کمالوندی
Cerita Hikmah; Petani Tiongkok Yang Bijak
Suatu ketika ada seorang petani Tiongkok kehilangan seekor kuda.
Lalu malam harinya semua tetangga datang dan berkata, “Sangat disayangkan sekali”.
Dan sang Petangi menjawab, “Mungkin!”
Keesokan harinya, kuda itu kembali dan membawa tujuh kuda liar.
Dan semua tetangga datang dan berkata, “Wow itu hebat! Bukankah begitu?”
Dan dia menjawab, “Mungkin!”.
Keesokan harinya, putranya sedang berusaha menjinakan salah satu kuda. Namun dia terjatuh dan kakinya patah.
Malam harinya semua tetangga datang dan berkata, “Kasihan sekali putramu!”
Dan dia menjawab, “Mungkin!”
Keesokan harinya, Petugas Wajib Militer datang mencari orang untuk direkrut jadi tentara. Dan mereka menolak putranya karena kaki putranya patah.
Malam harinya para tetangga datang dan berkata, “Bukankah itu luar biasa?!”
Dan dia menjawab, “Mungkin”
Kadang kita tidak tahu ada apa dibalik setiap peristiwa yang menimpa kita. Yang harus kita lakukan adalah berusaha untuk berprasangka Bangka kepada Allah swt Yang Maha Hakim. Jikalau kita berada di jalan-Nya, inshaAllah semuanya adalah yang terbaik dari-Nya untuk kita.
Kisah Semut Kecil Dan Nabi Sulaiman Yang Minta Hujan
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap wujud yang ada di alam semesta ini mempunyai peran masing-masing. Hanya saja kadang peran tersebut sudah ada yang ditemukan dan karena keterbatasan ilmu kita, ada yang masih menjadi rahasia. Seperti peran semut yang akan kita baca sekarang.
NuOnline mengabarkan bahwa Ibnu Abu Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, Muhammad bin Basysyar bercerita, Yazid bin Harun bercerita, Mis’ar bercerita, dari Zaid al-‘Ama, dari Abu al-Shiddiq al-Naji, ia berkata:
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam keluar (dari istananya) untuk meminta hujan. Tiba-tiba ia menjumpai seekor semut yang berbaring dengan punggungnya (terlentang), (dan) semua kakinya diangkat menghadap langit. Semut itu berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya kami adalah salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat memerlukan guyuran air (hujan)-Mu. Jika Kau tidak mengguyuri kami (dengan air hujan-Mu), Kau akan membuat kami binasa.”
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Pulanglah, sudah ada (makhluk lain) selain kalian yang berdoa meminta hujan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 184)
Kisah di atas cukup menarik, karena menjelaskan banyak hal, terutama soal pengaruh tasbih dan doa makhluk Allah lainnya kepada alam semesta. Untuk lebih mudah memahaminya, kita perlu menengok riwayat lain yang membicarakan kisah di atas.
Perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menunjukkan bahwa peran makhluk Allah non-manusia sangat besar untuk alam semesta. Selama ini kita mengabaikan peran mereka, baik dalam keseimbangan alam maupun keseimbangan lainnya. Keseimbangan alam yang dimaksud di sini adalah, misalnya populasi cicak, ikan, atau kadal berkurang secara drastis, maka populasi nyamuk akan semakin besar, karena keseimbangan telah berubah dengan semakin berkurangnya binatang pemakan jentik nyamuk. Ini sekedar contoh.
Dengan membaca perkataan Nabi Sulaiman, kita jadi tahu peran lain mereka yang tidak kalah dengan manusia. Bisa jadi, merujuk kisah di atas, hujan yang turun di lingkungan kita hasil dari doa mereka, ibadah mereka dan tasbih mereka.
Kisah Abu Nawas; Tidak Tahu Jalan Ke Neraka
Ada seorang yang hendak melecehkan Abu Nawas dengan satu pertanyaan sebagai berikut;
“Kapan Anda meninggal dunia?” Tanyanya kepada Abu Nawas.
“Kenapa kamu tanya seperti itu?” Kata Abu Nawas sedikit tersinggung.
“Ah, tidak apa-apa. Saya hanya mau titip surat pada Anda untuk mendiang ayah saya.” Jawabnya.
“Aduuh! sayang sekali. Kebetulan aku tidak tahu jalan ke Neraka Jahannam. Jadi sebaiknya kamu titipkan pada orang lain saja!” Kata Abu Nawas.
Mendengar jawaban Abu Nawas itu, orang tadi merasa malu sendiri. Kemudian ia pergi dengan kesal.
Renungan Untuk Kalian Yang Malas Beribadah
Ibadah adalah menunjukan kerendahan diri dan mengagungkan Allah swt. Saking pentingnya ibadah, Allah swt menjadikannya sebagai tujuan dari penciptaan alam semesta dan pengutusan para Nabi Allah.
وَ ما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ (56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Surah Adz-Dzaariyyat {51}:(56).
Begitu pun surat tugas para Nabi as adalah mengajak manusia untuk menyambah Allah swt.
وَ لَقَدْ بَعَثْنا في كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَ اجْتَنِبُوا الطَّاغُوت (36)
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” Surah An-Nahl {16}:(36).
Maka tujuan dari penciptaan semesta dan pengutusan para Nabi adalah ibadah kepada Allah swt. Bukankah ibadah merupakan sesuatu yang sangat besar?!
Sangatlah jelas, Allah swt tidak membutuhkan ibadah kita. Manfaat dari ibadah kembali lagi pada manusia. Seperti murid yang belajar, manfaatnya kembali pada dirinya sendiri bukan pada gurunya.
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُم (7)
“Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian.” Surah Az-Zumar {39}: (7).
Setelah mengetahui hal ini, masihkah kita malas untuk beribadah?! Padahal manfaat dari ibadah adalah murni untuk manusia.
Hadits Nabawi; Khidmat Pada Ibu Mampu Hapus Dosa-Dosa
Seandainya saja ibu kalian masih hidup, kalian akan beruntung karena berkhidmat pada beliau mampu gugurkan dosa-dosa besar.
Seseorang datang menghampiri Baginda Rasul saw dan berkata,
“Ya Rasulallah! Aku begitu banyak melakuka dosa. Setiap jenis dosa aku telah lakukan. Setiap perbuatan buruk yang engkau larang, aku melakukannya. Apakah tidak ada lagi cara yang bisa menolongku?”
Baginda Nabi bertanya,
“Apakah kamu punya ayah dan ibu?”
“Aku masih punya ayah.” jawabnya.
“Berkhidmatlah pada ayahmu!” sabda Baginda Nabi.
Ketika Baginda Nabi pergi beranjan dan berpapasan dengannya, Beliau bersabda;
“Aduhai! Seandainya saja ibu mu masih hidup, maka engkau akan dengan cepat bisa menghapuskan dosa-dosa mu!”
Berkhidmat pada kedua orangtua, terutama ibu mampu menghapuskan dosa-dosa kita dan berkhidmat kepada Ibu lebih penting dari pada ayah.
Kisah Abu Nawas; Mencari Cincin
Suatu hari, Abu nawas sibuk mondar-mandir mencari sesuatu di sekitar rumahnya. Ia terus mencari-cari namun tetap saja tidak menemukannya. Waktu pun terus berjalan hingga sudah berjalan setengah hari.
Karena sudah terlalu lama mencari namun tetap saja tidak menemukan, akhirnya banyak diantara tetangga-tetangganya yang bertanya-tanya padanya karena penasaran. Akhirnya, mereka pun bergabung untuk membantu Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, apa yang sedang engkau lakukan?” tanya seorang tetangga.
“Mencari cincin!” jawab Abu Nawas santai.
Para tetangga yang bergabung pun turut serta membantu sebisanya. Ikut mondar-mandir kesana-kemari. Mereka pun kelelahan dan bosan.
“Memangnya cincinmu itu kira-kira jatuhnya di mana?” tanya salah satu tetangga yang lain.
“Seingatku cincin itu jatuh di dalam rumahku” jawab Abu Nawas dengan santai tanpa merasa bersalah.
Mendengar jawaban Abu Nawas, para tetangga yang ikut membantu langsung berhenti dari pencariannya. Sebagian ada yang marah dan sebagian ada yang langsung pergi. Sedangkan sebagiannya tetap tinggal.
“Jika jatuhnya di dalam rumah, mengapa engkau mencarinya di luar rumah?” tanya salah satu dari mereka yang tinggal.
Sejenak menghela nafas, Abu Nawas pun memberikan alasan.
“Bukankah kita sering melakukan itu, wahai saudara-saudaraku? Seringkali kita mencari penyebab di luar kita atas berbagai persoalan yang kita hadapi.”
Abu Nawas kemudian menambahkan,
“Bahkan, kita menyalahkan pihak lain saat ditimpa masalah. Dan menjadikan orang-orang di luar kita sebagai penyebab utama atas persoalan yang melilit kita sendiri?”
Kisah Abu Nawas; Abu Nawas Jadi Korban Pelintiran
Suatu hari Abu Nawas melarang karib setianya untuk rukuk dan sujud dalam salat. Hal ini sampai pada telinga Khalifah Harun Al-Rasyid sehingga ia marah besar pada Abu Nawas. Harun Al-Rasyid ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.
Terlebih, Harun Al-Rasyid juga mendengar bahwa Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya khalifah yang suka fitnah. Khalifah Harun Al-Rasyid mulai terpancing saat para pengikutnya mengatakan bahwa Abu Nawas layak dipancung karena telah melanggar syari’at Islam dan menyebar fitnah. Pasa saat itu Khalifah Harun Al-Rasyid mulai gelisah, ia ingin bertemu Abu Nawas untuk klarifikasi.
Abu Nawas pun dibawa ke istana untuk menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Pada saat itulah Khalifah bertanya tentang kebenaran kabar yang didengarnya.
“Hai Abu Nawas, benarkah kamu berpendapat bahwa tidak ada rukuk dan sujud dalam salat?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid ketus.
Setelah pertanyaan itu dilontarkan, Abu Nawas pun langsung menjawab dengan tenang “Benar, saudaraku.”
Mendengar jawaban Abu Nawas, Khalifah kembali bertanya dengan suara yang lebih tinggi.
“Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid adalah khalifah yang suka fitnah?” tanya Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas menjawab, “Benar, saudaraku.”
Mendengar jawaban Abu Nawas itu Harun Al-Rasyid berteriak dengan suara yang menggelegar.
“Kamu memang pantas dihukum mati karena melanggar syari’at Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!” ujar Harun Al-Rasyid dengan nada tinggi.
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, “Saudaraku, memang aku tidak mengelak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata ketus, “Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan bahwa kabar itu adalah benar.”
Abu Nawas kemudian beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, “Saudaraku, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tak perlu rukuk dan sujud.”
“Bagaimana soal aku yang suka fitnah?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas menjawab dengan senyum, “Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ‘fitnah’ (ujian) itu.”
Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus bernada kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu. Ia lantas menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pengikut-pengikutnya.
Abu Nawas memanggil Khalifah dengan “Ya Akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pengikut-pengikut khalifah yang menghasut, ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.
Sayidina Ali Membantu Seorang Pengikut Masehi
Suatu hari di masa pemerintahannya, Sayidina Ali berjalan mengelilingi kota. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang sedang meminta-minta. Lalu beliau bertanya pada para sahabatnya.
“Siapa laki-laki tersebut, mengapa dia menjulurkan tangannya untuk meminta-minta?” tanya Sayidina Ali.
“Lelaki tua itu adalah mantan seorang kuli dan juga seorang pengikut Masehi!” jawab mereka.
Setelah mendengar hal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib kwz menegur dan menasihati para sahabatnya.
“Mengapa kalian menelantarkannya. Kalian menggunakan tenaganya ketika ia masih muda kemudian menelantarkannya ketika ia sudah tua. Cepat, berikan padanya bantuan dari Baitul Mal!” Tegur Sayidina Ali.
Saudara-saudaraku, inilah perwujudan Islam yang sebenarnya. Islam hadir di alam semesta ini untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Jika Islam yang ada sekarang adalah Islam yang radikal maka niscayanya dia bukanlah Islam. Tapi pemikiran sebuah kelompok yang dibalut dengan Islam.
Kisah Abu Nawas; Para Jin Ingin Menguji Abu Nawas
Selain dikenal dengan kecerdikannya, Abu Nawas juga terkenal dengan kejujuran dan kezuhudannya. Kali ini kita akan membaca sebuah cerita yang akan mengisahkan kejujuran Abu Nawas serta kezuhudannya dan kepatuhannya terhadap agama.
Abu Nawas Diuji Oleh Jin
Abu Nawas selalu saja berhasil mematahkan teka-teki dengan sasaran yang tepat serta dapat diterima oleh akal. Sepak terjangnya yang demikian itulah membuat penasaran kaum jin dan ingin mengujinya.
Mereka para jin akhirnya sepakat untuk memberi pengujian kepada Abu Nawas, apakah benar-benar jujur atau tidak. Nah, apakah Abu Nawas lulus dalam uji kejujuran itu?
Dahulu Abu Nawas pernah bekerja sebagai tukang kayu di kampungnya. Dengan pekerjaannya tersebut, ia sering menebang kayu di hutan belantara. Dan karena ia teledor, kapak kesukaannya yang ia gunakan untuk menebang kayu malah jatuh masuk ke jurang yang sangat dalam letaknya.
Kejadian itu membuat Abu Nawas bersedih hati karena kapak itu adalah satu-satunya peralatan yag dipunyainya dan ia belum mempunyai pengganti.
Tanpa kapaknya, otomatis ia tidak bisa bekerja seperti biasanya.
Dalam perasaan yang sangat sedih itu, tiba-tiba datanglah jin yang menyamar menjadi seorang laki-laki berbaju putih. Jin itu datang dan menggoda Abu Nawas yang kondisinya mulai labil.
“Hai Abu Nawas, kenapa kamu kelihatan sediah sekali?” tanya jin.
“Iya, kapak saya sebagai satu-satunya alat untuk bekerja telah jatuh ke jurang. Kalau begini, bagaimana saya bisa bekerja lagi?” jawab Abu Nawas sedih.
“Oh begitu, saya akan bantu untuk mengambilkannya untukmu,” kata jin.
beberapa lama kemudian, sang jin pun turun ke bawah jurang. Ternyata jin tersebut memiliki keinginan untuk menguji kejujuran Abu Nawas yang sering didengarnya.
Terbersit di benak jin untuk memberikan kapak yang lain yang terbuat dari emas, apa reaksi Abu Nawas nantinya.
“Wahai Abu Nawas, apakah ini kapakmu?” tanya jin.
“Bukan, kapak saya itu jelek,” jawab Abu nawas.
Sesaat kemudian jin memberikan kapak kedua yang terbuat dari perak. Namun Abu Nawas tetap saja tak mengakui.
“Bukan, bukan itu. Kapak saya sudah jelek!” tegasnya.
Mendengar jawaban seperti itu, sang jin menjadi senang karena ternyata Abu Nawas benar-benar seorang yang jujur.
“Hai Abu Nawas, kenapa kamu ini begitu jujur, apa tidak mau aku barang yang lebih baik?” tanya jin.
Pak, sesungguhnya aku telah bersyukur pada apa yang aku miliki. Aku tidak ingin mendapatkan sesuatu yang bukan hakku. Bagiku, kapak yang jelek itu adalah milikku. Dengan kapak itulah aku bisa bekerja secara halal dan mendapatkan kayu untuk aku jual, “terang Abu Nawas.
“Rasa syukur?” tanya jin dengan heran.
“Ya, karena rasa syukur itulah yang membuatku tidak mau mengambil barang yang bukan hakku, “tegas Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, karena rasa syukurmu itu, maka ketiga kapak ini aku berikan kepadamu,”kata jin.
Kemudian Abu Nawas pergi sambil membawa ketiga kapak itu.
Keistimewaan Bershalawat Pada Baginda Nabi Muhammad Saw
Telah ditanya seorang Sufi, “Kenapa bershalawat pada Baginda Nabi Muhammad saw itu banyak sekali dinukil di sumber-sumber dan begitu sangat ditekankan?
Begitu juga ketika hendak memohon ampunan, keluasan rezeki, kesehatan dan lain sebagainya, semuanya menasihati untuk bershalawat. Sebenarnya apa rahasia dari shalawat ini?”
Sang sufi menjawab, “Jikalau kau melihat al-Quran, hanya ada satu tempat di mana Allah swt menjadikan Dzat-Nya sejajar dengan manusia. Dalam artian, Allah mengajak manusia untuk melakukan hal tersebut secara bersama-sama. Dan ayat tersebut berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.” (Surat Al-Ahzab ayat 56)
Inilah rahasia shalawat yang begitu sangat istimewa yang mana ia bisa menganggkat manusia pada derajat yang tinggi.”



























