
کمالوندی
Imam Hasan, Suluh Penerang Umat
Imam Hasan as adalah cucu pertama Rasulullah Saw dari Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah as. Beliau lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah di kota Madinah. Ketika Rasul Saw diberi kabar tentang kelahiran cucu pertamanya itu, wajah beliau berseri-seri dan hatinya dipenuhi rasa gembira. Beliau bergegas menuju rumah Sayidah Fathimah as untuk melihat langsung cucunya itu. Sayidah Fathimah as langsung menyerahkan Imam Hasan as yang masih bayi kepada Rasulullah Saw. Setelah menggendongnya, Rasul Saw kemudian membacakan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri Imam Hasan as. Ketika itu, malaikat Jibril as turun dan menyampaikan perintah Allah Swt kepada beliau agar menamakan cucu pertamanya dengan Hasan, yang berarti baik dan terpuji.
Imam Hasan as senantiasa mendampingi Rasulullah Saw. Terkadang ia duduk di pangkuan Nabi, terkadang pula beliau memikul cucu kesayangannya itu di pundaknya. Setiap kali wahyu turun, ia pun mendengar langsung dari bibir Rasulullah Saw dan menukilkannya untuk sang ibu, Sayidah Fathimah as. Semasa hidupnya, Nabi Saw menunjukkan kecintaan beliau yang sangat besar kepada anak-anak Fathimah. Suatu kali, Fathimah as datang ke rumah Nabi dengan membawa dua putranya Hasan dan Husein. Kepada ayahnya, Fathimah as berkata, "Ayah, ini adalah dua putramu. Berilah mereka sesuatu yang akan selalu menjadi pengingatmu." Kemudian Nabi Saw bersabda, "Hasan akan mewarisi kewibawaan dan keberanianku, sedangkan Husein akan memperoleh kedermawanan dan keberanianku."
Sejatinya, keistimewaan terbesar yang dimiliki Imam Hasan as adalah kepribadian beliau yang begitu mirip dengan Rasulullah Saw. Meski ia adalah cucu Nabi Saw, namun beliau selalu menyebut Imam Hasan as sebagai putranya. Seluruh ulama dan sejarawan Muslim juga meyakini hal itu. Imam Hasan as hanya beberapa tahun saja hidup sezaman dengan Rasulullah Saw. Ketika ia beranjak usia tujuh tahun, datuk tercintanya, Nabi Muhammad Saw pergi memenuhi panggilan Ilahi. Setelah kepergian Rasul, ia mendampingi ayahnya, Imam Ali as selama 30 tahun. Setelah syahidnya sang ayah, Imam Hasan as memegang tampuk kepemimpinan umat selama 10 tahun.
Selama masa hidupnya, Imam Hasan as selalu dikenal sebagai pribadi yang dermawan, penenang setiap kalbu yang didera kesusahan, dan pengayom kaum fakir-miskin. Tak ada seorang miskin pun yang datang mengadu kepadanya lantas kembali dengan tangan hampa. Terkadang, jauh sebelum si miskin mengadukan kesulitan hidupnya, Imam telah terlebih dahulu membantu mengatasinya dan tak membiarkannya harus merasa hina lantaran meminta bantuan. Imam Hasan as berkata, "Memberi sebelum diminta adalah kebesaran jiwa yang teragung." Imam Hasan as adalah pribadi yang sangat agung, penyabar, sangat berwibawa dan teguh pendirian. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat pemberani. Ketinggian ilmu dan hikmah beliau membuat kagum siapapun serta sangat bijak dalam memutuskan suatu perkara.
Sepanjang hidupnya, Imam Hasan as senantiasa berkiprah untuk membimbing dan mencerahkan masyarakat. Metode pendekatan beliau dengan seluruh warga – bahkan dengan musuh – sangat indah dan menyita perhatian semua orang. Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Pendatang itu ternyata seorang yang sangat membenci Ahlul Bait Nabi as. Mulailah ia mencaci maki Imam Hasan. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun terhadap cacian itu, hingga orang tersebut menuntaskan hinaannya.
Setelah itu, Imam Hasan as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak memiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan harta. Bila engkau orang yang terusir, aku akan mengembalikanmu. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi kebutuhanmu."
Mendengar jawaban seperti itu, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi Saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat lain. Bahkan Muawiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Terkesima oleh jawaban Imam as, kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah Swt di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Tuhan. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya." Lelaki tua itu akhirnya diajak oleh Imam Hasan as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu kehormatan hingga ia pamit untuk pulang.
Sebuah kisah populer juga menyebutkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as dan Imam Husein as berjalan menuju masjid. Tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek yang sedang berwudhu. Namun, tata cara wudhunya tidak benar. Imam Hasan as berpikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah mereka sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing berujar, "Wudhumu tidak benar! Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar." Kemudian, mulailah keduanya berwudhu. Lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar." Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua."
Dalam perspektif Islam, golongan kaya memikul tanggung jawab yang berat terhadap kaum fakir dan miskin. Mereka dituntut untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan orang-orang tak mampu di tengah masyarakat. Para nabi dan kekasih Allah Swt tidak hanya memberikan petuah untuk bersikap dermawan, tapi mereka juga mempraktekkan dalam kehidupannya dan menjadi contoh yang patut diteladani. Imam Hasan as dikenal sebagai Karim Ahlul Bait, yang berarti pemilik sifat dermawan, mulia, dan utama. Kata Karim dalam berbagai ayat dan riwayat adalah sekumpulan keutamaan dan sifat terpuji dan menjadi pembeda seseorang dengan yang lain.
Sejarah menyebutkan bahwa Imam Hasan as pernah dua kali menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah Swt dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga tiga kali mendermakan setengah dari hartanya, separuh untuk dirinya dan setengah lainnya diinfakkan di jalan Allah. Keteladanan inilah yang menyebabkan Imam Hasan dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Beliau dengan keluhuran akhlaknya memberikan ketentraman di hati orang yang membutuhkan dan melindungi kaum lemah. Setiap fakir yang datang ke rumahnya pasti pulang dengan membawa sesuatu dari pemberian Imam Hasan as. Bahkan sering kali sebelum seorang fakir membuka mulut untuk meminta pertolongan darinya, Imam Hasan as langsung membantunya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan, ketika Imam Ali gugur syahid, Imam Hasan as berpidato di Masjid Kufah dan mengingatkan kedudukan mulia Ahlul Bait Nabi as serta pengorbanan mereka demi kejayaan Islam. Setelah menyampaikan khutbahnya, akhirnya beliau dibaiat oleh umat Islam pada 21 Ramadhan 40 Hijriah sebagai Imam dan Khalifah umat Islam. Selanjutnya baiat kepada Imam Hasan as mulai menyebar dari Kufah ke kota-kota lainnya seperti, Basrah dan seluruh wilayah Irak, Hijaz dan Yaman.
Akhirnya Imam Hasan as resmi menggantikan kedudukan Imam Ali sebagai khalifah umat Islam, namun akibat krisis yang dikobarkan oleh Dinasti Umawiyah, pemerintahan Imam Hasan tidak bertahan lama. Setelah baiat terhadap Imam Hasan diambil dari seluruh wilayah Islam, Muawiyah bin Abi Sufyan bangkit menentang beliau. Imam Hasan setelah memberikan nasehat kepada Muawiyah dan sikap keras kepala anak Abu Sufyan ini maka beliau terpaksa memerangi penguasa Syam ini. Setelah kembali ke kota Madinah, Imam Hasan sekitar delapan tahun mengabdikan dirinya di bidang budaya dan sosial. Karena umat Islam sangat memerlukan revolusi budaya. Pada tahun 50 Hijriah atas skenario busuk Muawiyah, Imam Hasan as diracun dan beliau gugur syahid pada usia 48 tahun.
100 Keutamaan Rasulullah Saw
Imam Shadiq as berkata, "Saya tidak ingin seseorang meninggal dunia sementara ia belum mengetahui sebagian perilaku Rasulullah Saw."
Tanggal 28 Shafar adalah hari wafatnya Rasulullah Saw. Dalam rangka memperingati hari duka wafatnya teladan akhlak ini, akan disebutkan beberapa keutamaan akhlak beliau yang tak terhitung dan masing-masing dari keutamaan itu bisa menjadi bekal hidup kita, antara lain:
1. Ketika berjalan, beliau berjalan secara pelan-pelan dan wibawa.
2. Ketika berjalan, beliau tidak menyeret langkah kakinya.
3. Pandangan beliau selalu mengarah ke bawah.
4. Beliau senantiasa mengawali salam kepada siapa saja yang dilihatnya... tidak ada seorangpun yang mendahuluinya dalam mengucapkan salam.
5. Ketika menjabat tangan seseorang, beliau tidak pernah melepaskannya terlebih dahulu.
6. Beliau bergaul dengan masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap orang berpikir bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang paling mulia di mata Rasulullah.
7. Bila memandang seseorang, beliau tidak memandang sinis bak pejabat pemerintah.
8. Beliau tidak pernah memelototi wajah seseorang.
9. Beliau senantiasa menggunakan tangan saat mengiyaratkan sesuatu dan tidak pernah mengisyaratkan dengan mata atau alis.
10. Beliau lebih banyak diam dan baru akan berbicara bila perlu.
11. Saat bercakap-cakap dengan seseorang, beliau mendengarkan dengan baik.
12. Senantiasa menghadap kepada orang yang berbicara dengannya.
13. Tidak pernah berdiri terlebih dahulu selama orang yang duduk bersamanya tidak ingin berdiri.
14. Tidak akan duduk dan berdiri dalam sebuah pertemuan melainkan dengan mengingat Allah.
15. Ketika masuk ke dalam sebuah pertemuan, beliau senantiasa duduk di tempat yang akhir dan dekat pintu, bukan di bagian depan.
16. Tidak menentukan satu tempat khusus untuk dirinya dan bahkan melarangnya.
17. Tidak pernah bersandar saat di hadapan masyarakat.
18. Kebanyakan duduknya menghadap kiblat.
19. Bila di hadapannya terjadi sesuatu yang tidak disukainya, beliau senantiasa mengabaikannya.
20. Bila seseorang melakukan kesalahan, beliau tidak pernah menyampaikannya kepada orang lain.
21. Tidak pernah mencela seseorang yang mengalami kesalahan bicara.
22. Tidak pernah berdebat dan berselisih dengan siapapun.
23. Tidak pernah memotong pembicaraan orang lain kecuali bila orang tersebut bicara sia-sia dan batil.
24. Senantiasa mengulang-ulangan jawabanya atas sebuah pertanyaan agar jawabannya tidak membingungkan pendengarnya.
25. Bila mendengar ucapan yang tidak baik dari seseorang, beliau tidak mengatakan mengapa si fulan berkata demikian, tapi beliau mengatakan, bagaimana mungkin sebagian orang mengatakan demikian?"
26. Banyak bergaul dengan fakir miskin dan makan bersama mereka.
27. Menerima undangan para abdi dan budak.
28. Senantiasa menerima hadiah, meski hanya seteguk susu.
29. Melakukan silaturahmi lebih dari yang lain.
30. Senantiasa berbuat baik kepada keluarganya tapi tidak melebihkan mereka dari yang lain.
31. Senantiasa memuji dan mendukung pekerjaan yang baik dan menilai buruk dan melarang perbuatan yang jelek.
32. Senantiasa menyampaikan hal-hal yang menyebabkan kebaikan agama dan dunia masyarakat kepada mereka dan berkali-kali mengatakan, "Orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan segala yang didengarnya kepada orang-orang yang tidak hadir."
33. Senantiasa menerima uzur orang-orang yang punya uzur.
34. Tidak pernah merendahkan seseorang.
35. Tidak pernah memaki atau memanggil seseorang dengan gelar yang jelek.
36. Tidak pernah mengutuk orang-orang sekitar dan familinya.
37. Tidak pernah mencari-cari aib orang lain.
38. Senantiasa menghindari kejahatan masyarakat, namun tidak pernah menghidar dari mereka dan beliau selalu bersikap baik kepada semua orang.
39. Tidak pernah mencaci masyarakat dan tidak banyak memuji mereka.
40. Senantiasa bersabar menghadapi kekurangajaran orang lain dan membalas kejelekan mereka dengan kebaikan.
41. Selalu menjenguk orang yang sakit, meski tempat tinggalnya dipinggiran Madinah yang sangat jauh.
42. Senantiasa menanyakan kabar dan keadaan para sahabatnya.
43. Senantiasa memanggil nama sahabat-sahabatnya dengan panggilan yang terbaik.
44. Sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan menekankan untuk melakukannya.
45. Senantiasa duduk melingkar bersama para sahabatnya, sehingga bila ada orang yang baru datang, ia tidak bisa membedakan di antara mereka yang manakah Rasulullah.
46. Akrab dan dekat dengan para sahabatnya.
47. Beliau adalah orang yang paling setia dalam menepati janji.
48. Senantiasa memberikan sesuatu kepada fakir miskin dengan tangannya sendiri dan tidak pernah mewakilkannya kepada orang lain.
49. Bila sedang dalam shalat ada orang datang, beliau memendekkan shalatnya.
50. Bila sedang shalat ada anak kecil menangis, beliau memendekkan shalatnya.
51. Orang yang paling mulia di sisi beliau adalah orang yang paling banyak berbuat baik kepada orang lain.
52. Tidak ada seorangpun yang putus asa dari Rasulullah Saw. Beliau selalu mengatakan, "Sampaikan kebutuhan orang yang tidak bisa menyampaikan kebutuhannya kepada saya!"
53. Bila ada seseorang membutuhkan sesuatu kepada beliau, Rasulullah Saw pasti memenuhinya bila mampu, namun bila tidak mampu beliau menjawabnya dengan ucapan atau janji yang baik.
54. Tidak pernah menolak permintaan seseorang, kecuali permintaan untuk maksiat.
55. Beliau sangat menghormati orang tua dan menyayangi anak-anak.
56. Rasulullah Saw sangat menjaga perasaan orang-orang asing.
57. Beliau selalu menarik perhatian orang-orang jahat dan membuat mereka cenderung kepadanya dengan cara berbuat baik kepada mereka.
58. Beliau senantiasa tersenyum sementara pada saat yang sama beliau sangat takut kepada Allah.
59. Saat gembira, Rasulullah Saw memejamkan kedua matanya dan tidak banyak menunjukkan kegembiraannya.
60. Tertawanya kebanyakan berupa senyuman dan tidak pernah tertawa terbahak-bahak.
61. Beliau banyak bercanda namun tidak pernah mengeluarkan ucapan sia-sia atau batil karena bercanda.
62. Rasulullah Saw mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik.
63. Kesabarannya mendahului kemarahannya.
64. Tidak sedih dan marah karena kehilangan dunia.
65. Saat marah karena Allah, tidak seoranpun yang akan mengenalnya.
66. Rasulullah Saw tidak pernah membalas dendam karena dirinya sendiri melainkan bila kebenaran terinjak-injak.
67. Tidak ada sifat yang paling dibenci oleh Rasulullah selain bohong.
68. Dalam kondisi senang atau susah tidak lain hanya menyebut nama Allah.
69. Beliau tidak pernah menyimpan Dirham maupun Dinar.
70. Dalam hal makanan dan pakaian tidak melebihi yang dimiliki oleh para pembantunya.
71. Duduk dan makan di atas tanah.
72. Tidur di atas tanah.
73. Menjahit sendiri pakaian dan sandalnya.
74. Memerah susu dan mengikat sendiri kaki ontanya.
75. Kendaraan apa saja yang siap untuknya, Rasulullah pasti mengendarainya dan tidak ada beda baginya.
76. Kemana saja pergi, beliau selalu beralaskan abanya sendiri.
77. Baju beliau lebih banyak berwarna putih.
78. Bila memakai baju baru, maka baju sebelumny pasti diberikan kepada fakir miskin.
79. Baju kebesarannya khusus dipakai untuk hari Jumat.
80. Ketika memakai baju dan sandal, beliau memulainya dari sebelah kanan.
81. Beliau menilai makruh rambut yang awut-awutan.
82. Senantiasa berbau harum dan kebanyakan pengeluarannya untuk minyak wangi.
83. Senantiasa dalam kondisi memiliki wudu dan setiap mengambil wudu pasti menyikat giginya.
84. Cahaya mata beliau adalah shalat. Beliau merasa menemukan ketenangan dan ketentraman saat shalat.
85. Beliau senantiasa berpuasa pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan.
86. Tidak pernah mencaci nikmat sama sekali.
87. Menganggap besar nikmat Allah yang sedikit.
88. Tidak pernah memuji makanan dan tidak juga mencelanya.
89. Memakan makanan apa saja yang dihidangkan kepadanya.
90. Di depan hidangan makanan beliau senantiasa makan makanan yang ada di depannya.
91. Di depan hidangan makanan, beliau yang paling duluan hadir dan paling akhir meninggalkannya.
92. Tidak akan makan sebelum lapar dan akan berhenti dari makan sebelum kenyang.
93. Tidak pernah makan dua model makanan.
94. Ketika makan tidak pernah sendawa.
95. Sebisa mungkin beliau tidak makan sendirian.
96. Mencuci kedua tangan setelah selesai makan kemudian mengusapkannya ke wajah.
97. Ketika minum, beliau meneguknya sebanyak 3 kali. Awalnya baca Bismillah dan akhirnya baca Alhamdulillah.
98. Rasulullah lebih memiliki rasa malu daripada gadis-gadis pingitan.
99. Bila ingin masuk rumah, beliau meminta izin sampai tiga kali.
100. Waktu di dalam rumah, beliau bagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk Allah, satu bagian untuk keluarga dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Sedangkan waktu untuk dirinya sendiri beliau bagi dengan masyarakat. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Mashregh News
Imam Ridha, Pribadi Mulia Panutan Umat
Imam Ali bin Musa ar-Ridha as dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzulqadah tahun 148 Hijriah. Ayahnya adalah Imam Musa al-Kazhim as dan ibunya adalah Najmah Khatun. Setelah Imam Kazhim as syahid, ia dalam usia 35 tahun mulai memegang tali kepemimpinan umat, menegakkan ajaran-ajaran agama dan membimbing umat manusia. Masa keimamahan Imam Ridha as adalah dua puluh tahun. Sepuluh tahun pertama masa kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Setelah masa tersebut, Imam Ridha as memimpin umat selama lima tahun di masa pemerintahan Amin, putra Harun. Sementara lima tahun kedua, kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Makmun al-Abasi, saudara Amin.
Dalam setiap fase kepemimpinan tersebut, Imam Ridha as berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Islam meskipun beliau harus berhadapan dengan kebijakan konfrontatif penguasa masa itu dan juga kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat. Imam Ridha as pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak menguras tenaga untuk menyadarkan masyarakat luas dan memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan-permasalahan pokok umat.
Imam Ridha as syahid pada tahun 203 Hijriah dalam usia 55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bagian dari kota Mashad. Beliau syahid karena diracun oleh Makmun, khalifah yang berkuasa pada saat itu. Menurut Imam Ridha as, Dinasti Abbasiah bertolak belakang dengan ajaran Ilahi. Karena penentangan beliau, Khalifah Makmun merasa terancam sehingga memaksa Imam Ridha as meninggalkan kota Madinah menuju Ibukota Dinasti Abbasiah saat itu, Khorasan. Namun untuk menghilangkan kecurigaan dan kepekaan umat, Makmun melakukannya dengan bermacam tipu muslihat.
Hari ini suasana di kota Mashad, Iran, tempat di mana Imam Ridha as dimakamkan terasa begitu istimewa dan berbeda dari hari-hari biasanya. Makam suci Imam Ridha as dipenuhi oleh lautan peziarah dan pecinta Ahlul Bait as dari seluruh penjuru dunia. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Belahan jiwaku akan dikebumikan di Khorasan. Siapapun yang mengalami kesulitan dan berziarah kepadanya, niscaya Allah Swt akan menghapus kesedihannya dan setiap pendosa yang berziarah kepadanya, Allah Swt pun akan mengampuni dosa-dosanya."
Pada masa hidupnya, Imam Ridha as mengetahui dengan baik perkembangan ilmiah dan percaturan politik kala itu. Beliau tak pernah henti berjuang untuk menghidupkan ajaran Islam murni dan membimbing manusia pada kebenaran. Tugas utama Imam Ridha pada masa itu adalah mencegah masyarakat dari penyimpangan perilaku dan pemikiran serta mengenalkan mereka kepada hakikat kebenaran. Pada dasarnya, Imam Ridha as merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya dan menyirami jiwa-jiwa mereka dengan pengetahuan luhur Islam.
Imam Ridha as senantiasa mengajak manusia untuk berpikir dan merenung dalam agamanya. Beliau berkata, "Ibadah bukan berarti memperbanyak shalat dan puasa, tapi ibadah hakiki adalah banyak berpikir tentang Sang Pencipta." Kesucian hati, ketajaman visi, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha as. Karena itu, salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan siapapun, mulai dari kalangan orang-orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, para pecinta beliau maupun musuh-musuhnya.
Pada masa kekuasaannya, Makmun kadang mengumpulkan para ilmuwan dari berbagai penjuru untuk menggelar forum diskusi ilmiah sekaligus meningkatkan popularitasnya di tengah masyarakat. Suatu hari, Makmun bercerita kepada Imam Ridha as tentang kemenangan pasukannya di sejumlah medan perang. Dia terkesan bangga dengan keberhasilan itu. Setelah cukup mendengar cerita Makmun, Imam Ridha as kemudian berkata, "Apakah engkau gembira karena berhasil menguasai sebuah desa?" Makmun balik bertanya, "Bukankah ini layak dibanggakan?" Imam menjawab, "Takutlah engkau kepada Allah akan nasib umat Muhammad dan kekuasaan yang ada di tanganmu. Engkau telah merusak urusan umat Islam dan menyerahkannya kepada orang-orang yang tidak mengadili dengan hukum Allah. Kaum tertindas semakin menderita dan untuk kehidupan mereka tidak memiliki apa-apa. Tak ada tempat bagi mereka mengadu. Tahukah engkau bahwa pemimpin dalam Islam harus memainkan peran layaknya tiang kemah, dan siapa saja bisa menjumpainya dengan mudah."
Dalam percakapan itu, Imam Ridha as memberondong Makmun dengan kritik deras seraya mengingatkan bahwa pemimpin Islam mesti menjauhi kemewahan dan segala protokoler yang menjauhkannya dari rakyat. Pemimpin mesti bekerja untuk rakyat bukan mengunci diri dan berfoya-foya di istana-istana yang megah. Imam dalam riwayat lain menegaskan, "Hukum Ilahi tidak akan tegak kecuali jika dijalankan oleh seorang yang kuat, mumpuni dan kredibel yang menegakkan urusan ini dan mencegah pelecehan hak-hak masyarakat."
Imam Ridha as menerangkan panjang lebar tentang kriteria pemimpin yang saleh dan cakap. Pemimpin harus menjalankan pemerintahan dengan baik, cerdas dan semangat mengabdi dengan demikian ia akan terhindar dari ambisi dan kediktatoran. Kepemimpinan seperti ini tidak akan terwujud kecuali seseorang memandang kekuasaan sebagai amanat Ilahi. Imam Ridha as menyatakan bahwa penguasa adalah orang yang memegang amanat dari rakyat, karena itu kekuasaan harus digunakan untuk mencegah kezaliman dan pelanggaran hak orang lain. Beliau berkata, "Setiap kali penguasa melakukan kezaliman maka kekuasaannya akan melemah."
Ajaran Islam menjelaskan berbagai makanan halal dan sehat untuk dikonsumsi oleh manusia. Berbagai hadis Rasulullah Saw dan para imam maksum as menjelaskan pembahasan khusus mengenai gizi dan kesehatan. Sejumlah buku panduan medis seperti Tib al-Nabi, Tib al-Sadiq, dan Tib al-Ridha (Risalah Dzahabiyah)merupakan buku berharga yang menjelaskan petunjuk dari Rasulullah Saw, Imam Jakfar Shadiq dan Imam Ridha as mengenai dunia medis, gizi dan kesehatan. Sumber berharga ini bukan hanya bermanfaat di masanya, bahkan kini menjadi perhatian para ahli medis dan peneliti muslim maupun non-muslim.
Islam sebagai agama yang komprehensif memberikan berbagai panduan bagi pemeluknya. Agama samawi ini dengan gamblang mengungkapkan berbagai metode dan pedoman hidup sehat dan bahagia bagi manusia. Imam Ridha as dalam sebuah ucapannya di kitab Risalah Dzahabiyahberkata, "Jika masyarakat merasa cukup dengan makan sedikit, maka kondisi tubuh mereka akan stabil." Beliau memandang tubuh manusia seperti tanah yang suci dan menulis, "Tubuh manusia ibarat tanah yang suci dan siap ditanami, pengolahan dan pengairannya tidak boleh melebihi dari kebutuhan tanah itu sehingga ia tergenangi, dan juga tidak boleh kurang dari kebutuhannya sehingga ia kehausan dan gersang."
Risalah Dzahabiyahmerupakan salah satu panduan medis yang sangat bernilai dan warisan peradaban Islam di bidang kedokteran. Buku itu memuat berbagai cabang ilmu kedokteran seperti ilmu bedah, fisiologi, kesehatan umum, dan teknik-teknik pencegahan agar tidak terserang penyakit tertentu. Risalah Dzahabiyahjuga menjelaskan seputar ilmu kimia, gizi, dan cabang-cabang ilmu lain yang ada kaitannya dengan dunia medis. Panduan medis Imam Ridha as akan mengarahkan seseorang untuk hidup sehat sebagai sebuah anugerah dari Allah Swt yang patut disyukuri. Pada dasarnya, Imam Ridha tidak hanya menaruh perhatian pada keselamatan jiwa manusia, tapi juga pada kesehatan raga mereka.
Ketinggian iman, ilmu, dan akhlak Imam Ridha as telah menimbulkan pengaruh besar di kalangan masyarakat Khorasan dan mereka menjadi sadar akan kebenaran Ahlul Bait Nabi as. Untuk menghancurkan popularitas Imam Ridha as di tengah masyarakat, Makmun bahkan mengundang pemuka berbagai agama untuk berdebat dengan beliau. Namun, ketinggian ilmu Imam Ridha malah membuat para pemuka agama itu mengakui kebenaran dan ketokohan Imam Ridha as. Akhirnya, Makmun mengambil keputusan untuk membunuh Imam Ridha as dengan cara meracuni beliau pada tahun 203 Hijriah.
Imam Ridha as berkata, "Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut: (1) Kebaikannya selalu diharapkan orang, (2) Orang lain merasa aman dari kejahatannya, (3) Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit, (4) Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain, (5) Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya, (6) Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya, (7) Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan, (8) Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya, (9) Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran." Kemudian sahabat beliau bertanya, "Lalu, apakah yang kesepuluh?" Beliau menjawab, "Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya); Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa."
Imam Askari, Pribadi Suci Rujukan Umat
Imam Hasan al-Askari as, putra Imam Ali al-Hadi, dilahirkan pada 8 Rabiul Akhir tahun 232 Hijriah di kota Madinah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meneguk cawan syahadah. Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat Ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia. Julukan al-Askari yang beliau sandang merujuk pada suatu tempat yang bernama Askar, di dekat kota Samarra, Irak. Ibu Imam Askari bernama Haditsa, meski ada juga yang menyebut ibu beliau bernama Susan atau Salil. Setelah sang ayah wafat, Imam Hasan Askari as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Askari as baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh Dinasty Abbasiyah. Imam Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang menguatkan bahwa Imam Mahdi as – sang juru selamat – akan terlahir ke dunia sebagai putra Imam Askari as. Oleh karena itu, para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Imam Askari juga sering dijebloskan ke penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan syahid pada 8 Rabiul Awwal 260 Hijriah. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali al-Hadi as, di kota Samarra.
Ahlul Bait Nabi as adalah insan-insan mulia yang selalu menjadi teladan dan petunjuk bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Salah satu misi global Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya adalah menyampaikan dan mengawal ajaran agama dan pemikiran-pemikiran Islam. Rasul Saw dan para penerus misi beliau telah mengemban tugas tersebut sesuai dengan kondisi sulit di masa itu. Mereka semua memikul dua tugas utama yaitu, memberi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat, dan memperingatkan mereka akan pemikiran-pemikiran menyimpang.
Masa kepemimpinan Imam Askari as termasuk salah satu fase sulit, di mana pemikiran-pemikiran sesat mengancam masyarakat Islam dari segala penjuru. Di sisi lain, beliau juga berada dalam pengawasan ketat penguasa Abbasiyah. Saking ketatnya pengawasan terhadap keluarga Imam Askari, masyarakat sangat sulit untuk berinteraksi dengan beliau. Menyiasati kondisi tersebut, Imam Askari selama masa kepemimpinannya menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui sejumlah sahabat dekat beliau. Mereka mendapat bimbingan khusus dari Imam Askari dan kemudian diberi tugas untuk memberi pencerahan kepada masyarakat.
Sepanjang 6 tahun kepemimpinannya, Imam Askari selain memerangi kezaliman, juga bangkit menghalau pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang masyarakat Islam pada masa itu. Beliau mengambil sikap tegas dan jelas terhadap berbagai kelompok dan mazhab pemikiran seperti, sufisme, ghulat, politeisme, dan pemikiran-pemikiran sesat lainnya. Mengenai kaum Sufi, Imam Askari berkata, "Ketahuilah bahwa mereka adalah para perampas jalan orang-orang mukmin dan menyeru masyarakat kepada ateisme dan pengingkar agama. Siapa saja yang berpapasan dengan mereka, maka jauhilah mereka dan jagalah agama dan imanmu dari bahaya mereka." (Hadiqatul a-Syiah, hal.592)
Seseorang bernama Idris bin Ziyad mengisahkan, "Aku termasuk di antara orang yang ghulu (berlebihan mencintai sesuatu atau sikap menyimpang) terkait Ahlu Bait Nabi as. Suatu hari, aku pergi ke kota Samarra untuk bertemu Imam Hasan Askari. Ketika sampai di kota itu, aku tampak lelah dan istirahat di sebuah tempat. Di tempat itu, aku terlelap dan bangun beberapa saat kemudian setelah mendengar sebuah suara, suara Imam Askari. Aku berbegas bangkit dan memberi penghormatan kepada beliau."
Ucapan pertama yang keluar dari lisan Imam Askari dalam pertemuan singkat itu adalah ayat 26 dan 27 surat al-Anbiya, lalu Imam berkata, "Wahai Idris, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan di sisi-Nya. Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." Mendengar ucapan itu, aku berkata dalam hati, "Di sini, Imam ingin memberi pemahaman kepadaku agar aku tidak bersikap ghulu tentang Ahlu Bait, sebab mereka sama sekali tidak punya kuasa kecuali dengan kehendak Tuhan. Aku juga sepenuhnya memahami maksud Imam." Idris lalu berkata kepada Imam, "Wahai tuanku, ucapan tadi sudah cukup bagiku, sebab niat kedatanganku untuk menanyakan masalah tersebut."
Imam Askari menjalani separuh hidupnya di dalam penjara rezim Abbasiyah. Meski demikian, beliau tetap teguh berjuang melawan penindasan dan tirani. Walaupun mendapat berbagai hambatan, Imam Askari menghadiahkan mutiara abadi bagi umat Islam yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Kata-kata hikmah beliau dalam menjawab berbagai persoalan, memperjelas antara hak dan batil. Kesuksesan program dakwah Imam Askari dalam menyebarkan hakikat Islam terbukti melalui berbagai forum dan diskusi ilmiah serta pengajaran dan pendidikan kepada murid-muridnya.
Salah satu mahakarya Imam Askari adalah mendidik murid-murid terkemuka. Mereka adalah para pemikir dan rujukan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama dan sosial. Salah seorang murid terkemuka Imam Askari adalah Abu al-Hassan Ali bin Hussein Qummi. Beliau mendapat pengajaran langsung dari Imam di bidang fikih dan hadis serta cabang ilmu agama lainnya. Kebanyakan pengajaran Imam Askari kepada Hussein Qummi dilakukan melalui surat. Salah satu surat tersebut adalah penjelasan Imam Askari mengenai putranya, Imam Mahdi dan kabar kegaiban serta kebangkitan beliau sebagai penyelamat umat manusia.
Selain mendidik para murid dan menyemangati para penulis, Imam Askari sendiri juga menulis beberapa buku dan surat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelurusan akidah. Di antara karya Imam Askari adalah sebuah tafsir al-Quran, dua buah buku tentang fikih dan risalah terkait halal-haram, serta sejumlah surat yang memuat berbagai cabang ilmu. Pada masa beliau, masyarakat Syiah terkonsentrasi di sejumlah kota dan daerah seperti, Kufah, Baghdad, Neishabur, Qom, Yaman, Rei, Azerbaijan, dan Samarra. Demi menyebarluaskan budaya Syiah dan ilmu pengetahuan, Imam Askari menulis sejumlah surat yang ditujukan kepada wakil-wakilnya di kota tersebut.
Salah satu contohnya adalah surat Imam Askari kepada Ishaq bin Ismail Neishaburi. Di surat ini, Imam menjawab pertanyaan Ishaq terkait sejumlah kewajiban seorang Muslim. Imam berkata, "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban kepada kalian dengan rahmat-Nya dan bukannya karena kebutuhan-Nya kepada kalian. Kewajiban ini ditetapkan karena kecintaan-Nya kepada kalian supaya keburukan terpisah dari kebaikan. Oleh karena itu, Allah menetapkan kewajiban haji, umrah, shalat, zakat, puasa serta patuh kepada pemimpin kalian. Untuk memahami kewajiban ini, Allah membuka pintu lebar-lebar dan memberikan kalian kuncinya. Jika tidak ada Rasul dan Ahlul Baitnya, kalian pasti tersesat dan tidak akan memahami satu pun dari kewajiban tersebut. Apakah ada jalan lain untuk memasuki kota selain gerbangnya? Oleh sebab itu, Allah telah berlaku baik kepada kalian dengan menetapkan para Imam sesudah Rasul."
Imam Askari senantiasa menekankan kepada para pengikutnya untuk bersikap jujur, membersihkan diri dan beramal saleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, Imam Askari menekankan kepada para pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.
Imam Askari juga menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah mutiara bagi kami dengan amalmu. Kami bahagia jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik kepada orang lain." Akhlak mulia yang terpancar dari Imam Askari menyebabkan besarnya pengaruh beliau di tengah masyarakat. Daya tarik spiritual Imam bahkan mempengaruhi musuh-musuhnya.
Berikut ini adalah mutiara hadis dari Imam Askari as, "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya." "Bukan termasuk kebajikan menampakkan kegembiraan di hadapan seorang yang sedih." "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta."
Tugas Para Penanti Sang Juru Selamat
Meski Imam Hasan Askari as, cucu Rasulullah Saw, gugur syahid di tahun 260 hijriah, yang membuat umat Muslim tenggelam dalam kesedihan, akan tetapi berita gembira kepemimpinan Imam Mahdi as, putra beliau dan sekaligus hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi, menerangi dan memberikan harapan besar pada hati umat. Oleh karena itu, pada hari ini; hari dimulainya kepemimpinan Imam Mahdi as sang juru selamat dan penegak keadilan sejati di dunia, diperingati sebagai hari raya.
Rasulullah Saw bersabda: "Bintang-bintang adalah tempat tinggal untuk mereka yang berada di langit, jika bintang-bintang itu musnah maka mereka yang di sana juga akan musnah. Jika Ahlul Bait tiada, maka manusia di muka bumi juga akan Sirna."
Imam Mahdi as merupakan hujjah terakhir di antara para imam maksum as dari keturunan Rasulullah Saw yang akan memenuhi bumi dengan keadilan—setelah dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Dia adalah hujjah tersembunyi Allah Swt untuk umat manusia . Dimulainya kepemimpinan matahari kemuliaan dan keadilan ini sejatinya adalah berkah bagi umat manusia.
Selama berabad-abad Imam Mahdi as berada di balik tabir ghaibah dan harapan kemunculan beliau menjadi penenang hati umat manusia yang selalu galau. Ghaibah bukan sebuah fenomena tunggal dan pertama terjadi terhadap Imam Mahdi as, karena banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sejumlah nabi juga pernah mengalami ghaibah. Ini terjadi demi maslahat dan hikmah yang diketahui Allah Swt.
Imam Ja'far as-Shadiq as berkata, "Sesungguhnya untuk Imam Mahdi (as) kami akan terjadi ghaibah yang sangat lama." Perawi menanyakan sebab ghaibah Imam Mahdi as itu dan beliau menjawab, "Allah ingin memberlakukan sunnah para nabi dalam ghaibah mereka terhadap Imam Mahdi as."
Menanti kemunculan Imam Mahdi as itu berarti berharap dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Anggap saja seperti seseorang yang menanti anaknya yang sedang sakit, dia sedang menanti kesembuhan anaknya. Yakni dia ingin mengakhiri kondisi yang sedang terjadi dan menyambut kondisi lebih baik. Oleh karena penantian itu tersusun atas dua unsur; berakhirnya kesulitan yang terjadi dan munculnya kondisi ideal dan sesuai. Dengan kata lain, penantian yakni menerawang jauh menuju masa depan dan berupaya untuk kondisi ideal tersebut.
Penantian itu sendiri terbagi menjadi dua, pertama penantian yang dangkal dan tidak komitmen dan kedua penantian yang sejati dan berkomitmen. Penantian yang dangkal itu adalah bentuk penantian secara lahiriyah, temporal dan pengungkapan penantian itu hanya sekedar pada doa serta peringatan-peringatan keagamaan saja. Akan tetapi penantian yang sejati dan berkomitmen adalah sebuah gerakan berkomitmen yang dibarengi dengan upaya konstan dan konstruktif baik secara individu maupun sosial. Imam Ja'far as-Shadiq as dalam hal ini berkata, "Para penanti kemunculan Imam Mahdi as bergerak menuju kemunculan dan mengamalkan tujuan-tujuan kemunculan tersebut dan penantian seperti ini sendiri dinilai sebagai kedatangan dan keterbukaan."
Imam Ali al-Ridho as berkata, "Betapa indah kesabaran dan harapan menanti kedatangan (Imam Mahdi as)." Penantian adalah termasuk di antara tugas para sahabat Imam Mahdi as, yang merupakan amalan batin yang memiliki banyak pengaruh dan berkah lahiriyah. Penantian kemunculan dan kedatangan Imam Mahdi as berarti penantian penegakan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan sejati di dunia. Penantian seperti ini merupakan di antara ibadah terbaik. Penantian sang juru selamat dunia, bukan sekedar slogan saja, karena seorang penanti memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan dengan serius dan mempersiapkan perwujudan janji-janji Allah Swt. Imam Ja'far as-Shadiq as berkata, "Pemerintahan keluarga Muhammad pada akhirnya akan terbentuk, maka siapa saja yang menjadi sahabat Imam Mahdi as, harus selalu berhati-hati dan bertakwa, menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik dan kemudian menanti kemunculannya Imam Mahdi as."
Mengenal Imam Mahdi as adalah tugas pertama seorang mukmin yang menanti kemunculan beliau. Pengenalan tersebut tentunya berdasarkan prinsip-prinsip ketauhidan dan kenabian. Tugas terpenting seorang penanti adalah berusaha mencapai makrifat wujud suci Imam Mahdi as, karena manusia yang tidak mengenal imam dan kedudukannya tidak akan dapat menentukan tugasnya. Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mati tanpa mengenal imam zamannya, maka dia mati dalam kondisi jahiliyah."
Dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengenal secara proporsional imam zamannya dan menyerahkan diri pada perintah imamnya, maka keutamaan yang didapatkannya dari imamnya adalah kestabilan di jalan dan makrifat Allah Swt, yang merupakan sumber dari semua keutamaan. Makrifat imam zaman merupakan sumber dan hulu seluruh kebaikan yang menjamin kebahagiaan sempurna.
Kemunculan sang juru selamat dunia itu menuntut unsur-unsur kemanusiaan yang siap dan bernilai, yang mampu memikul beban berat tugas islah di seluruh penjuru dunia. Kesiapan tersebut pada tahap awalnya memerlukan wawasan dan pengetahuan tingkat tinggi serta persiapan ruh dan jasmani dalam menjalankan tugas-tugas besar.
Termasuk di antara tugas penanti adalah membenahi, mendidik dan mempersiapkan diri untuk kemunculan Imam Mahdi as. Dalam al-Quran disebutkan, "Telah kami tulis dalam Zabur setelah Taurat, hamba-hamba saleh akan menjadi pewaris dunia." Oleh karena itu, para sahabat dan penanti sejati Imam Mahdi as, adalah para hamba saleh dan bertakwa yang memiliki iman kokoh. Berbagai riwayat dalam Islam juga menyebutkan mereka adalah orang-orang yang benar-benar mengenal Allah Swt, bertakwa, mencapai makrifat atas kepemimpinan para imam dan meyakini imamah hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi. Para penanti seperti ini juga akan menghiasi diri mereka dengan akhlak mulia dan adab serta berpegang teguh pada agama dan meningkatkan keimanan dan keyakinannya, juga berserah diri di hadapan agama dan perintah Ahlul Bait as.
Salah satu dimensi lain dari penantian adalah persiapan untuk kebangkitan universal Imam Mahdi as. Manusia penanti selalu berharap pada masa depan dan terus bergerak maju serta tidak mungkin dapat stagnan pada satu titik. Oleh karena itu, penanti sejati bak seorang pejuang di medan perang yang selalu siap menanti perintah untuk melancarkan serangan. Pada saat yang sama, penanti hakiki berkewajiban untuk menjaga orang lain. Artinya, selain membersihkan diri sendiri, dia juga harus berusaha untuk mengislah orang lain, karena penantian ini bukan masalah individu melainkan sebuah program yang meliputi semua unsur revolusi dan dilakukan bersama-sama.
Pengaruh penting lain dari penantian Imam Mahdi as ini adalah tidak tercampur dalam kefasadan lingkungan dan tidak menyerah di hadapan pencemaran batin. Pemahaman penantian yang jelas dan benar menuntut manusia untuk berusaha secara berkesinambungan mempersiapkan diri dan masyarakat menyambut kemunculan Imam Mahdi as. Masa kemunculan sang juru selamat tidak diketahui oleh karena itu dituntut kesiapan setiap saat.
Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, menjelaskan penantian Imam Mahdi as dan kondisi para penantinya mengatakan, "Para penanti Imam Mahdi as, mengharapkan terangnya kehidupan umat manusia serta diakhirinya era kezaliman dan pelanggaran. Kejahatan zalim dan penindasan para penguasa imperialis dunia tidak akan mampu memadamkan harapan di hati mereka. Para penanti Imam Mahdi as tidak pernah ragu bahwa era kezaliman, perusakan dan pelanggaran akan berakhir dan kekuatan kebenaran akan meruntuhkan semua pilar kefasadan dan pelanggaran. Kami percaya bahwa dengan kemunculan Imam Mahdi as, pemikiran serta akal manusia akan lebih inovatif dari semua era sebelumnya serta perdamaian dan keamanan akan ditegakkan secara universal. Kita semua harus berusaha demi mewujudkan era tersebut sehingga semakin hari dunia akan semakin mendekati era ideal tersebut."
Muhammad Saw, Pionir Kebangkitan dan Perubahan
Bulan maulid adalah bulan keberkahan dan kebahagiaan untuk memperingati kelahiran manusia agung yang pernah hidup di jagad ini. Dia adalah Muhammad Saw, pribadi mulia yang menerangi semesta dan menyelamatkan umat manusia dari kesesatan. Para penulis sejarah Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 Masehi, yang merupakan tahun gagalnya tentara Abrahah menyerang Kabah. Nabi Muhammad Saw lahir di kota Makkah, di bagian selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan.
Hampir semua ahli hadis dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiul Awal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di kalangan Syiah meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiul Awal, sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal. Kelahiran bayi mulia ini disambut gembira oleh keluarga Bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak pernah padam. Kelahiran Muhammad juga mambuat dinding istana Raja Kisra retak dan empat belas menaranya runtuh. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah Swt untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut sebagai zaman Jahiliyah. Kata Jahiliyah diambil dari kata Jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, masa Jahiliyah berarti zaman kebodohan atau kegelapan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan tersebut, karena selain tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di Jazirah Arab ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh. Mereka menjadikan berhala-berhala karyanya sebagai tuhan untuk disembah, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan bertawaf mengelilingi Kabah dalam keadaan telanjang. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan keistimewaan yang luar biasa. Kepedihan sebagai anak yatim telah menempa pribadi Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia agung dan pionir perubahan di dunia ini. Selama empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Saadiyah. Setelah berumur empat tahun, Halimah dengan berat hati melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Muhammad Saw diutus untuk mengajarkan manusia akan cinta dan kasih sayang, kemanusiaan, dan kebebasan. Beliau diberi tugas untuk mengajarkan hikmah, penyucian diri, dan menjadi teladan bagi umat manusia. Meski Rasulullah Saw mengemban risalah besar dari Allah Swt, namun beliau berperilaku sederhana layaknya masyarakat biasa. Nabi Muhammad Saw adalah hamba yang saleh dan menjelaskan kebenaran dengan argumentasi dan logika. Beliau dengan kekuatan iman dan kelembutan telah menghancurkan pondasi kebatilan dan memadamkan api bujukan setan yang menyesatkan manusia. Di samping itu, beliau juga telah menebarkan suara kebenaran kepada umat manusia.
Sejak kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh masyarakat sebagai sosok yang memiliki kepribadian agung, jujur, penyantun, gemar menolong, dan berjiwa besar. Ketinggian akhlaknya membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quraisy di Makkah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu, Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan duniawi. Putra Abdullah ini gemar menyendiri di lereng-lereng gunung atau di Gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah.
Di Gua Hira, Muhammad menemukan ketenangan batin yang tidak ia dapatkan di Makkah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun, saat berada di Gua Hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun dari Allah Swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Imam Ali as berkata, "Lalu Allah mengutus Muhammad sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dia adalah yang terbaik di alam semesta sebagai anak dan yang tersuci sebagai orang dewasa, yang paling suci dari yang disucikan dalam perangainya, yang paling dermawan di antara mereka yang didekati karena kedermawanan." Di bagian lain, Imam Ali as mengatakan, "Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, manusia pilihan yang dipilih-Nya. Dia menerangi berbagai negeri setelah sebelumnya berada dalam kesesatan yang gelap dan kejahilan yang merajalela." "Muhammad adalah pengemban amanah wahyu-Nya, penutup para rasul-Nya, penyampai berita gembira akan rahmat-Nya, dan pemberi peringatan akan siksa-Nya."
Misi utama agama Islam adalah pendidikan dan perbaikan individu-individu masyarakat sehingga mereka menjadi bersih dari kotoran dan noda. Tanpa pendidikan dan perbaikan, manusia bukan saja tidak akan membentuk sebuah masyarakat ideal, tetapi juga akan menjadi perusak masyarakat itu sendiri. Sementara Rasulullah Saw adalah figur sukses yang mampu membangun bangsa dari serba keterpurukan menjadi bangsa yang mulia dan berjaya. Berbagai kisah sukses kehidupan Nabi Muhammad Saw perlu direalisasikan dalam konteks kehidupan umat Islam saat ini.
Rasul Saw telah menyampaikan sebuah ajaran yang dilandasi oleh persamaan dan persaudaraan. Beliau berhasil mengubah Makkah dan Madinah menjadi zona dengan sistem pemerintahan yang sempurna dan membentuk masyarakat Madani atau masyarakat yang purna, damai, dan sejahtera. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad Saw mampu memperbaiki nasib bangsa Arab dan umat manusia, lalu menyatukan mereka di bawah panji Islam. Umat manusia dari bermacam etnis, suku bangsa, ras, dan, golongan bersatu padu dan membentuk front persatuan berkat kerja keras Rasulullah.
Selain meletakkan dasar-dasar interaksi antar sesama manusia, Nabi Muhammad Saw juga membangun hubungan manusia dengan Allah Swt melalui ajaran luhur yang dibawanya. Salah satu masalah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah adalah urusan shalat. Beliau menyebut shalat sebagai pilar agama dan menekankan umatnya untuk selalu menunaikan kewajiban agama itu. Shalat dapat menentramkan jiwa dan menjadi sarana penghubung intensif antara hamba dan Allah Swt. Selain itu, shalat juga disebut sebagai tanda terima kasih atas karunia tak terbatas Sang Pencipta. Dalam surat al-Kautsar disebutkan, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah."
Kedatangan manusia agung ini juga untuk menghapus semua atribut yang telah menciptakan jarak dalam hubungan sosial masyarakat. Rasul Saw mengumumkan kepada semua bahwa warna kulit dan suku bukan lagi simbol keunggulan. Parameter baru kemuliaan manusia adalah ketakwaan mereka dan kedekatannya dengan Allah Swt. Manusia diciptakan untuk menghambakan diri kepada Allah Swt dan ketakwaan merupakan manifestasi paling indah dari penghambaan ini. Allah Swt berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS: 49:13).
Seorang penulis Kristen dari Romania, Constantin Virgil Gheorghiu dalam bukunya ‘Mohammad Peyghambari Ke az no Bayad Shenakht' menulis, "Sejujurnya, Muhammad adalah pribadi yang paling suci, paling baik, dan mutiara alam semesta. Ia lahir ke dunia dari garis keturunan yang paling suci, dari permata yang paling berkilau, dan dengan sejarah yang paling bersih. Ia tumbuh di jantung padang pasir, di bawah langit yang cerah, dan di pangkuan yang suci. Muhammad – di bawah ajaran tauhid para leluhurnya seperti Ibrahim – berlepas diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala dan dengan hati yang arif, ia beriman kepada Tuhan Yang Esa."
Sifat dan perilaku mulia yang dimiliki oleh Rasulullah Saw membuat nama beliau masih dikenang hingga sekarang. Setiap harinya orang yang mengimaninya dan risalahnya semakin bertambah. Setiap hari jutaan umat Islam di pelbagai penjuru dunia dalam shalatnya mengucapkan penyaksian akan risalah beliau dan mengucapkan janji setia akan cita-cita beliau. Dan setiap tahun, umat Muslim dunia selalu memperingati Maulid Nabi untuk lebih mengenal sosok Muhammad dan mengimplementasikan ajaran-ajaran beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Shadiq as; Mujahid Tak Kenal Lelah di Bidang Keilmuan
Imam Shadiq as hidup bersama kakeknya, Imam Sajjad as hingga berusia 12 tahun dan menerima ilmu dari beliau. Setelah kakeknya wafat, Imam Shadiq as hidup di sisi ayahnya Imam Muhammad Baqir as. Oleh karena itu, terlepas dari ilmu-ilmu ilahi yang didapatkannya dari Allah sebagaimana yang diberikan kepada setiap imam maksum, Imam Shadiq telah mencapai kesempurnaan ilmu dan makrifat dari ayah dan kakeknya karena potensi dan kecerdasan yang dimilikinya. Pasca wafatnya sang ayah, Imam Shadiq as mengemban tugas sebagai pemimpin kaum Muslimin selama 34 tahun dan selama itu pula beliau berhasil mendirikan "Mazhab Jakfari", sehingga menjadikan ajaran kakeknya, Rasulullah Saw kembali lurus dan terjaga.
Kehidupan penuh berkah Imam shadiq as bertepatan dengan masa kekhilafahan lima orang penguasa Bani Umayah. Masing-masing dari lima orang khilafah ini senantiasa menyakiti fisik dan jiwa Imam Shadiq as. Beliau juga hidup semasa dengan dua orang penguasa Bani Abbas, Saffah dan Mansur. Kezaliman kedua penguasa Bani Abbas ini tidak lebih ringan dari Bani Umayah. Sehingga pada satu dekade terakhir usianya, Imam Shadiq as benar-benar hidup dalam ketidakamanan dan kesulitan.
Masa Imam Shadiq as adalah masa kebangkitan umat Islam melawan pemerintahan Bani Umayah. Sehingga tekanan politik di akhir pemerintahan Bani Umayah sedikit melonggar dan kota Madinah dapat merasakan kebebasan yang lebih dari sebelumnya. Imam Shadiq as menggunakan kesempatan ini dan mendirikan sebuah pusat keilmuan yang besar. Universitas ini banyak melahirkan pribadi-pribadi yang terdidik dan menguasai pelbagai macam ilmu keislaman. Mereka ada yang ahli hadis, faqih besar, teolog dan masing-masing dari mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan keahliannya.
Selama 34 tahun masa keimamahannya, Imam Shadiq as mengajar dan mendidik murid-muridnya dengan pelbagai macam keilmuan dan yang paling penting adalah menghidupkan Sunnah Rasulullah Saw di tengah-tengah umat Islam. Imam Shadiq as bahkan pernah meninggalkan Madinah selama dua tahun karena tekanan para penguasa Bani Abbasiahdan hidup di Hirah, sebuah kota di dekat Kufah. Di sana juga Imam Shadiq mendirikan pusat pendidikan besar dan mendidik murid-muridnya.
Masa peralihan kekuasaan Bani Umayah ke Bani Abbasiah merupakan masa yang paling kacau dalam kehidupan Imam Shadiq as. Pada saat yang sama, di masa Imam Shadiq as muncul beragam pendapat dan ajaran serta ideologi. Terjadi pertentangan beragam pemikiran filosofi dan teologi yang muncul karena interaksi kaum Muslimin dengan penduduk negara-negara yang telah ditaklukkan dan juga hubungan antara pusat-pusat Islam dan dunia luar. Di dalam dunia Islam sendiri muncul semangat dan kegigihan untuk memahami dan meneliti.
Di masa seperti ini, sedikit keteledoran dan kelalaian akan menyebabkan kemusnahan dan kehancuran agama dan ajaran Islam. Dalam krisis semacam ini Imam Shadiq as berpikir untuk menyelamatkan pemikiran dan keyakinan sekelompok umat Islam dari atheisme, kemusyrikan dan kekufuran sekaligus mencegah agar jangan sampai masyarakat menyimpang dari prinsip-prinsip dan pengetahuan Islam yang sejati. Beliau harus melakukan pekerjaan ini sementara Bani Abbasiah sedang berada di tampuk kekuasaan dan kondisi saat itu benar-benar menekan dan tidak menyenangkan, sementara para sahabat beliau terancam bahaya kematian.
Sebagai contoh, Jabir Ju'fi salah satu sahabat khusus Imam Shadiq as sedang berada dalam perjalanan menuju Kufah untuk melaksanakan perintah Imam. Di tengah perjalanan utusan Imam yang lain menemuinya dan berkata, "Imam mengatakan, "Berpura-puralah sebagai orang gila!" Karena anjuran inilah Jabir selamat dari kematian. Penguasa Kufah secara rahasia di perintahkan oleh khalifah untuk membunuh Jabir, namun ia mengurungkan niatnya karena beranggapan bahwa Jabir gila.
Dalam kondisi sesulit ini Imam Shadiq as berhasil mewujudkan tempat pembelajaran keilmuan yang besar yang hasilnya adalah beliau memiliki 4 ribu murid dalam pelbagai macam bidang keilmuan. Mereka menyebar di seluruh wilayah negara-negara Islam. Menghidupkan kembali ajaran Islam menjadikan Imam Jakfar Shadiq as dikenal sebagai pemimpin mazhab Jakfari atau Syiah. Imam Shadiq as sebagai pejuang tak kenal lelah berjuang di kancah pemikiran dan amal dan mendirikan sebuah kebangkitan keilmuan. Kebangkitan semacam ini perlu dalam upaya mengeluarkan hakikat agama dari tengah-tengah khurafat dan hadis-hadis palsu sekaligus bertahan menghadapi serangan pemikiran menyimpang dengan kekuatan logika dan argumentasi.
Di masa Imam Shadiq as, teologi dan hikmah Islam mampu tumbuh menghadapi filsafat Yunani. Imam Shadiq as mampu mendidik para filosof dan hakim dengan ilmu-ilmu keislaman. Di sisi lain, masalah fiqih dan teologi yang pada waktu itu dibahas secara terpisah-pisah, Imam Shadiq as berhasil membahasnya secara sistematik. Fiqih Jakfari yang dibangun beliau adalah perintah-perintah agama dari Allah Swt yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Fiqih yang kaya ini menjelaskan hukum-hukum Islam yang ada sejak masa Nabi Saw. Abu Hanifah, Imam Mazhab Hanafi tentang Imam Shadiq as berkata, "Saya tidak pernah melihat dan mengetahui ada orang yang lebih faqih dan alim dari Jakfar Shadiq as."
Imam Shadiq as sering melakukan dialog dan diskusi tentang agama dan akidah dengan para sahabatnya yang juga menjadi muridnya. Pada prinsipnya, satu dari metode tablig para Imam Maksum as adalah melakukan dialog dengan para pemimpin atau tokoh mazhab, agama, ateis dan mereka yang suka bertanya. Metode ini juga dipakai oleh Imam Shadiq as dalam menyebarkan agama Islam. Beliau banyak melakukan dialog dengan para ahli fiqih, perbintangan, teolog dan lain-lain. Untungnya kebanyakan dialog yang dilakukan beliau dicatat dalam sumber-sumber sejarah dan hadis.
Imam Shadiq as memiliki akhlak mulia seperti para Imam Maksum as sebelumnya. Hatinya penuh dengan cahaya ilahi dan terkenal dengan kemurahan hatinya membantu dan menolong orang-orang miskin. Dengan penuh kerendahan hati beliau sendiri melakukan segala pekerjaannya. Beliau membawa cangkul dan dengan diterpa matahari yang panas, beliau melakukan pekerjaannya bercocok tanam. Imam Shadiq as berkata, "Bila aku menemui Allah dalam kondisi sedang bekerja seperti ini, maka aku akan menjadi orang yang berbahagia. Karena aku menjamin bekal dan kehidupanku dan keluarga dengan keringat yang ada di dahiku ini."
Sekaitan dengan sifat pemaaf Imam Shadiq as diriwayatkan bahwa ada seseorang yang mendatangi beliau dan berkata, "Saya telah bertemu dengan seseorang yang berbicara tentang keburukanmu." Mendengar itu Imam Shadiq as bangkit lalu mengambil air wudhu dan berdiri sambil melaksanakan shalat. Perawi kemudian mengatakan, "Aku berkata dalam hati bahwa Imam Shadiq as pasti mengutuk orang itu." Tapi ternyata setelah Imam Shadiq as selesai melaksanakan shalatnya, beliau berdoa, "Ya Allah! Saya memaafkan dia sebatas hak saya. Engkau lebih pemurah dari diriku. Oleh karenanya maafkan dia dan jangan menyiksanya!"
Imam Shadiq as berkata, "Setan berkata bahwa ada lima kelompok manusia yang tidak bisa aku kuasai. Lima kelompok manusia itu adalah; Seseorang yang berlindung kepada Allah Swt dengan ikhlas dan percaya kepada Allah dalam semua pekerjaannya. Seseorang yang banyak mengucapkan tasbih kepada Allah di siang dan malam hari. Seseorang yang menerima apa saja yang diterima oleh saudara mukminnya. Seseorang yang tetap sabar ketika terkena musibah. Dan seseorang yang rela dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt dan tidak pernah sedih dengan rezeki yang dimilikinya."
Nasihat Imam Ridha as Kepada Pengikut Ahli Bait
Imam Ridha as dalam sebuah nasihat bijak kepada para pengikut Ahli Bait meminta mereka agar meninggalkan debat sia-sia yang tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.
Abdul Azhim Hasani termasuk perawi terpercaya dan pecinta Ahli Bait as. Sekaitan dengan dirinya, Imam Hadi as pernah berkata, "Sesungguhnya engkau adalah pecinta kami."
Suatu hari Imam Ridha as melihat Abdul Azhim Hasani dan mengajarkannya beberapa nasihat bijak agar menyampaikannya kepada para pengikut Ahli Bait. Isi nasihat Imam Ridha as itu sebagai berikut:
"Wahai Abdul Azhim! Sampaikan salamku kepada para pecinta Ahli Bait dan katakan kepada mereka:
1. Jangan beri jalan kepada setan ke dalam hati.
2. Hendaknya jujur dalam berucap dan menjadi orang yang amanah.
3. Tinggalkan debat yang sia-sia dan tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.
4. Memperhatikan dan bersilaturahmi dengan mereka. Karena perbuatan ini membuat mereka lebih dekat kepada saya.
5. Jangan sampai mereka saling bermusuhan dan berkata buruk. Karena saya berjanji barangsiapa yang melakukan pekerjaan ini dan mengganggu seorang pecintaku atau membuatnya marah, saya memohon kepada Allah Swt agar menyiksanya dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
6. Katakan kepada mereka, "Demikianlah Allah mengampuni mereka yang berbuat baik dan memaafkan kesalahan mereka, kecuali di antara mereka ada yang berbuat syirik atau mengganggu para pecintaku atau dengki terhadap mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memaafkannya, sehingga mengubah perbuatan buruknya dengan kebaikan. Kapan saja ia meninggalkan perbuatan buruk ini, ampunan Allah akan meliputinya. Bila tidak, maka ruh iman akan keluar dari hatinya, terpisah dari wilayah kami dan tidak ada manfaatnya wilayah kami baginya. Wa'udzubika Min Dzalik. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
(Al-Ikhtishas dan Bihar al-Anwar)
Sumber: Qudsonline
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Mengganggu Muslimin
Mengganggu Muslimin
1. Imam Shadiq as berkata, "Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang mengganggu hamba-Ku yang mukmin berarti ia telah mengumumkan perang dengan-Ku."(1)
2. Imam Shadiq as menukil dari Rasulullah Saw berkata, "Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang menghina seorang dari teman-teman-Ku, maka sesungguhnya ia telah mempersiapkan dirinya untuk berperang dengan-Ku."(2)
3. Imam Shadiq as berkata, "Rasulullah Saw bersabda, ‘Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang merendahkan hamba-Ku yang mukmin, berarti ia secara terang-terangan telah bangkit untuk berperang dengan-Ku."(3)
4. Imam Shadiq as berkata, "Siapa saja yang merendahkan seorang mukmin dikarenakan tidak memiliki apa-apa dan kemiskinannya, Allah Swt akan mengungkap rahasianya di hadapan semua orang di Hari Kiamat."(4) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Catatan:
1. Bab Man Adza al-Muslimin wa Ihtaraqahum, hadis 1.
2. Ibid, hadis 3.
3. Ibid, hadis 6.
4. Ibid, hadis 9.
Baca juga:
Nahjul Balaghah: Umur Manusia (Bagian Pertama)
Modal Bernama Umur
Syarat pertama untuk memanfaatkan umur adalah manusia harus menyadarinya sebagai modal dasar.
Dengan modal yang dimilikinya, manusia dapat melakukan apa saja, bahkan menambah modalnya, sehingga mendapat untung yang lebih banyak. Tapi terkadang ada saja orang yang mengalami kerugian. Mendapat keuntungan atau mengalami kerugian bergantung pada sejumlah faktor. Cara menggunakan modal dengan baik dan benar serta memiliki pengalaman serta keseriusan merupakan faktor-faktor tersebut. Dengan sedikit kelalaian saja maka seseorang akan merugi dalam memanfaatkan modalnya.
Siapa saja akan dapat meraih kebahagiaan ketika mampu memanfaatkan dengan baik umur dan kesempatan yang dimiliki. Dengan sarana ini manusia memperluas kebahagiaan itu dan membaginya dengan orang lain.
Imam Ali as setiap kali naik ke atas mimbar, sebelum memulai khutbahnya, beliau senantiasa memperingatkan mereka yang hadir dengan ucapannya:
"Wahai Manusia! Bertakwalah kepada Allah. Karena manusia tidak diciptakan sia-sia, sehingga boleh menyia-nyiakan dirinya dan tidak pula ia dibiarkan tanpa diurusi, sehingga ia boleh berbuat sia-sia." (Nahjul Balaghah, Hikmah 370)
Setiap berlalunya siang dan malam, modal ini akan diambil dari manusia. Artinya, setiap saat manusia manusia tengah menyerahkan sebagian dari usianya. Dalam kondisi seperti ini, manusia harus melihat apa yang diraihnya.
Imam Ali as berkata:
"Seseorang tidak akan melewati sehari dari umurnya, kecuali dengan memusnahkan hari lain dari umurnya." (Nahjul Balaghah, Khutbah 145)
Setiap kali manusia bernapas, berarti ia telah maju selangkah mendekati garis terakhir dari umurnya dan perlahan-lahan modal ini akan mencapai titik nol.
Bila umur merupakan modal, maka manusia harus menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Karena umur manusia menunggangi tubuh dan harus digunakan sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan yang diinginkan. Kesempatan dan fasilitas harus menjadi tangga untuk meraih kesempurnaan ruh. Bila manusia tidak mampu meraihnya, itu berarti ia menjadi pecundang.
Imam Ali as berkata:
"Ambil tubuh kalian dan gunakan untuk ruh kalian dan jangan kikir menggunakan tubuh untuk tujuan ruh." (Nahjul Balaghah, Khutbah 183)
Benar, setiap orang pasti memikirkan dirinya, tapi ada yang hanya memikirkan tubuhnya dan yang lain memikirkan ruhnya. Sebagian melihat tubuh sebagai yang prinsip dan yang lain melihat ruh. Pertanyaannya, mana dari keduanya yang paling penting?
Banyak orang yang di akhir umurnya menyesali mengapa selama hidup tidak menggunakan umurnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini seperti seseorang yang menggunakan modalnya di jalan yang tidak menguntungkan, bahkan membuatnya merugi.
Imam Ali as dalam sebuah ucapannya yang penuh hikmah menggambarkan kondisi orang-orang tengah berada pada tahapan akan meninggalkan dunia yang tiba-tiba sadar dari tidurnya selama ini. Tapi mengapa sekarang? Ketika semua kekuatannya telah hilang dan amanat yang ada di tangannya harus dikembalikan dan kematian mendatanginya. Pada waktu, ia bahkan kehilangan kekuatan untuk berbicara. Ia berada di tengah-tengah keluarganya. Sekalipun mereka tengah melihatnya, tapi tidak ada yang dapat mereka lakukannya untuknya. Saat itulah ia berpikir, "Apa yang aku lakukan dengan umurku dan bagaimana aku melalui hari-hariku!" (Nahjul Balaghah, Khutbah 109)
Dalam Mukaddimah Golestan Sa'di disebutkan:
Wahai orang miskin yang pergi ke pasar
Saya takut engkau kembali dengan tangan kosong (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Javad Moheddesi, Darsha-i az Nahjul Balaghah, Daftar-e Avval, cet 1, 1391 Hs, Mashad, Bonyad Pezhouhesha-ye Eslami.