaum musyrik yang menolak kebenaran karena keras kepala dan fanatisme serta menolak beriman kepada Tuhan. Sedangkan ayat kali ini berbicara mengenai hamba-hamba yang mencari hakikat. Mereka adalah orang-orang yang ketika mendengar kebenaran bersedia menerimanya dan kembali kepada Tuhan serta mereka mendapat rahmat Ilahi.
Keimanan sejati adalah penolakan penyembahan selain Tuhan, baik itu berhala batu atau kayu, hawa nafsu atau ketaatan kepada penguasa zalim dan buruk. Taghut memiliki arti melanggar batas dan dalam budaya al-Quran, menjahui taghut berarti menjahui segala bentuk syirik, menyembah berhala, hawa nafsu dan tunduk terhadap pengusa lalim dan kekuatan hegemoni serta arogan.
Ayat ini kemudian mengisyaratkan hamba-hamba khusus dan istimewa yang bersedia menyingkirkan sikap keras kepala dan fanatisme serta siap mendengarkan berbagai perkataan. Dengan bantuan akal, hamba-hamba ini menyaring setiap ucapan dan memilih yang terbaik. Hamba-hamba ini haus akan hakikat kebenaran. Di manapun mereka menemukan kebenaran, maka meraka akan menyambutnya. Mereka bukan jasa mengejar kebenaran, tapi mereka akan memilih ucapan dan arahan terbaik serta mengikutinya.
Sejatinya ayat ini mengisyaratkan kebebasan berpikir umat Islam dan pilihan mereka di berbagai masalah. Orang-orang yang bijaksana siap mendengarkan ucapan kebenaran ketimbang menentangnya. Setelah mereka menemukan kebenaran, mereka akan tunduk dihadapan kebenaran ini. Dengan sendirinya sikap seperti ini sebuah indikasi rasionalitas dan kebijaksanaan.
Menurut ungkapan al-Quran, orang seperti ini adalah mereka yang telah mendapat hidayah dari Tuhan dan mereka adalah orang yang bijaksana.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Syarat keimanan sejati kepada Tuhan adalah menolak menerima hegemoni taghut dan menjahui mereka.
2. Ketika menghadapi berbagai ucapan, yang harus diperhatikan adalah konten bukan siapa yang mengucapkannya serta apa kedudukan orang tersebut. Selain itu harus dipilih yang terbaik dari setiap ucapan.
3. Akal dari satu sisi dan wahyu serta ajaran agama dari sisi lain tidak saling kontradiksi. Keduanya adalah hujjah Tuhan dan pembimbing manusia ke arah kebahagiaan.
4. Islam mendukung kebebasan berpikir dan pilihan jalan kehidupan berdasarkan akal dan rasio.
أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنْقِذُ مَنْ فِي النَّارِ (19) لَكِنِ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ لَهُمْ غُرَفٌ مِنْ فَوْقِهَا غُرَفٌ مَبْنِيَّةٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ الْمِيعَادَ (20)
Apakah (kamu hendak merubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka? (39: 19)
Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. (39: 20)
Rasulullah Saw sangat bersemangat untuk membimbing dan menyelamatkan seluruh masyarakat termasuk mereka yang tersesat dan musyrikin. Rasulullah sangat sedih dengan penyimpangan umatnya. Ayat ini kepada Nabi mengatakan, Apakah kamu menganggap dirimu mampu menyelamatkan mereka yang memilih jalan neraka karena pilihan kelirunya ? Sama sekali bukan demikian. Mereka yang telah memutus seluruh jalannya untuk berhubungan dengan Tuhan, tidak memiliki jalan selamat. Bahkan Rasulullah pun tidak mampu berbuat banyak bagi mereka.
Selain kelompok ini ada kelompok beriman. Di hari Kiamat mereka akan memiliki kedudukan tinggi dan hidup bahagia di kebun serta istana surga. Kehidupan mereka di surga sangat menyenangkan, tidak ada penderitaan dan kesengsaraan. Mereka benar-benar hidup bahagia.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Misi utama para nabi adalah membimbing masyarakat dan mengarahkan mereka ke arah kebenaran serta jalan hidup yang benar. Namun demikian kebahagiaan dan keselamatan manusia bukan berada di tangan para nabi, tapi bergantung pada perilaku dan amalan manusia sendiri.
2. Mereka yang menutup jalan untuk memahami kebenaran dengan fanatisme dan sikap keras kepalanya, sejatinya telah menutup jalan kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri.
3. Jika kita memiliki iman kepada Tuhan, maka kita harus meyakini bahwa janji-Nya mengenai surga dan neraka sebuah kepastian dan kita harus menjaga perilaku diri kita masing-masing.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطَامًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ (21)
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (39: 21)
Setelah secara singkat membandingkan nasib orang kafir dan mukmin, ayat ini kembali membahas masalah tauhid dan maad. Turunnya hujan dari langit menjadi salah satu argumentasi tauhid, karena kehidupan di muka bumi bergantung pada turunnya hujan. Jika tidak ada sistem dan proses penguapan air laut, kemudian terbentuknya awan dan pergerakannya ke berbagai wilayah di muka bumi serta turunnya hujan dan salju, maka mayoritas permukaan bumi akan kering dan keberlangsungan hidup akan sangat sulit serta mustahil.
Bahkan para penghuni pantai dan samudera tidak dapat memenuhi kebutuhan air minum dan pengairan sawah mereka, karena air laut asin rasanya dan memiliki kandungan garam yang tinggi. Dibutuhkan dana yang besar untuk mendapatkan air tawar dari air laut melalui penyulingan. Mengingat mayoritas air dimanfaatkan untuk pengairan sawah maka proses penyulingan air laut akan tidak efektif mengingat biayanya yang tinggi.
Namun demikian kendala di alam ini diselesaikan melalui proses yang mencengangkan. Ketika air laut menguap dan naik ke atas, garam dan zat-zat lainnya tidak berubah menjadi uap. Dengan demikian air yang tak murni disuling dan berubah menjadi salju dan air hujan. Air laut menjadi air hujan yang murni dan siap dikonsumsi. Tak diragukan lagi proses ini merupakan pengaturan Tuhan dalam bentuk bahwa air secara alami menjadi tawar dan kandungan garam serta zat lainnya terpisah sehingga air tawar ini dapat dikonsumsi manusia serta makhluk lainnya.
Air hujan tersimpan di perut bumi dan salju di gunung-gunung. Seiring berlalunya waktu air dan salju tersebt mengalir melalui mata air, sumur dan sungai sehingga dapat dimanfaatkan.
Dengan memikirkan nikmat besar Ilahi ini yang menjadi sumber kehidupan manusia dan seluruh hewan serta tumbuhan di atas permukaan bumi, mausia akan menyadari keagungan Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memikirkan dan memahami fenomena alam merupakan metode untuk mengenal Tuhan. Oleh karena itu tidak boleh lalai dan mengabaikan fenomena ini.
2. Mulai dari air dan tanah, tumbuhan, bunga dan beragam buah-buahan yang dipanen, seluruhnya menunjukkan kekuatan dan keagungan Tuhan.
3. Di antara tanda-tanda kebijaksanaan adalah selain mengenal fenomena alam, kita juga berusaha untuk mengenal sumber penciptaan.
Surat al-Zumar ayat 11-1
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (11) وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ (12) قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (13)
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (39: 11)
Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” (39: 12)
Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.” (39: 13)
Sebelumnya, telah disinggung tentang pentingnya takwa, berbuat baik, sabar dan berkelanjutan yang merupakan tanda-tanda orang beriman. Ayat-ayat ini berbicara kepada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Nabi! Sampaikan secara transparan kepada orang-orang Musyrik bahwa saya diperintahkan dari sisi Allah untuk memurnikan agama dan keyakinan kalian dari segala bentuk kesyirikan dan hanya kepada Allah aku beribadah. Saya juga diperintahkan untuk menjadi yang terdepan dalam menyembah Allah di antara orang-orang beriman dan menjauhi segala bentuk perbuatan dan perkataan yang bernada kesyirikan.”
Kelanjutan ayat-ayat ini menyebutkan, “Barangsiapa yang menentang perintah ilahi, akan mendapat balasan dan tidak ada bedanya orang itu adalah Nabi atau manusia lainnya. Berserah diri dihadapan perintah-perintah ilahi adalah jalan keselamatan manusia dari kemurkaan Allah di dunia dan akhirat. Sekaitan dengan ini, tanggung jawab nabi lebih ketimbang manusia lainnya.
Para nabi tidak pernah berbicara tentang kelebihannya dibanding manusia lainnya. Karena mereka melihat dirinya sama dengan manusia lainnya sebagai hamba Allah dan berserah diri dihadapan perintah-Nya. Masalah ini dengan sendirinya menjadi bukti kebenaran mereka. Berbeda dengan mereka yang berbohong dan mengklaim dirinya sebagai nabi, tidak menyeru manusia kepada Allah, tapi kepada dirinya sendiri atau menyebut dirinya memiliki kelebihan khusus.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para nabi ditugaskan untuk menyampaikan pesan Allah kepada manusia. Mereka tidak berbicara dari diri mereka sendiri atau melakukan perbuatan sendiri.
2. Memurnikan penyembahan kepada Allah dari segala perilaku dan pemikiran syirik merupakan kewajiban penting para nabi.
3. Di pengadilan ilahi di hari kiamat, tidak ada perbedaan antara nabi dan manusia biasa lainnya dan mereka tidak memiliki kelebihan tertentu.
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14) فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (15)
Katakanlah, “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (39: 14)
Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (39: 15)
Kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya, dimana Nabi Muhammad Saw berkata, “Saya diperintah dari sisi Allah untuk memperkenalkan agama Allah secara murni dan saya menyembah Allah dengan ikhlas.” Dalam ayat ini disebutkan, “Saya juga akan mengamalkan seperti itu. Karena, pertama, saya hanya menyembah Allah, bukan selain-Nya. Kedua, dalam penyembahan ini saya tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu atau siapapun.”
Setelah itu berkata kepada orang-orang Musyrik, “Saya mengajak kalian untuk memeluk agama yang suci dan murni. Karena sekarang kalian tidak mau menerimanya, silahkan menyembah apa saja, tapi kalian harus tahu akan menemui kerugian yang besar. Karena menyembah selain Allah pada dasarnya kalian telah membuat diri kalian dan keluarga dalam kerugian besar di hari kiamat.”
Jangan pernah membayangkan bahwa kerugian harta adalah kerugian terbesar. Tapi kerugian yang nyata adalah di akhirat. Suatu hari ketika manusia memahami dirinya memiliki utang besar ketika semua potensi dan fasilitas yang diberikan Allah dan semua modal hidupnya lepas dari tangannya dan sebagai ganti dari upaya meriah kesempurnaan dan mencapai pada kebahagiaan abadi, yang didapatnya hanya kerugian. Selain itu, tidak ada jalan baginya untuk menutupi kesalahan sebelumnya. Inilah kerugian yang besar dan nyata.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para nabi menjadi yang terdepan dalam menjalankan perintah ilahi. Mereka melaksanakan perintah ilahi dengan segala wujudnya. Tidak demikian bahwa mereka mengajak manusia kepada kebenaran dan mereka tidak mengamalkannya.
2. Tanggung jawab penting dari para nabi adalah memurnikan Allah dari segala bentuk syirik, bidah dan khurafat. Karena semua ini hama bagi agama.
3. Mereka tidak pernah menyesal menyampaikan pesan agama ilahi kepada semua manusia, tapi mereka tahu sebagian manusia tidak akan menerima ucapan kebenaran mereka. Sekalipun demikian mereka tidak menyesal dan tidak berhenti melakukan tugasnya.
4. Manusia bukan saja bertanggung jawab atas dirinya, tapi juga atas keluarganya. Pendidikan anak berdasarkan ajaran dan nilai agama merupakan salah satu tanggung jawab orang tua.
لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ (16)
Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku. (39: 16)
Ayat ini menjelaskan mereka yang merugi di hari kiamat dan mengatakan, “Lidah api neraka akan mengelilingi mereka dan tidak ada jalan untuk melarikan diri. Pada hakikatnya ini merupakan peringatan kepada semua manusia agar tidak bertakwa di dunia, mungkin saja di akhirat mereka akan menderita nasib yang sangat malang ini.”
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kufur, syirik dan melupakan Allah menyebabkan manusia celaka. Orang yang mengikuti jalan kesyirikan di dunia, di akhirat akan mendapat murka ilahi dan akan dibakar di api neraka.
2. Satu-satunya jalan untuk selamat dari api neraka adalah bertakwa dan menjauhi dari perbuatan dosa. Karena dosa seperti materi yang mudah terbakar dan hanya dengan tidak melakukannya dapat mencegah semakin menyalanya api neraka.
Surat al-Zumar ayat 9-10
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (39: 9)
Dalam penjelasan sebelumnya, al-Quran berbicara tentang manusia yang hanya mengingat Allah ketika menghadapi kesulitan dan di bawah tekanan. Dalam kondisi biasa mereka segera melupakan Allah atau bahkan mengingkarinya. Ayat ini ingin membandingkan dengan menyebutkan, "Apakah orang yang seperti ini sama dengan orang yang di segala situasi, baik sulit atau senang, selalu mengingat Allah? Itulah orang yang di waktu malam bangun dari tidurnya dan sibuk dengan ibadah, sehingga dapat menarik rahmat Allah kepadanya dan aman dari azab neraka."
Satu satu ciri khas wali Allah adalah bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat, berdoa dan membaca al-Quran. Sebagian manusia biasa, melaksanakan shalat wajib dengan berat hati dan berpuasa dengan sulit. Berbeda dengan mereka, ada orang mukmin hakiki yang memiliki iman yang kuat kepada Allah dan hari kiamat, bukan saja shalat dan seluruh ibadah wajib lainnya dengan gembira, tapi juga bangun malam hari untuk melaksanakan shalat sunnah dan menyibukkan dirinya dengan ibadah dan munajat kepada Allah Swt.
Jelas, kelompok orang seperti ini selain berharap akan rahmat Allah, juga takut akan azab-Nya. Mereka hidup di antara rasa takut dan harap. Kondisi membuat mereka tidak putus asa akan rahmat ilahi, juga tidak sombong akan rahmat ilahi yang tak terhingga.
Lanjutan ayat ini mengajak bicara Nabi Muhammad Saw, "Sampaikan kepada masyarakat bahwa manusia yang berilmu tidak sama dengan yang tidak berilmu. Hanya manusia yang memiliki akal sehat yang dapat membedakan dua kelompok manusia ini. Orang yang seperti ini dapat menerima nasihat dan memilih jalur kebahagiaan."
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam budaya al-Quran, malam tidak diperuntukkan hanya untuk tidur, tapi kesempatan tepat untuk menyendiri dan bermunajat dengan Allah.
2. Ulama yang hakiki adalah ahli ibadah dan bermunajat kepada Allah.
3. Tentang takut akan azab ilahi dan berharap rahmat Allah, harus menjaga batasan pertengahan. Sebagaimana para wali Allah yang takut akan akhirat dan berharap keutamaan dan rahmat Allah.
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (39: 10)
Ayat-ayat sebelumnya membandingkan antara manusia yang sombong dan tidak tahu bersyukur dengan orang yang bertaubat dan taat, begitu juga tentang orang yang berilmu dan bodoh. Tapi ayat ini melanjutkan sebagian ciri khas hamba Allah yang hakiki. Di atas semua ciri khas ini adalah takwa.
Al-Quran menyebutkan, "Tanda orang beriman adalah bertakwa kepada Allah. Suatu kondisi dimana manusia merasa malu kepada Allah atas perbuatan dosa yang dilakukan dan menahan diri dari melakukan pelbagai perbuatan yang tidak layak."
Tapi takwa saja tidak cukup, manusia perlu juga kepada perbautan baik. Takwa seperti rem bagi kendaraan yang melindungi manusia dari bahaya, ketergelinciran dan lobang. Sementara perbuatan baik seperti motor yang mampu menggerakkan manusia ke depan.
Kebaikan dalam perbuatan maupun ucapan merupakan kelaziman iman kepada Allah. Oleh karenanya, seseorang yang mengakui beriman, tapi perilaku dan ucapannya tidak baik, maka pengakuannya tidak hakiki. Klaim orang seperti ini tidak diterima oleh Allah dan untuk segala perbuatannya tidak akan mendapatkan pahala di akhirat.
Kelanjutan ayat ini menyinggung kesiapan orang beriman untuk berhijrah ke jalan Allah. Ayat ini mengatakan, "Setiap kali kalian menghadapi kesulitan besar untuk melindungi agama kalian di kota atau tempat tinggalmu, maka pergilah berhijrah ke tempat lain, bukannya bergantung pada kota dan tempat tinggal yang justru merusak agamamu. Sebagaimana para sahabat Nabi Muhammad Saw yang berhijrah dari Mekah ke Madinah karena Allah setelah menghadapi segala kesulitan dan akhirnya keluar dari dominasi Musyrikin dan kemudian menolong agama Allah."
Tidak diragukan lagi bahwa berpindah dan berhijrah dari tempat kelahiran dan tempat tinggal ke daerah lain selalu dibarengi dengan kesulitan. Oleh karenanya, kelanjutan ayat ini menyebutkan, "Mereka yang menanggung kesulitan karena Allah dan bersabar, Allah dengan kedermawanannya akan memberikan seluruh pahala mereka, bukan berdasarkan perhitungan perbuatan mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman, takwa dan perbuatan baik melazimkan yang lain dan tanpa satu dari ketiganya manusia tidak akan sampai pada kebahagiaan.
2. Bila kelaziman untuk menjaga keimanan, hijrah dari rumah dan tempat tinggal harus dilakukan karena Allah dan menanggung segala kesulitan dan masalahnya agar perhatian Allah meliputi mereka.
3. Pahala ilahi sama dengan upaya kita. Dengan kata lain, surga diberikan dengan biaya bukan dengan alasan. Upaya berkelanjutan menyebabkan manusia tumbuh dan mengantarkannya ke derajat yang tinggi.



























