کمالوندی

کمالوندی

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar menekankan terjaganya keagungan dan kebesaran bangsa Iran.

Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Rabu (6/5) dalam pertemuan dengan Menteri dan pegawai Kementerian Pendidikan serta pengajar dari seluruh penjuru Iran menyoroti ancaman-ancaman terbaru petinggi pemerintahan Amerika Serikat seiring dengan digelarnya perundingan nuklir.

Rahbar menegaskan, "Kami tidak sepakat dengan perundingan di bawah ancaman. Petinggi politik asing dan tim juru runding harus memperhatikan garis merah serta haluan utama."

Ia menjelaskan, "Seiring dengan belanjutnya perundingan, keagungan dan kebesaran bangsa Iran harus dibela dan tim perunding nuklir Iran tidak boleh tunduk pada ancaman, paksaan atau penghinaan apapun."

Ayatullah Khamenei juga menyinggung statemen-statemen petinggi pemerintah Amerika dalam beberapa hari terakhir yang mengatakan, "Jika kondisi semacam ini muncul, maka kami akan melancarkan serangan militer". Rahbar menuturkan, "Seperti yang pernah kami katakan kepada Amerika pada pemerintahan Iran sebelumnya, bangsa Iran akan membalas dengan tegas setiap ancaman."

Rahbar menambahkan, "Menurut pengakuan terbuka atau tertutup petinggi sejumlah negara, jika sanksi dan tekanan yang ada saat ini atas Iran dijatuhkan pada negara lain, maka negara itu akan menghadapi berbagai masalah serius, namun Iran tetap bertahan dan berdiri kokoh."

Ia melanjutkan, "Amerika lebih membutuhkan perundingan ketimbang Iran, atau setidaknya kedua negara sama-sama membutuhkan. Kami ingin perundingan selesai dan sanksi-sanksi dicabut, akan tetapi ini bukan berarti bahwa jika sanksi dicabut lalu kami tidak dapat mengelola negara."

Ayatullah Khamenei menjelaskan bahwa rakyat Iran selalu membela identitas dan kehormatan dirinya. "Dalam perang pertahanan suci selama delapan tahun, seluruh kekuatan dunia berusaha untuk menundukkan bangsa Iran, namun gagal. Oleh karena itu keagungan dan kebesaran bangsa ini harus tetap dijaga," paparnya.

Menurutnya, hari ini pemerintah Amerika menjadi pemerintahan yang paling tidak dihormati di dunia, salah satu alasannya adalah karena dukungan tegas Washington atas kejahatan-kejahatan pemerintah Al Saud di Yaman.

"Pemerintah Al Saud, tanpa justifikasi apapun dan hanya dengan satu dalih, mengapa rakyat Yaman tidak memilih presiden yang sesuai dengan kehendak Riyadh, terus melakukan pembunuhan terhadap rakyat tidak berdosa, perempuan dan anak-anak Yaman. Amerika pun mendukung kejahatan-kejahatan besar ini," ungkapnya.

Ia menandaskan, "Rakyat pejuang dan revolusioner Yaman tidak membutuhkan senjata, pasalnya seluruh pusat dan pangkalan militer dikuasai oleh mereka. Rakyat Yaman, karena embargo obat-obatan, bahan makanan dan energi yang kalian lakukan, membutuhkan bantuan-bantuan kemanusiaan. Akan tetapi kalian bahkan tidak mengizinkan Bulan Sabit Merah masuk ke Yaman.

Laporan terbaru menyebutkan berlanjutnya kegagalan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk memperkokoh kabinetnya yang rentan yang menurut rencana akan segera diumumkan. 

Disebutkan bahwa Rabu malam, atau tepat pada detik-detik akhir kesempatan kedua untuk membentuk kabinet baru rezim Zionis dan juga menyusul kesepakatan antara Netanyahu dan Naftali Bennet, Ketua Partai Rumah Yahudi, kabinet baru Netanyahu mendapatkan kuorum terkecil di parlemen. Dengan demikian, kabinet yang terbentuk dalam kondisi seperti itu merupakan salah satu yang terentan dan pada saat paling radikal yang pernah dibentuk.

Oleh karena itu, kabinet seperti ini yang hanya mengantongi 61 kursi dari 120 kursi parlemen Israel, sedemikian rentan sehingga Netanyahu dalam beberapa hari  yang tersisa untuk mengumumkan kabinetnya, berusaha keras menggalang dukungan dari partai-partai lain guna menghindar terjerumus ke jurang.

Disebutkan bahwa koran Jerusalem Post mengungkap, Benjamin Netanyahu siap menunjuk Avigdor Lieberman sebagai menteri perang dalam kabinet barunya. Namun dengan syarat, Lieberman bersedia merevisi keputusannya menolak hadir dalam kabinet tersebut. Sementara berbagai laporan menunjukkan penolakan usulan tersebut oleh Lieberman.

Lieberman Senin lalu menyatakan mundur dari kabinet Netanyahu dan tidak akan terlibat dalam kabinet mendatang. Lieberman telah dua periode menjabat sebagai Menlu Israel dan merupakan sekutu utama Netanyahu.

Sementara itu, Tzipi Livni, mantan menlu Israel yang juga pernah menjabat sebagai menteri kehakiman, juga menyatakan tidak akan bergabung dalam kabinet koalisi Netanyahu.

Berbagai transformasi rezim Zionis dan kegagalan Netanyahu dalam pembentukan kabinet yang kokoh dan komprehensif, mengindikasikan jurang politik yang menganga, konfrontasi politik antara partai dan kelompok-kelompok politik serta eskalasia krisis politik di Israel.  

Hasil pemilu dipercepat parlemen rezim Zionis yang pada umumnya partai-partai Israel meraih hasil lemah dan juga pembentukan kabinet yang sangat rentan oleh Netanyahu itu, juga menunjukkan kacaunya perimbangan politik PM Israel dalam upaya mendapat kekuasaan lebih besar melalui pemilu parlemen yang dipercepat.

Sebelumnya Netanyahu juga gagal membentuk kabinet komprehensif dan oleh karena itu dia merangkul banyak partai sayap kanan Israel termasuk Partai Yisrael Beiteinu, pimpinan Avigdor Lieberman, yang memiliki kecenderungan radikal lebih besar dibanding partai-partai lainnya. Hasilnya adalah percepatan program-program penjajahan rezim Zionis Israel.

Para menteri luar negeri negara-negara Arab pesisir Teluk Persia pada Sabtu 9 Mei 2015, menggelar pertemuan dengan Menlu AS, John Kerry, di Paris, Perancis. Disebutkan bahwa pertemuan itu digelar dalam rangka persiapan pelaksanaan pertemuan tingkat tinggi Arab di Kamp David yang menurut rencana akan digelar pekan depan melibatkan para pemimpin negara-negara Arab Teluk Persia dan Presiden AS Barack Obama.

Menurut koran al-Hayat mengutip sumber-sumber Arab, Amerika Serikat akan memberikan laporan tentang kesepakatan potensial dalam masalah nuklir dengan Iran untuk ÔÇ£meyakinkanÔÇØ Arab bahwa Iran tidak akan menggapai senjata nuklir.

Interpretasi sejumlah negara Arab Teluk Persia dari kesepakatan nuklir potensial antara Iran dan Kelompok 5+1; mencakup kekhawatiran mereka terhadap sebuah proses yang akan membuat Iran lebih kuat; di saat mereka tidak dapat menyaksikan kemajuan Iran. Semakin Iran mampu tampil kokoh di hadapan tekanan dan merealisasikan tuntutannya, negara-negara tersebut semakin merasa kerdil dan hina.  

Hingga kini mereka tetap beranggapan bahwa Iran tetap terisolasi dan adapun interpretasi mereka dari kesepakatan potensial itu, sejajar dengan politik ÔÇ£pencegahan IranÔÇØ berdasarkan perspektif usang dan kadaluarsa. Dari sudut pandang ini, maka jelas pula apa yang mereka harapkan dari pertempuan di Kamp David. Berbagai indikasi yang ada menunjukkan bahwa kepada negara-negara Arab Teluk Persia, Obama akan berjanji mempertahankan sanksi anti-Iran sekaligus menawarkan sistem pertahanan rudal anti-udara kepada mereka. Washington juga dipastikan akan menekankan kembali komitmennya dalam menjaga sekutunya di hadapan ancaman serangan asing.

Menurut koran Los Angeles Times, kemungkinan dalam pertemuan Kamp David, akan diutarakan ungkapan-ungkapan indah dan dikesankan bahwa mereka menginginkan ikatan langgeng dengan Amerika Serikat.

Oleh karena itu, Kamp David merupakan kesempatan bagi Barack Obama untuk menyatakan bahwa Washington tetap mementingkan sekutu kunonya di kawasan; akan tetapi pada saat yang sama Obama juga tidak akan mampu menutup mata dari kekeliruan Amerika Serikat di kawasan yang berujung pada pembentukan kelompok-kelompok teroris seperti al-Qaeda dan ISIS, serta munculnya kekerasan ekstrim di Irak dan Suriah.

Negara-negara seperti Arab Saudi, sebenarnya tidak mengkhawatirkan program nuklir Iran; karena semua mengetahui bahwa klaim ancaman nuklir Iran tidak lebih dari propaganda dan apa yang diinginkan dan dilakukan Iran adalah hak-haknya sesuai dengan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Banyak negara-negara Arab regional termasuk Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kuwait yang berharap mendapat posisi yang dimiliki Iran; hanya saja mereka tidak sejajar dengan Iran di tingkat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, interpretasi paling optimistik dari harapan mereka adalah menginginkan kemajuan yang sama dengan yang dicapai Iran.

Lalu di mana masalahnya? Yang pasti negara-negara Arab Teluk Persia mengetahui bahwa Iran tidak pernah mengancam atau menyulut gejolak di kawasan. Sementara negara-negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir selalu berusaha menciptakan krisis dan ketidakpercayaan di kawasan. Selain itu, dalam setiap krisis, mereka juga selalu membuka pintu bagi pihak asing untuk masuk.

Apa yang dikhawatirkan negara-negara Arab Teluk Persia adalah dampak internal dan sekitar akibat dari pengaruh arus-balik keselarasan mereka dengan Amerika Serikat dan Barat. Mereka mengkhawatirkan nasib kekuasaan adikara dan dependen mereka yang sekarang sudah sulit dipertahan dengan petro dolar. Karena era keemasan pendapatan dari penjualan minyak juga telah berakhir dan sekarang saatnya untuk menebus banyak hal. Adapun masalah nuklir Iran hanya satu alasan untuk lari dari semua kenyataan itu.

Republik Islam Iran sangat meragukan kinerja pelapor khusus HAM PBB soal Tehran. Pasalnya laporan tersebut tidak menjaga prinsip dan ketentuan internasional.

Marzieh Afkham, juru bicara Kemenlu Iran Ahad (10/5) seraya menekankan poin ini menjelaskan, ÔÇ£Statemen terbaru Ahmad Shaheed, pelapor khusus PBB bidang HAM untuk Iran, menunjukkan kepalsuan laporan tersebut. Di mana laporan Ahmad Shaheed disusun tanpa memperhatikan ketentuan dan tugasnya sebagai pelapor khusus dari Dewan HAM.ÔÇØ

Afkham seraya menjelaskan bahwa sangat jelas unsur-unsur di luar mekanisme HAM PBB mempengaruhi penyusunan laporan soal HAM Iran, menambahkan, pemerintah Tehran komitmen terhadap janjinya untuk meningkatkan hak asasi warganya di seluruh bidang dan telah melakukan langkah-langkah penting dalam masalah ini termasuk peningkatan hak sipil, hak minoritas dan hak-hak kaum perempuan. Iran juga akan tetap melanjutkan programnya di bidang ini.

Ahmad Shaheed di laporan terbarunya kembali menuding Iran melakukan pelanggaran hak tahanan para penyelundup narkotika, pembunuh dan mereka yang terlibat kejahatan lainnya termasuk pelaku hubungan sesama jenis.

Sangat disayangkan isu HAM dewasa ini menjadi sarana politik. Padahal HAM pada dasarnya muncul dari nilai-nilai agama, moral, sosial, budaya dan penghormatan terhadap nilai-nilai bangsa lain dalam koridor piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah kebijakan Dewan HAM saat ini yang seharusnya diarahkan untuk memajukan nilai-nilai hak asasi manusia, seberapa besar digunakan untuk tujuan HAM itu sendiri dan apa posisinya dalam kasus ini?

Realitanya adalah di kondisi dunia saat ini, dari satu sisi pemerintah Barat yang mengklaim sebagai pembela HAM malah menyalahgunakan isu hak asasi manusia untuk meraih ambisi politiknya terhadap negara lain yang menentang mereka. Pada dasarnya Barat menjustifikasi intervensinya terhadap negara lain di bawah isu HAM dan dengan slogan membela hak asasi manusia.

Metode ini dengan bersandar pada globalisasi isu HAM, menjadi cara-cara yang lumrah digunakan Barat. Praktisnya metode ini dimanfaatkan sebagai sarana oleh kekuatan besar untuk menguasai hubungan internasional.

Menyimak wacana HAM selama beberapa dekade terakhir, terlihat nyata bahwa politisasi isu HAM mengalami pertumbuhan sangat cepat di dunia. Hal ini membuat upaya serius untuk menghadapi berbagai realita pahit dan nyata pelanggaran HAM semakin sulit serta membuka lebar-lebar peluang terjadinya kekerasan. Kekerasan tersebut dewasa ini terlihat jelas di Eropa dan Amerika, khususnya sikap diskriminatif mereka terhadap kaum minoritas etnis maupun agama. Sehingga terjadi pelanggaran HAM secara nyata di Barat, karena keadilan di model HAM seperti ini tidak mendapat tempat serta parameter ganda telah membangkitkan protes di tingkat dunia.

Di proses ini, sejumlah negara yang berseberangan dengan kekuatan dunia, terus ditekan melalui isu HAM. Padahal berdasarkan data yang ada, ribuan anak-anak di dunia tewas akibat sanksi obat-obatan dan gizi buruk. Dewasa ini, dirilis data yang mencengangkan terkait pelanggaran nyata konvensi internasional termasuk pembantaian perempuan dan anak-anak menggunakan senjata terlarang. Padahal realita seperti ini tidak pernah dimuat di laporan para pelapor HAM.

Sejatinya, pandangan Barat soal HAM sebagai hukum internasional dan global terdapat kontradiksi yang besar. Kontradiksi ini menunjukkan ketidakadilan dan politisasi terhadap isu HAM. Tentunya hal ini mendorong ketidakpercayaan terhadap kinerja para pelapor khusus seperti Ahmad Shaheed, karena nilai-nilai yang dijadikan landasan dalam laporan seperti ini bukan untuk menyebarkan nilai-nilai HAM, namun sebaliknya malah memicu maraknya beragam kontradiksi dan memperkokoh kezaliman di sistem hukum dan politik di tingkat masyarakat internasional serta mendorong aksi kekerasan semakin menjamur di berbagai wilayah dunia.

Oleh karena itu, Republik Islam Iran memandang dengan keraguan besar kinerja pelapor khusus HAM terkait Tehran. Keraguan ini mengingatkan betapa pentingnya merevisi realita HAM dan bagaimana nasib HAM saat ini di dunia.

Presiden Rusia mengatakan, Moskow mampu melakukan intervensi di Ukraina timur untuk menyelesaikan krisis, namun ini adalah kewajiban pemerintah Kiev untuk mengakhiri krisis di berbagai wilayah Ukraina timur.

Vladimir Putin dalam pernyataannya terbarunya menuntut Petro Poroshenko, Presiden Ukraina dan para pejabat Kiev lainnya untuk melaksanakan komitmen mereka dalam perjanjian Minsk. Demikian dilaporkan Mehr News mengutip Russia Today, Senin (11/5).

Ia mengatakan, hari ini mereka yang memiliki kekuatan harus bertindak, dan Kremlin akan memanfaatkan hubungannya dengan para pejabat Donetsk dan Luhansk supaya semua komitmen mereka dilaksanakan.

Kesepakatan Minsk adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani untuk mengakhiri konflik di Ukraina dengan mediasi para pemimpin Rusia, Perancis dan Jerman.

Presiden Republik Islam Iran menyatakan tekad serius negaranya untuk memperluas hubungan ekonomi dengan Afrika Selatan.

Hassan Rouhani mengungkapkan hal itu selama pertemuannya dengan Maite Nkoana-Mashabane, Menteri Luar Negeri Afrika Selatan di Tehran, ibukota Iran, Senin (11/5).

Dalam pertemuan tersebut, Rouhani menyinggung kerjasama antara Tehran dan Pretoria untuk membela hak negara-negara yang sedang berkembang.

"Sayangnya masih ada negara-negara kuat yang ingin memonopoli ilmu pengetahuan dan menggunakannya sebagai alat untuk mendominasi, " ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya upaya bersama untuk memerangi terorisme dan kekerasan.

Presiden Iran menuturkan, sayangnya, virus kekerasan dan terorisme sedang menyebar di seluruh belahan dunia, dan hari ini semua pihak harus bergandengan tangan untuk menghadapi virus berbahaya ini.

Rouhani juga menekankan pentingnya bantuan kepada bangsa-bangsa yang menghadapi berbagai persoalan seperti perang saudara dan invasi ke negara mereka, khususnya rakyat Yaman.

"Solusi berbagai persoalan internal bukan serangan militer. Dan peluang harus di berikan supaya berbagai kelompok dapat saling berdialog," jelasnya.

Di bagian lain penyataannya, Rouhani menuturkan, Iran telah menunjukkan dengan baik bahwa negara ini memiliki tekad serius untuk menyelesaikan isu nuklir melalui perundingan.

Dasar Iran dalam perundingan, kata Rouhani, adalah menghormati dan mematuhi peraturan internasional, di mana pemanfaatan dan aktivitas damai di sektor teknologi nuklir dalam proses pengembangan.

Sementara itu, Menlu Afrika Selatan menegaskan komitmen negaranya untuk menjalin kerjasama dengan Iran.  

 

Nkoana-Mashabane menyerukan pemanfaatan hubungan baik politik kedua negara untuk memperkuat hubungan ekonomi.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Republi Islam Iran menekankan pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan setiap negara.

Marzieh Afkham dalam pernyataan terbaru seperti dilansir kantor diplomasi media Kemenlu Iran, Senin (11/5), menyinggung masuknya Ahmet Davutoglu,Perdana Menteri Turki ke wilayah Suriah tanpa izin pemerintah Damaskus dengan dalih menziarahi makam Suleyman Shah.

Afkham mengatakan, langkah ini merupakan tindakan berbahaya bagi kawasan yang akan mendorong situasi semakin rumit.

"Sayangnya, sejumlah negara memiliki perhitungan keliru terhadap transformasi dan kondisi kawasan, "imbuhnya.

Ia lebih lanjut menekankan pentingnya untuk menghindari segala bentuk langkah provokatif, dan menuturkan, mematuhi hukum internasional dan menghormati kedaulatan setiap negara adalah prinsip yang telah diakui oleh semua negara, di mana prinsip ini harus dijaga.

PM Turki dengan dikawal ketat oleh militer negara ini melakukan tindakan provokatif dengan masuk ke wilayah Suriah tanpa izin pada Ahad dengan dalih menziarahi makam Suleyman Shah.

Pada Januari, Turki juga mengirim pasukan ke Suriah untuk memindahkan jasad Suleyman Shah dari wilayah yang dikontrol ISIS dan memindahkanya di dekat perbatasan Turki.

Militer rezim Zionis Israel menyerang berbagai wilayah di Tepi Barat dan menangkap sekelompok warga Palestina.

Seperti dilansir IRNA, militer Israel menyerang kota Nablus, Ramallah, Jenin, Baitul Maqdis dan Tepi Barat pada Senin (11/5) dan menangkap 13 warga Palestina.

6.500 warga Palestina termasuk perempuan, anak-anak dan beberapa anggota parlemen Palestina hingga saat ini masih mendekam di berbagai penjara rezim Zionis dalam kondisi memprihatinkan.

Pada Senin ini, pengadilan rezim Zionis juga mengeluarkan keputusan untuk menghancurkan delapan properti yang terdiri dari 23 unit perumahan milik warga Palestina di utara Baitul Maqdis.

Tim juru runding nuklir Republik Islam Iran Kamis lalu memulai kerjanya menyusun isi kesepakatan final di New York. Dalam beberapa hari lalu, rata-rata setiap hari digelar perundingan terkait penggunaan kata-kata dalam isi kesepakatan komprehensif selama delapan jam.

Dalam hal ini, deputi menteri luar negeri Iran dan deputi ketua kebijakan luar negeri Uni Eropa hari Sabtu melakukan pertemuan dan lobi di New York terkait draf isi kesepakatan final nuklir. Bersamaan dengan pertemuan dua deputi tersebut, tim teknis serta hukum Iran dan Kelompok 5+1 mulai mengkaji hal-hal tambahan di isi kesepakatan.

Menurut berbagai laporan yang dirilis dari New York, hari ini (Ahad 3/5) tidak akan digelar perundingan dan yang ada sekedar lobi dan perundingan internal masing-masing tim juru runding. Dalam hal ini, Sayid Abbas Araqchi, anggota senior tim juru runding nuklir Iran mengaku optimis bahwa dalam beberapa hari mendatang draf isi kesepakatan final nuklir Iran dan Kelompok 5+1 akan final.

Namun bersamaan dengan perundingan ini, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry pada hari Sabtu (3/5) melalui kanal televisi rezim Zionis Israel mengeluarkan kritikan atas apa yang ia klaim sebagai ketakutan akan kesepakatan nuklir. Statemen Kerry ini merupakan kelanjutan dari pergerakan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu terkait kemungkinan tercapainya kesepakatan nuklir dengan Iran.

Netanyahu Sabtu (3/5) juga kembali memprotes koridor kemungkinan kesepakatan antara Iran dan Kelompok 5+1 di Lausanne, Swiss. Ia mengatakan, ÔÇ£Kesepakatan ini membuat dunia menjadi tempat yang semakin berbahaya.ÔÇØ Netanyahu sejak lama dan dengan menggerakkan Kongres Amerika, berusaha menciptakan huru hara anti Iran. Beberapa waktu lalu, Netanyahu juga menyalahgunakan Majelis Umum PBB untuk melontarkan klaim menggelikan kepada dunia, namun ulahnya tersebut ditertawakan oleh dunia internasional.

Meski demikian, statemen Kerry di luarnya tampak sebagai penafian interpretasi Netanyahu atas kesepakatan yang mungkin diraih, namun menlu AS dengan dalih menjawab statemen PM Israel berusaha menjabarkan koridor kemungkinan kesepakatan nuklir sesuai dengan persepsi Washington.

Seraya mengulang klaim palsu bahwa Iran berusaha memproduksi senjata nuklir, Kerry mengatakan, ÔÇ£Kami tidak akan menandatangani kesepakatan yang tidak mampu mencegah Iran membuat senjata nuklir.ÔÇØ Padahal sikap para pejabat Amerika terhadap Israel, meski adanya statemen dangkal, tidak pernah ada keraguan atas kedalaman hubungan strategis dan dukungan penuh Washington kepada rezim penjajah ini.

Oleh karena itu, statemen Kerry dan Netanyahu harus dianalisa dari sisi esensi hubungan Gedung Putih dan Israel, di mana Netanyahu merupakan salah satu bidak Tel Aviv, namun yang telah usang.

Namun demikian baik Netanyahu maupun Kerry dengan baik memahami apa sebenarnya realita yang terjadi. Beberapa waktu lalu mengkonfirmasikan perbedaan klaim Netanyahu dengan laporan yang dirilis oleh Dinas Intelijen Israel (Mossad) terkait aktivitas nuklir Iran. Media menulis, Netanyahu ketika laporan Mossad diumumkan dan menyebutkan bahwa Iran tidak berusaha memproduksi senjata pemusnah massa, malah berusaha  menipu dunia. Dinas-dinas intelijen Amerika sebelumnya juga sampai pada hasil yang sama dengan Mossad.

Kini menlu AS sepertinya berusaha mengendalikan kemungkinan kesepakatan nuklir yang bakal diraih, namun tetap dengan corak seperti biasanya dan selaras dengan kebijakan Gedung Putih, yakni disertai dengan kebohongan soal program nuklir Iran.

Selasa, 05 Mei 2015 09:24

Barat, Sumber Utama Persenjataan ISIS

Salah satu pusat informasi Barat dalam laporannya mengatakan, 21 negara dunia menyuplai persenjataan untuk kelompok teroris ISIS.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menyuplai senjata untuk ISIS.

Pusat informasi militer di sebuah universitas Inggris itu menjelaskan soal sumber-sumber pesenjataan ISIS. "ISIS memiliki senjata-senjata tempur canggih yang kebanyakan berasal dari gudang-gudang senjata milik NATO," katanya. Demikian dilaporkan surat kabar Iran, Jomhouri Eslami (5/5).

Laporan itu menegaskan, dari hasil pemeriksaan atas 1.700 butir peluru yang digunakan ISIS tahun lalu di kota Ayn Al Arab (Kobani), Suriah, diketahui 223 di antaranya adalah milik Amerika.

Menurut laporan tersebut, sejumlah banyak perlengkapan militer dikirim ke Suriah lewat negara-negara Arab dan saat ini jatuh ke tangan ISIS. Laporan ini sekali lagi menegaskan bahwa sumber utama persenjataan kelompok-kelompok teroris kawasan khususnya ISIS, adalah negara-negara Barat dan sekutu-sekutu regionalnya. Lebih dari itu, Amerika berada di atas semua negara tersebut.

Terungkapnya informasi ini juga membuktikan bahwa kelompok-kelompok teroris kawasan sebenarnya tengah melakukan perang proxy untuk mencapai tujuan dan menjaga kepentingan-kepentingan kubu imperialis dunia serta sekutu regionalnya.

Banyak pengamat yang sependapat bahwa pertama, kelompok-kelompok teroris kawasan tidak akan mampu melakukan aksinya seluas ini tanpa dukungan yang besar dan kuat, kedua, pada akhirnya negara-negara imperialis dan rezim Zionis Israel yang paling diuntungkan dari kejahatan-kejahatan teroris tersebut.

Di samping itu, negara-negara Arab kawasan juga memainkan peran sebagai sekutu bagi negara-negara imperialis dunia dengan imbalan mendapat dukungan kekuatan melanggengkan kekuasaannya, dari negara-negara Barat.

Dengan begitu, klaim-klaim perang melawan terorisme dan pembentukan koalisi-koalisi anti-teroris tidak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Hal itu dilakukan negara-negara imperialis untuk menutupi tujuan-tujuan anti-kemanusiaan dan hegemoninya serta untuk mengelabui opini publik dunia.