کمالوندی

کمالوندی

Minggu, 05 April 2020 21:09

Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona (1)

 

Wabah virus Corona (COVID-19) yang terdeteksi pertama kali di kota Wuhan, Cina pada November 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Rutinitas kehidupan di negara-negara terganggu dan menciptakan masalah serius di bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Penyebaran virus Corona dipandang sebagai krisis terburuk setelah pandemi wabah Flu Spanyol pada 1918 dan akan membawa efek besar pada tren global, sehingga periode setelah berakhirnya wabah ini dapat disebut sebagai era pasca Corona.

Manusia belum pernah menyaksikan penyakit dengan tingkat penyebaran secara cepat di tingkat global. Dunia sekarang menghadapi pengalaman yang belum pernah ada dalam 100 atau 200 tahun terakhir dan ini telah mempengaruhi semua sektor.

Dengan mewabahnya COVID-19 di era globalisasi, revolusi komunikasi dan informasi, serta interkoneksi negara dan blok-blok regional satu sama lain, dunia sekarang menyaksikan sebuah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini dapat disebut sebagai periode Corona.

Saat ini hal yang menjadi perhatian para pemikir dan pakar internasional adalah tren dunia setelah berakhirnya Corona, yang mulai menampakkan dirinya di berbagai ranah politik, sosial, ekonomi, dan kancah internasional. Dalam pandangan mereka, dunia pasca-Corona akan sangat berbeda dari sebelumnya.

Menurut Sekjen Hizbullah Lebanon Sayid Hassan Nasrallah, efek dari wabah virus Corona lebih besar ketimbang dampak dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Lebih jauh lagi, dengan krisis ini, tatanan dunia baru dapat muncul, karena apa yang terjadi telah menerpa seluruh dunia, dan sekarang kita menghadapi perdebatan budaya, agama, ideologis, dan filosofis. Kita tidak tahu apakah Amerika Serikat akan tetap bersatu? Atau apakah Uni Eropa akan tetap ada?

Pandemi Corona telah mengganggu kehidupan normal dan roda perekonomian negara-negara serta ekonomi global. Wabah ini juga telah menyingkap tingkat kesiapan dan kesigapan pemerintah dalam menghadapi krisis. Pandemi ini tampaknya akan mengarah pada perubahan permanen terhadap tren saat ini di bidang kekuatan politik dan ekonomi.

Situasi politik dan sosial dunia pasca Corona akan memiliki banyak perbedaan dengan kondisi saat ini. Pada dasarnya, wabah COVID-19 telah mempengaruhi semua lini kehidupan sosial manusia.

Sebenarnya krisis saat ini menuntut kerja sama regional dan internasional, tapi negara-negara dunia memilih pendekatan internal dalam menyikapi wabah ini. Langkah ini secara perlahan memperlebar jurang pemisah antar-negara dan meningkatkan divergensi di tengah blok-blok regional seperti Uni Eropa.

Ilustrasi virus Corona COVID-19.
Dosen hubungan internasional di Universitas Harvard, Amerika, Stephen Walt menuturkan pandemi Corona akan memperkuat peran pemerintah dan nasionalisme. Pemerintah – dengan semua bentuknya – mengambil tindakan darurat untuk mengelola krisis dan kemungkinan akan terus melakukannya demi kepentingan mereka sendiri setelah berakhirnya krisis ini.

Sebuah realitas pahit di Eropa – setelah berakhirnya wabah Corona – mulai terlihat bagi banyak warga Eropa, di mana negara-negara Eropa bergerak sendiri-sendiri dan tidak mengambil tindakan kolektif dalam melawan wabah COVID-19 ini.

Dengan demikian, motto Uni Eropa yaitu Bersatu dalam Keragaman dan tuntutan kolektif yaitu kerja sama untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan, akan menjadi perhatian selama berpotensi merusak keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota.

Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan bahwa proyek-proyek utama Uni Eropa, termasuk zona tanpa-perbatasan (Schengen), bisa berada dalam bahaya jika negara-negara gagal menunjukkan solidaritas.

"Yang dipertaruhkan adalah kelangsungan hidup proyek Eropa. Risiko yang kita hadapi adalah kematian Schengen," tegas Macron selama pertemuan via video conference dengan para pemimpin Eropa.

Pandemi virus Corona juga menyingkap kelemahan kinerja pemerintah di banyak negara dalam mengelola krisis, terutama pemerintahan Trump di Amerika.

Di awal penyebaran COVID-19 di AS, Presiden Donald Trump meremehkan wabah virus ini dan tidak mengambil tindakan yang cukup untuk mencegah penyebarannya. AS sekarang mencatat kasus tertinggi infeksi virus Corona di dunia. Hal ini telah mengurangi kepercayaan publik kepada pemerintah khususnya di AS dan Eropa. Ini juga akan berpengaruh pada legitimasi pemerintah di masa depan.

Di saat yang sama, dapat diprediksi bahwa periode setelah wabah Corona, masalah privasi semakin tidak diperhatikan karena pengawasan pemerintah terhadap dunia maya akan meningkat.

Kelompok hak digital nirlaba, Electronic Frontier Foundation (EFF) dalam sebuah pernyataan mengatakan, "Pemerintah menginginkan pengawasan yang luar biasa untuk mengatasi COVID-19. Wewenang ini berpotensi melanggar privasi kita, mengurangi kebebasan berekspresi, dan sangat memengaruhi kelompok-kelompok yang rentan."

Pandemi Corona akan mempercepat kemungkinan runtuhnya demokrasi Barat di Eropa, yang sudah memikul banyak beban. Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa menyaksikan krisis pengungsi, pertumbuhan kubu sayap kanan, penuaan penduduk, dan krisis ekonomi. Persoalan ini telah menggoyahkan fondasi Eropa yang bersatu.

Kelemahan Uni Eropa dalam menangani secara efektif wabah virus Corona, berpotensi menciptakan kerusuhan sosial di benua itu dan memberikan sinyal dari kehancuran integrasi Eropa. Situasi ini akan membuat partai-partai anti-Uni Eropa berkuasa. Jadi, bukan lagi sebuah ilusi jika suatu hari nanti politisi sayap kanan seperti Marine Le Pen berkuasa di Prancis atau Mateo Salvini di Italia.

Perkembangan ini akan melemahkan integrasi di Uni Eropa dan setelah Inggris keluar dari organisasi itu, beberapa negara lain khususnya Italia juga berpotensi meninggalkan Uni Eropa setelah berakhirnya pandemi Corona.

Di Amerika juga seperti Eropa, pandemi Corona akan mempercepat sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah federal dalam mengendalikan dampak ekonomi dan sosial akibat wabah COVID-19. Menurut beberapa analis Amerika, ini akan mengarah pada berlanjutnya kekuasaan Trump.


Pada 2016, Trump berhasil berkuasa di Amerika dengan slogan anti-imigran, dukungan untuk sayap kanan, serta kebijakan America First. Dia kemudian mengadopsi kebijakan sepihak dan anti-globalisasi, serta menarik diri dari perjanjian dan organisasi-organisasi regional dan internasional.

Namun, pandemi Corona semakin memperlihatkan kekacauan kebijakan dan pendekatan Trump. Salah satu pakar teori hubungan internasional, Joseph Nye mengatakan, "Virus Corona telah memperlihatkan kelemahan strategi keamanan nasional Trump, AS tidak dapat melindungi keamanannya dengan bertindak sendiri. Bahkan jika Amerika menang sebagai kekuatan besar, ia tidak dapat melindungi keamanannya dengan bertindak sendiri."

Namun Trump jika kembali terpilih sebagai presiden Amerika, kecil kemungkinan akan mengubah pendekatan dan kebijakannya. Padahal pendekatan ini akan semakin memperlemah peran global Amerika.

Menurut Wakil Direktur Institut Internasional untuk Studi Strategis, Kori N. Schake, Amerika tidak lagi dikenal sebagai pemimpin dunia. Krisis wabah Corona menunjukkan bahwa Washington telah gagal dalam ujian kepemimpinan global.

Di era pasca-Corona, kerja sama global kemungkinan akan melemah dan persaingan di antara kekuatan besar di kancah internasional akan meningkat. Wabah flu Spanyol pada 1918 tidak dapat mengakhiri rivalitas kekuatan besar, demikian juga dengan wabah COVID-19. Pada saat yang sama semangat globalisasi akan semakin melemah.

Sebagian pengamat percaya bahwa kurangnya soliditas dunia dalam merespon pandemi Corona adalah hasil dari pendekatan pemerintahan Trump serta semakin banyaknya pemimpin nasionalis dan populis di seluruh dunia.

Singkatnya, kombinasi dari virus mematikan, perencanaan yang tidak matang, dan kepemimpinan yang tidak kompeten, akan menempatkan umat manusia pada jalan baru dan mengkhawatirkan.

Ketua Dewan Hubungan Luar Negeri AS, Richard Haass menuturkan, "Dampak dari pandemi Corona adalah banyak negara akan kesulitan untuk pulih dari krisis, bertambahnya jumlah pemerintah yang tidak berdaya dan lemah di dunia, memperburuk hubungan antara Cina dan AS, memperlemah proses integrasi Eropa, memperbaiki situasi kesehatan global, dan melemahkan semangat globalisasi." 

 

Anggota DPR Irak menyatakan bahwa kabinet Adnan al-Zurufi tidak akan mendapat suara mosi kepercayaan dari parlemen karena penolakan koalisi al-Fath, Negara Hukum dan gerakan politik Hikmah.

Menurut laporan IRIB, Burhan al-Ma'muri, anggota parlemen Irak menyatakan, "Koalisi al-Fath, Negara Hukum dan gerakan politik Hikmah sebagai kelompok berpengaruh di dalam parlemen Irak masih menolak Adnan al-Zurufi sebagai perdana menteri negara ini dan karena mereka menolaknya, kemungkinan besar kabinetnya juga tidak akan mendapat suara di parlemen."

Parlemen Irak
"Masih belum ada konsensus mengenai nama-nama yang telah diusulkan sebagai pengganti al-Zurufi dan jika al-Zurufi mengundurkan diri, nama-nama kandidat baru akan diumumkan oleh kelompok-kelompok Syiah. Tetapi sekarang al-Zurufi belum memutuskan untuk mengundurkan diri dan terus bekerja untuk membentuk pemerintahan," tambah wakil DPR Irak ini.

Sebelumnya Fraksi Badar di Parlemen Irak kembali mengritik Adnan al-Zurufi sebagai perdana menteri.

Sementara itu, Duta Besar AS untuk Baghdad Matthew Tueller mengklaim bahwa parlemen Irak tidak memilih Adnan al-Zurufi dan kabinetnya akan memiliki konsekuensi serius bagi Irak.

Adnan al-Zurufi ditunjuk oleh Presiden Irak Barham Salih pada 17 Maret untuk membentuk kabinet baru, tetapi penunjukkan itu ditentang keras oleh beberapa kelompok Syiah.

Beberapa kelompok Syiah percaya bahwa al-Zurufi bukanlah sosok yang mandiri dan bergantung pada aktor asing, terutama Amerika Serikat.

 

Ketua Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) melakukan percakapan via telepon dengan ketua Parlemen Lebanon dan membicarakan pengaruh wabah virus Corona atas kondisi kamp-kamp pengungsi Palestina di Lebanon.

Menurut laporan Info Palestina, Ismail Haniyeh, Ketua Biro Politik Hamas dalam percakapan telepon dengan Nabih Berri, Ketua Parlemen Lebanon menekankan perlunya menyediakan peralatan medis dan barang saniter yang dibutuhkan untuk para pengungsi Palestina agar dapat menghadapi penyakit Corona.

Nabih Berri, Ketua Parlemen Lebanon
Ziyad al-Nakhalah, Sekjen Gerakan Jihad Islam Palestina dalam dialog via telepon dengan Mahmoud Abbas, Pemimpin Otorita Palestina menekankan pentingnya mengintegrasikan upaya dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan warga Palestina dan memerangi virus Corona serta tantangan lain yang dihadapi rakyat Palestina.

Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan, jumlah warga Palestina yang terinfeksi virus Corona mencapi 217 orang.

 

Menteri Kesehatan Yordania mengkonfirmasi penutupan perbatasan negara ini hingga setelah bulan suci Ramadhan.

Saad Jaber mengatakan, langkah ini ditempuh untuk melawan penyebaran wabah Corona sehingga departemen ini mampu mengalahkan krisis akibat pandemi ini.

"90 persen warga Yordania komitmen dengan instruksi pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah Corona," papar Jaber.

Menurut laporan, sampai saat ini ditemukan 232 kasus positif Corona di Yordania. 

 

Angota Biro Politik Gerakan Islam Palestina (PIJ) memprotes kebungkaman masyarakat internasional terhadap kejahatan rezim Zionis Israel terhadap tawanan Palestina.

Yusef al-Hasayneh seraya merilis statemen menyatakan, masyarakat internasional masih menutup matanya atas kejahatan Zionis terhadap hak tawanan Palestina.

Al-Hasayneh menilai kebungkaman berbagai lembaga internasional dan HAM atas berlanjutnya penangkapan tawanan Palestina dan ketidakpedulian lembaga ini terhadap isu kesehatan mereka mengingat maraknya wabah Corona di dunia adalah sebuah kejahatan terhadap peran kemanusiaan organisasai tersebut.

"Kelalaian ini sama halnya dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan tidak mengindahkan tolok ukur keadilan, HAM dan kebenaran," paparnya.

Sementara itu, Juru bicara pusat riset tahanan Palestina, Riyad Al-Ashqar Sabtu (04/04/2020) menyatakan, kantor penjara Israel sepenuhnya sepenuhnya menutupi kondisi tawanan Palestina yang mendekam di penjara-penjara rezim ini.

Saat ini tercatat 5700 warga Palestina dijebloskan di penjara Israel dan di antara jumlah tersebut terdapat 250 anak-anak dan 47 perempuan. 

 

Friksi antara Departemen Peperangan Israel dan Departemen Kesehatan terkait mekanisme penanggulangan wabah Corona semakin sengit.

Seperti dilaporkan Times of Israel, Menteri Peperangan Israel Naftali Bennett seraya mengkritik kinerja Departemen Kesehatan rezim ini menuntut supaya mendapat kendali penanganan wabah ini.

"Saat ini kita tengah berada di medan pertempuaran biologis dan militer serta Departemen Keamanan memiliki pengetahuan tentang misi seperti ini," papar Bennett.

Di sisi lain, militer Israel mengumumkan, Nadav Padan, kepala komando pusat militer Israel tengah dikarantina karena melakukan kontak dengan pasien Corona.

Menurut pengumuman Depkes Israel, jumlah penderita Corona di bumi Palestina pendudukan mencapai 8.018 orang. 

 

Perdana menteri Pakistan telah memerintahkan dimulainya kembali kegiatan di sektor perumahan, pertanian dan industri dalam upaya untuk mengatasi kekurangan pangan dan mengurangi lonjakan angka kemiskinan di negara itu.

Menurut laporan IRIB dari Islamabad, Imran Khan, Perdana Menteri Pakistan menekankan bahwa tantangan Corona di Pakistan lebih terfokus pada ekonomi dan kesehatan, dengancataan ini, bila kita menerapkan larangan bepergian di negara ini, mungkin saja jutaan orang akan meninggal dunia.

"Virus Corona telah berdampak negatif pada ekonomi di seluruh dunia, bahkan di negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, sehingga tidak diperbolehkan untuk terus menghentikan kegiatan ekonomi, karena itu akan membahayakan kehidupan warga Pakistan," tambah Imran Khan.

Imran Khan, Perdana Menteri Pakistan
Menurut PM Pakistan, konsekuensi dari penyebaran coronavirus di Pakistan bisa menjadi masalah serius, jadi penting untuk waspada.

Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan Pakistan mengumumkan, dengan mencatat 161 kasus baru coronavirus, jumlah orang yang terinfeksi virus di negara itu telah mencapai 2.748.

Menurut laporan ini, sebagian besar kota-kota Pakistan saat ini terinfeksi dengan virus Covid-19, dan sejauh ini 41 orang telah meninggal karena virus Corona.

Jumlah tertinggi pasien penyakit virus Corona di Pakistan adalah di negara bagian Punjab, dan 1.072 pasien virus Corona telah diidentifikasi, dimana 11 orang di antaranya telah meninggal.

Pemerintah Pakistan berusaha mencegah penyebaran coronavirus yang tidak terkendali melalui karantina menyeluruh dan memaksa orang untuk tinggal di rumah.

Sekalipun demikian, dengant terus meningkatnya Corona di Pakistan telah membuat partai-partai politik oposisi mengritik keras cara penanganan krisis ini oleh pemerintah.

Partai-partai politik oposisi mendesak pemerintah untuk segera mengumumkan darurat militer. Tetapi pemerintah dari partai Tehreek-e-Insaf (PTI) masih enggan memberlakukan darurat militer di negara itu karena standar ekonomi dan kehidupan yang rendah.

Minggu, 05 April 2020 21:02

PBB Serukan Konflik di Libya Dihentikan

 

Delegasi perwakilan PBB di Libya menuntut dihentikannya segera konflik dan bentrokan serta diterapkannya gencatan senjata di negara ini oleh semua pihak demi melawan wabah Corona.

Kantor Berita Xinhua melaporkan, delegasi perwakilan PBB di Libya Sabtu (04/04/2020) di statemennya bertepatan dengan peringatan satu tahun serangan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar ke Tripoli menyatakan, hasil dari serangan ini adalah bentrokan yang tidak perlu antara pasukan pemerintah rekonsiliasi nasional Libya dan pasukan Haftar serta rasa putus asa masyarakat atas masa tenang politik.

Masih menurut statemen delegasi ini, ribuan orang di Tripoli dan wilayah sekitarnya kehilangan tempat tinggal.

"Konflik dan bentrokan di Tripoli juga menghancurkan rumah warga, rumah sakit dan sekolah," tambah statemen tersebut.

Delegasi perwakilan PBB di Libya di statemennya juga memprotes berlanjutnya intervensi asing di krisis negara ini yang berujung pada eskalasi bentrokan.

Meski ada penyebaran wabah Corona dan tuntutan masyarakat internasional untuk menghentikan perang di berbagai negara, pihak-pihak yang bertikai di Libya masih melanjutkan serangannya  pihak masing-masing.

Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar dengan dukungan Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab dan sejumlah negara Barat melancarkan serangan ke Tripoli yang dikuasai pemerintah rekonsiliasi nasional Libya. 

 

Pasukan relawan rakyat Irak, Hashd Al Shaabi di Provinsi Diyala menggagalkan upaya kelompok teroris Daesh untuk merebut sumur-sumur minyak di provinsi ini.

IRNA (4/4/2020) melaporkan, Hashd Al Shaabi, Sabtu (4/4) mengumumkan, sekelompok anasir teroris Daesh di malam hari berusaha menduduki fasilitas minyak Naft Khana di Provinsi Diyala, namun kami berhasil memukul mundur mereka.

Hashd Al Shaabi juga mengabarkan dimulainya operasi pengejaran teroris Daesh di wilayah Naft Khana, timur Diyala.

Komandan Operasi Hashd Al Shaabi di Provinsi Diyala, Talib Al Mousawi menuturkan, operasi penjagaan dan pemeriksaan di utara Al Miqdadiya, Provinsi Diyala oleh pasukan Hashd Al Shaabi bersama militer dan polisi Irak untuk membersihkan wilayah ini serta pemulangan pengungsi, sudah dimulai beberapa hari lalu. 

 

Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Irak mengatakan, norma diplomatik tidak mengizinkan Amerika Serikat memindahkan kedutaan besarnya dari Baghdad.

Fars News (4/4/2020) melaporkan, Amer Al Fayez mereaksi keras rencana pemindahan kedubes Amerika dari Baghdad ke pangkalan militer Ain Al Assad.

Kepada situs berita Al Malooma, Amer Al Fayez menuturkan, salah satu prinsip dalam aturan internasional, dan bagian dari norma diplomatik, kedubes negara asing tidak boleh berada di luar ibukota.

Ia menegaskan, menurut aturan tersebut, hanya konsulat jernderal milik kedutaan, dan perwakilan PBB dengan misi kemanusiaan yang bisa bermarkas di luar ibukota.

Menurut Al Fayez, informasi soal rencana Amerika untuk meyakinkan negara lain agar memindahkan kedubesnya ke pangkalan udara Ain Al Assad di Provinsi Al Anbar, tidak akurat, bahkan jika benar sekalipun, pemerintah Irak, berdasarkan hukum internasional, tidak akan mengizinkannya. (