کمالوندی
Khatib Jumat Tehran: Kesepakatan Abad Bukan Solusi Masalah Palestina
Khatib Jumat Tehran mengatakan, "Kesepakan Abad" atau program lainnya yang tidak memenuhi tuntutan-tuntutan sah rakyat Palestina terutama kembalinya para pengungsi dan pemilu bebas untuk menentukan masa depan mereka, tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah internasional ini.
Khatib Jumat Tehran, Hujatulislam Kazem Sedighi (31/5/2019) dalam khutbah Jumatnya menyebut Hari Quds Sedunia sebagai hari Islam dan menuturkan, Imam Khomeini menjadikan hari Quds sebagai faktor yang mencegah terlupakannya masalah Palestina dan terus menyegarkan ingatan tentang kejahatan rezim Zionis Israel serta pendukungnya.
Hujatulislam Kazem Sedighi menambahkan, poros perlawanan telah membuat Israel dan segitiga kejahatan yaitu Amerika Serikat, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, sebagai pendukungnya, ketakutan.
Menurut Khatib Jumat Tehran, Hari Quds Sedunia dalam empat tahun terakhir telah berubah menjadi momentum untuk mengumumkan sikap berlepas tangan dari rezim Zionis dan sikap umat Islam yang anti-penjajahan.
"Hari ini tingkat kesadaran publik tentang masalah Palestina sudah meningkat pesat, sehingga menjadi peluang untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan rakyat Palestina," pungkasnya.
Surat as-Saaffat ayat 174-182
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتَّى حِينٍ (174) وَأَبْصِرْهُمْ فَسَوْفَ يُبْصِرُونَ (175) أَفَبِعَذَابِنَا يَسْتَعْجِلُونَ (176) فَإِذَا نَزَلَ بِسَاحَتِهِمْ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ (177)
Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika. (37: 174)
Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka akan melihat (azab itu). (37: 175)
Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan? (37: 176)
Maka apabila siksaan itu turun dihalaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang dipseringatkan itu. (37: 177)
Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai kemenangan kebenaran atas kebatilan, dan sikap Rasulullah saw terhadap orang-orang kafir dan penentang beliau.
Ayat ini melanjutkan penjelasan sebelumnya mengenai firman Allah swt kepada Rasullah Saw supaya berpaling dari orang-orang kafir dan membiarkan mereka dalam kondisinya supaya menjadi peringatan bagi mereka; apakah mereka akan sadar atau sebaliknya.
Di ayat berikutnya dipaparkan mengenai hasil dari apa yang telah mereka kerjakan.Orang-orang yang beriman menyaksikan bagaimana siksaan ditimpakan kepada orang-orang kafir dan munkar di hari akhirat kelak. Bahkan sebagian dari siksaan tersebut bisa disaksikan di dunia ini sebagai pelajaran untuk yang lain.
Ketika di dunia, orang-orang kafir menantang datangnya azab Ilahi dengan mangatakan,"Kapankah azab ilahi yang engkau janjikan tersebut akan datang?". Mereka seolah-orang ingin segera melihat azab tersebut menimpanya saat itu juga. Tapi ketika azab datang menimpa mereka, tidak ada lagi tempat untuk menghindar dan bertaubat.
Dari empat ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menyampaikan protes atau peringatan terhadap para penentang kebenaran merupakan salah satu metode yang dilakukan para Nabi. Menghadapi orang yang keras kepala terkadang harus membiarkan mereka untuk menguji maupun menghukumnya supaya kembali ke jalan yang benar.
2. Sikap protes maupun marah terhadap pera penentang kebenaran harus melihat situasi dan kondisi, dan dilakukan secara logis. Selaian itu tidak boleh dilakukan sebagai bentuk balas dendam, tapi demi melakukan perubahan dari perbaikan diri para penentang kebenaran itu.
3. Para penentang agama akan menghadapi kekalahan getir, sehingga menjadi pelajaran bagi yang lain. Orang-orang mukmin akan melihat hasil dari perbuatan yang mereka lakukan.
وَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتَّى حِينٍ (178) وَأَبْصِرْ فَسَوْفَ يُبْصِرُونَ (179) سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (180) وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ (181) وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (182)
Dan berpalinglah kamu dari mereka hingga suatu ketika. (37: 178)
Dan lihatlah, maka kelak mereka juga akan melihat. (37: 179)
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (180)
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. (37: 181)
Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (37: 182)
Untuk menegaskan masalah sebelumnya yang disampaikan kepada Rasulullah Saw dan orang-orang beriman, ayat ini kembali menjelaskan bagaimana sikap yang harus diambil oleh Rasulullah Saw menghadapi orang-orang yang tidak bersedia menerima kebenaran.
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang kafir dan munkar tersebut dibiarkan keadaannya hingga Allah swt akan membalas apa yang telah mereka lakukan selama ini.
Ayat terakhir surat As-Saffat mengungkapkan bahwa kekuatan dan kekuasaan bersumber dari Allah swt, dan orang-orang yang beriman akan mulia sedangkan orang-orang kafir akan terhina dan binasa.
Ketika orang yang beriman bertawakal kepada Allah swt dan hanya bersandar kepadanya, maka Allah akan memenangkan mereka atas orang-orang kafir. Ketika Allah swt sudah berkehendak, maka tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menghadapinya.
Sejarah menunjukkan bahwa Allah swt senantiasa mendukung perjuangan para Nabi dan utusannya. Oleh karena itu, hanya Allah swt yang layak dipuja dan disembah di alam semesta ini.
Dari lima ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Janji Allah swt kepada orang-orang kafir yang memerangi bersifat pasti, yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya.
2. Kemuliaan sejati hanya datang dari Allah swt. Oleh karena itu, hamba Allah sejati pasti akan dimuliakan oleh Allah Swt.
3. Hanya Allah Swt yang layak dipuja dan disembah oleh manusia sebagai makhluknya. Sebab, Allah-lah pemilik dan pengatur seluruh alam semesta, sumber dari segala kesempurnaan dan keindahan.
Surat as-Saaffat ayat 161-173.
فَإِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ (161) مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ بِفَاتِنِينَ (162) إِلَّا مَنْ هُوَ صَالِ الْجَحِيمِ (163)
Maka sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu. (37: 161)
Sekali-kali tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah. (37: 162)
Kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala. (37: 163)
Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan keliru orang musyrik terkait malaikat dan jin. Sementara ayat-ayat di atas menyebutkan, kalian para penyembah berhala tidak akan bisa menyesatkan pikiran orang lain dengan pemahaman keliru kalian. Karena para pemilik akal, logika dan hati bersih tidak akan menerima ucapan kalian dan tidak akan mau menuruti kata-kata tidak rasional kalian.
Akan tetapi orang-orang yang ingin mengikuti jalan para penghuni neraka, menjadi pengikut orang-orang musyrik dan mengikuti jalan kesesatan.
Dari tiga ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan bebas. Manusia dikaruniai ikhtiar dan kehendak untuk memilih keyakinan dan jalan hidupnya, dan tidak ada seorangpun yang dapat memaksa orang lain untuk memilih jalan hidupnya.
2. Memilih jalan hidup berada di tangan manusia sendiri, akan tetapi akhir dan ujung setiap jalan yang dipilih itu keluar dari kontrol manusia. Oleh karena itu, manusia tidak bisa memilih jalan kekufuran, penindasan dan syirik, di saat yang sama berharap mencapai surga abadi.
وَمَا مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَعْلُومٌ (164) وَإِنَّا لَنَحْنُ الصَّافُّونَ (165) وَإِنَّا لَنَحْنُ الْمُسَبِّحُونَ (166)
Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu. (37: 164)
Dan sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah). (37: 165)
Dan sesungguhnya kami benar-benar bertasbih (kepada Allah). (37: 166)
Orang-orang musyrik memiliki keyakinan yang keliru tentang para malaikat. Mereka menganggap anak perempuan sebagai bentuk ciptaan yang lemah dan rendah, dan menurut mereka, para malaikat adalah anak-anak perempuan Tuhan dan dengan cara itu mereka menghubungkannya dengan Tuhan.
Di ayat ini dijelaskan bahwa para malaikat berkata, berbeda dengan yang kalian para penyembah berhala bayangkan, kami malaikat tidak punya jenis kelamin perempuan atau laki-laki, kami adalah makhluk yang kuat dan Allah Swt memberikan tugas serta tanggung jawab khusus kepada setiap kelompok kami dan kami siap melaksanakan perintah-Nya. Kami menyucikan Tuhan dari segala pemikiran dan keyakinan keliru kalian tentang Tuhan, dan selalau bertasbih serta memuji-Nya.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt mengatur urusan alam semesta melalui perantara sebab-sebab materi dan non-materi, dan para malaikat memainkan peran kunci dalam mengelola urusan semesta.
2. Para malaikat bukan anak-anak Tuhan. Mereka adalah makhluk Tuhan yang bertugas menjalankan perintah-Nya dan untuk menunaikan tanggung jawab ini, mereka berbaris dengan keteraturan dan ketertiban khusus.
3. Di alam semesta telah ditetapkan kedudukan, posisi, tanggung jawab khusus dan hirarki bagi setiap malaikat.
وَإِنْ كَانُوا لَيَقُولُونَ (167) لَوْ أَنَّ عِنْدَنَا ذِكْرًا مِنَ الْأَوَّلِينَ (168) لَكُنَّا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ (169) فَكَفَرُوا بِهِ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (170)
Sesungguhnya mereka benar-benar akan berkata. (37: 167)
“Kalau sekiranya di saksi kami ada sebuah kitab dari (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu. (37: 168)
Benar-benar kami akan jadi hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).” (37: 169)
Tetapi mereka mengingkarinya (Al Quran); maka kelak mereka akan mengetahui (akibat keingkarannya itu). (37: 170)
Dalam sejarah tercatat bahwa sebelum pengangkatan Nabi Muhammad Saw dan diturunkannya Al Quran, orang-orang musyrik Mekah berkata kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di jazirah Arab, jika Tuhan menurunkan untuk kita nabi dan kitab, maka kami akan beriman kepadanya dan mentaatinya.
Di ayat tersebut dijelaskan, sebenarnya Allah Swt telah melakukan hal itu dan menurunkan Al Quran untuk memberikan hidayah kepada mereka, tapi mereka dengan berbagai alasan tidak pernah bersedia menerima kebenaran dan memilih jalan pengingkaran. Oleh karena itu mereka akan segera melihat akibat perbuatannya.
Dari empat ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt untuk menyempurnakan bukti-bukti-Nya atas manusia, menurunkan nabi dan kitab suci sehingga tidak ada lagi orang yang punya alasan untuk kufur, syirik dan sesat dari jalan kebenaran dan di akhirat kelak tidak bisa menyalahkan Allah Swt.
2. Pembohong jumlahnya sangat banyak. Ada orang-orang yang mengaku menerima agama, tapi dalam praktik tidak bersedia menerima kebenaran dan menentang agama.
وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ (171) إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُورُونَ (172) وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ (173)
Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. (37: 171)
(yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. (37: 172)
Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (37: 173)
Kelanjutan ayat sebelumnya yang menceritakan tentang kekufuran dan pengingkaran orang musyrik, pada ayat di atas disebutkan, orang-orang beriman tidak boleh ragu akan keyakinan atau lemah dalam amalnya. Karena Allah Swt sudah berjanji, jika orang-orang beriman mengikuti para nabi, berdiri teguh, bersabar dan tabah, maka pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kebatilan akan kalah.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sudah menjadi ketentuan Allah Swt bahwa kebenaran akan menang atas kebatilan dan iman atas kekufuran.
2. Kemenangan para nabi dan ajaran mereka di atas ajaran yang lain adalah kepastian. Dengan kata lain, masa depan umat manusia akan ditentukan oleh kemenangan para nabi dan kekalahan pasti musuh mereka.
3. Orang-orang mukmin meskipun jumlah mereka sedikit namun mendapat pertolongan Allah Swt, tapi orang-orang kafir tidak demikian.
Surat as-Saaffat ayat 149-160.
فَاسْتَفْتِهِمْ أَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُونَ (149) أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ (150) أَلَا إِنَّهُمْ مِنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ (151) وَلَدَ اللَّهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (152)
Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), “Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki. (37: 149)
Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)?” (37: 150)
Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan. (37: 151)
“Allah beranak.” Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. (37: 152)
Surat As-Saffat sebelumnya menjelaskan mengenai beberapa Nabi Allah swt dan kaumnya. Di ayat ini masih melanjutkan pembahasan sebelumnya, tapi terfokus tentang pemikiran keliru orang-orang musyrik Mekah.
Di ayat ini dijelaskan mengenai cara pikir kaum musyrik Mekah yang membandingkan Tuhannya seperti manusia yang memiliki anak, dan juga malaikat yang dianggap seperti anak perempuan.
Kelanjutan dari ayat ini memberikan penegasian terhadap keyakinan orang-orang musyrik Mekah. Ayat ini menegaskan bahwa mereka benar-benar berdusta.
Tampaknya, keyakinan mereka mengenai malaikat sebagai perempuan berkaitan dengan pandangan kelirunya tentang kebencian terhadap anak perempuan, dan menilainya sebagai malapetaka. Sehingga, ada bayi perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup, karena tidak dikehendaki kehadirannya.
Jelas sekali pandangan demikian sangat keliru, karena Allah swt bukan manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Allah Maha Suci dan tidak bisa dibandingkan dengan pencipta-Nya. Al-Quran menggunakan logika yang kuat dalam menghadapi kekeliruan pandangan orang-orang musyrik mengenai Tuhan dan malaikat.
Kelanjutan ayat ini, mempertanyakan tentang dalil mengenai klaim orang-orang musyrik mengenai Tuhan. Apakah kalian hadir ketika malaikat diciptakan, sehingga mengetahui dengan pasti bahwa malaikat adalah perempuan? Mengapa menuding Tuhan dan malaikat demikian tanpa dalil yang bisa dipertanggungjawabkan? Dari mana dasarnya menuding Tuhan memiliki anak baik laki-laki maupun perempuan.
Dari empat ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para Nabi menjawab tudingan orang-orang musyrik dan penentangnya dengan mengajukan pertanyaan balik kepada mereka, sehingga mengajak mereka berpikir untuk meninjau kembali kerangka pemikirannya yang keliru.
2. Berbeda dengan gambaran yang berkembang mengenai para Nabi di sebagian agama, yang di dalamnya malaikat digambarkan seperti perempuan, berdasarkan ayat al-Quran pandangan demikian keliru, dan tidak sejalan dengan spirit al-Quran.
أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ (153) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (154) أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (155) أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ (156) فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (157)
Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? (37: 153)
Apakah yang terjadi padamu? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? (37: 154)
Maka apakah kamu tidak memikirkan? (37: 155)
Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? (37: 156)
Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar. (37: 157)
Melanjutkan ayat sebelumnya, ayat ini mengajukan pertanyaan, bagaimana kalian menerima keyakinan bahwa malaikat adalah anak perempuan dari Tuhan? Apakah kalian mengira Tuhan mengutamakan perempuan sehingga tidak memilih anak laki-laki? Sudahkah tiba waktunya untuk meninggalkan pandangan keliru ini? Dengan sedikit merenung saja, kita akan tahu pemikiran demikian keliru dan tidak memiliki argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Setelah al-Quran menegasikan pandangan keliru orang-orang musyrik mengenai malaikat melalui dalil akal, selanjutnya kembali menyodorkan pertanyaan kepada orang-orang musyrik mengenai dalil naqli dari kitab-kitab terdahulu sekiranya ada yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki anak dan malaikat adalah anak Tuhan.
Dari lima ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang memandang anak perempuan buruk dan anak laki-laki baik, serta pandangan bahwa anak perempuan bagi Tuhan dan anak laki-laki bagi dirinya, maka keyakinan tersebut jelas keliru dan menyimpang.
2. Keyakinan manusia mengenai Tuhan harus didasarkan kepada argumentasi aqli dan naqli, bukan berpijak dari persangkaan atau keyakinan batil yang tidak memiliki landasan yang jelas.
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ (158) سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ (159) إِلَّا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ (160)
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka). (37: 158)
Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. (37: 159)
Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari (dosa). (37: 160)
Kelanjutan ayat ini masih menjelaskan mengenai keyakinan keliru orang-orang musyrik Mekah. Mereka meyakini adanya hubungan nasab antara Tuhan dan jin. Sebagian dari orang-orang musyrik Mekah meyakini jin sebagai istri Tuhan. Mereka meyakini jin sebagai sekutu Tuhan, sehingga jin juga ikut mereka sembah.
Tapi al-Quran menolak keyakinan seperti ini dengan mengemukakan argumentasi menarik. Al-Quran menyanggah pandangan keliru orang-orang musyrik Mekah mengenai hubungan nasab antara Tuhan dan jin dengan mengatakan, bagaimana mungkin jin memiliki kedudukan demikian, padahal di hari kiamat mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia dan akan mendapat pahala dan hukuman atas perbuatannya tersebut.
Di akhir ayat, setelah menolak semua klaim batil orang-orang musyrik mengenai Tuhan, al-Quran menegaskan bahwa Tuhan maha suci dari semua prasangka mereka. Tidak ada orang yang bersih dari keyakinan keliru dan kesalahan, kecuali para Nabi dan aulia Allah Swt.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia yang keluar dari kerangka pemikiran logis dan akal cenderung mudah untuk menerima keyakinan keliru dan batil, sehingga ada yang berperasangka bahwa Tuhan memiliki hubungan nasab dengan jin maupun memiliki istri tanpa landasan argumentasi yang kuat.
2. Jin adalah makhluk seperti juga manusia yang memiliki hak dan kewajiban serta berakal. Oleh karena itu di hari kiamat akan dipertanggungjawabkan seluruh perbuatannya selama di dunia. Mereka akan mendapatkan pahala atau siksaan sesuai dengan perbuatannya masing-masing.
3. Semua manusia, kecuali hamba-hamba-Nya yang suci tidak akan bisa memahami secara benar mengenai Tuhan dan berpotensi untuk menyimpang jika tidak mengikuti bimbingan para Nabi dan Rasul-Nya.
Mengejar Berkah Ramadhan (20)
Sepuluh hari terakhir Ramadhan memiliki kedudukan khusus bagi orang-orang yang berpuasa. Semua orang; tua dan muda berbondong-bondong ke masjid dan surau untuk menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar. Mereka datang dengan penuh antusias demi memperoleh rahmat dan pengampunan Allah Swt di bulan ini.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Surat al-Qadr)
Orang-orang akan menghidupkan malam dengan bermunajat, menumpahkan air matanya, memohon ampunan kepada Allah Swt, dan mengharapkan rahmat-Nya. Alangkah beruntungnya orang yang memperoleh malam Lailatul Qadar atau mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya pada malam mulia itu.
Malam mulia itu disebut Malam Lailatul Qadar karena seluruh ketetapan (Qadr) manusia di sepanjang tahun ditentukan pada malam tersebut. Allah Swt dalam surat Ad-Dukhan ayat 3-4 berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
Berdasarkan ayat ini, sebuah malam di mana urusan alam ditetapkan sesuai dengan hikmah Ilahi adalah malam yang di dalamnya diturunkan al-Quran oleh Allah. Menurut ayat-ayat lain, al-Quran diturunkan pada malam Lailatul Qadar dan malam mulia ini juga terdapat di bulan Ramadhan.
Di sejumlah riwayat disebutkan bahwa ketetapan manusia untuk satu tahun akan diputuskan pada malam Lailatul Qadar termasuk masalah rezeki, kebahagiaan, kesengsaraan, dan perkara lain kehidupan manusia berdasarkan kapasitas dan kelayakan mereka.
Takdir yang penuh hikmah ini tidak menafikan kerja keras manusia, karena diputuskan atas dasar kapasitas dan kelayakan mereka. Allah juga menyediakan sarana doa sehingga pada malam mulia itu manusia bisa memanfaatkannya untuk menutupi kekurangannya dan berperan dalam mengubah ketetapan itu. Mereka bisa memohon kepada Allah agar memperoleh ampunan dan rahmat-Nya serta meminta ketetapan yang terbaik untuk dirinya.
Peringatan malam Lailatul Qadar di Kompleks Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, Iran.
Di antara ciri khas malam Lailatul Qadar adalah turunnya para malaikat kepada Imam Zaman. Menurut banyak riwayat, Lailatul Qadar tidak hanya khusus terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw saja, tetapi berkelanjutan dan terjadi setiap tahun di bulan Ramadhan. Malam itu menyediakan kesempatan kepada kaum Muslim untuk menerima limpahan rahmat dan karunia Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw bersabda, "Bulan Ramadhan adalah bulan Tuhan dan bulan di mana Dia menambah kebaikan di dalamnya dan membersihkan dosa-dosa, dan ia adalah bulan yang berkah."
Imam Jakfar Shadiq as juga berkata, "Permulaan tahun (perhitungan amal-perbuatan) terjadi pada malam Lailatul Qadar. Ketetapan untuk satu tahun ke depan ditulis pada malam itu."
Malam Lailatul Qadar menjadi begitu istimewa bagi para aulia dan orang-orang Mukmin yang fokus mencari kebahagiaan hakiki. Di antara keistimewaan malam ini adalah malam diturunkannya al-Quran, malam turunnya para malaikat, penentuan nasib manusia, malam yang lebih baik dari seribu bulan, pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan, dan malam yang penuh berkah sampai terbit fajar.
Untuk itu, Rasulullah Saw dan Ahlul Bait menganjurkan kaum Muslim untuk menghidupkan malam-malam tersebut dengan beribadah, bermunajat, dan memohon ampunan. Kita tidak dibenarkan untuk melewatkan momen berharga ini dengan tidur atau melupakan ibadah.
Dalam riwayat disebutkan, Rasulullah Saw pada malam ke-23 Ramadhan membangunkan anggota keluarganya dan memercikkan air di wajah mereka agar terjaga dan tidak kehilangan malam Lailatul Qadar. Fatimah az-Zahra as juga meminta seluruh anggota keluarganya untuk tidur siang dan mengurangi makan di malam hari sehingga mereka tidak ngantuk pada malam ke-23, dan berkata, "Manusia yang kehilangan ialah orang yang tidak memperoleh kebaikan dan keutamaan malam ini."
Malam Lailatul Qadar adalah kesempatan terbaik untuk memohon ampunan dari Allah Swt dan membebaskan diri dari dosa. Dia menjadikan malam tersebut sebagai momen untuk mengampuni hamba-Nya. Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa menghidupkan malam Lailatul Qadar, beriman, dan meyakini hari pembalasan, maka seluruh dosanya akan terampuni."
Untuk memperoleh pengampunan dan takdir yang baik, kaum Muslim harus menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan kegiatan-kegiatan ibadah seperti, mendirikan shalat, membaca al-Quran, bermunajat, dan beristighfar.
Peringatan malam Lailatul Qadar di Karbala, Irak.
Malam Lailatul Qadar juga merupakan kesempatan untuk membangunkan kembali hati yang lalai. Tanda hati yang lalai adalah telinga seseorang mendengar dan melihat kebenaran, tetapi ia bersikap seakan-akan tidak mendengar atau melihat kebenaran itu. Kebenaran dan kebatilan sama di matanya dan ia telah menutup jalan hidayah untuk dirinya.
Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun." (QS: Al-Anfal ayat 22)
Dalam banyak hadis, orang-orang yang tidak memiliki kehidupan spiritual disebut sebagai orang yang telah mati dari kehidupannya (Mayyitu al-Ahya) dan mereka-lah orang-orang yang mati sesungguhnya.
Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Sesungguhnya orang yang benar-benar mati adalah orang yang telah mati dari kehidupannya di mana ia makan, tidur, berjalan, melahirkan keturunan, dan memiliki kehidupan seperti binatang, tetapi tidak memiliki kehidupan insani yaitu kehilangan akal, hati, dan perasaannya. Oleh karena itu, ia tidak memiliki kekuatan untuk memahami hakikat akal dan hati."
Salah satu kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya adalah memberikan jalan kepada mereka untuk menghidupkan kembali hati yang telah mati. Berdasarkan ajaran Islam, manusia dapat menghidupkan kembali hatinya dengan taubat dan istighfar, doa dan munajat kepada Allah, dan melakukan perbuatan baik.
Allah Swt menghadiahkan malam Lailatul Qadar kepada manusia yang memiliki nilai setara dengan seribu bulan. Dengan kata lain, nilai sebuah perbuatan saleh pada malam itu setara dengan nilai melakukan perbuatan saleh dalam seribu bulan.
Oleh sebab itu, malam Lailatul Qadar merupakan kesempatan terbaik untuk menghidupkan hati yang telah mati. Melewatkan malam-malam mulia ini akan menjadi sebuah kerugian yang besar bagi orang-orang, yang mencari kebahagiaan hakiki.
Mengejar Berkah Ramadhan (19)
Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan telah tiba dan hati orang-orang Mukmin semakin atusias untuk beribadah. Malam penuh berkah Lailatul Qadar menyeru kaum Mukmin untuk bertaubat, memohon ampunan, dan mencari kesempurnaan.
Di hari-hari terakhir ini, kita harus meningkatkan ibadah dan bertaubat sehingga kita termasuk golongan yang dihapus dosanya oleh Allah Swt. Sungguh beruntung orang-orang yang taubatnya diterima, dosanya dihapus, dan memperoleh rahmat Ilahi di bulan ini.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam menjelaskan masalah taubat di bulan puasa berkata, "Bulan Ramadhan memberikan kesempatan kepada kita untuk membersihkan diri. Pembersihan ini sangat penting dan air mata-air mata ini akan membersihkan hati, tetapi ia (kesucian ini) harus tetap dijaga. Semua ini adalah penyakit yang berbahaya yaitu egoisme, kesombongan, iri dengki, arogansi, khianat, dan ketidakpedulian – semuanya adalah penyakit besar kita – akan menemukan peluang untuk sembuh di bulan Ramadhan dan ia bisa disembuhkan. Allah Swt akan melihatnya dan pasti melihatnya."
Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk bertaubat dan kembali kepada Allah, dan malam Lailatul Qadar adalah malam terbaik untuk memperoleh ampunan. Jangan sampai malam-malam ini berlalu, sementara kita termasuk dari orang-orang yang lalai dan tidak diampuni dosanya, bukankah Allah Swt maha pengampun dan maha penerima taubat.
Dikisahkan bahwa seorang pemuda dari Bani Israil fokus melakukan ibadah selama 20 tahun dan kemudian 20 tahun dari umurnya ia gunakan untuk bermaksiat. Suatu hari ia melihat uban di kepalanya dan seketika berkata, "Sungguh celaka, masa tua sudah tiba dan masa muda telah berlalu. Ya Tuhan! Aku sudah mengingat-Mu selama bertahun-tahun dan aku berpaling dari-Mu dalam beberapa tahun ini, kini jika aku kembali ke sisi-Mu, apakah Engkau akan menerimaku?
Ketika itu terdengar suara dari langit yang berseru, "Wahai hamba! Engkau selama ini telah beribadah dan Aku juga bersamamu dan ketika engkau melupakan-Ku, Aku juga membiarkan engkau dengan keadaanmu. Tetapi Aku memberikan kesempatan kepadamu dan sekarang jika engkau kembali ke sisi-Ku, Aku akan menerimamu." (Jami' al-Sa'adat - Mulla Muhammad Mahdi al-Naraqi)
Ilustasi peringatan Malam Lailatul Qadar di Tehran. (dok)
Mengenai perkara taubat, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS: Al-Baqarah ayat 222) Rasulullah Saw juga bersabda, "Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa."
Taubat berarti kembali dari keburukan menuju kebaikan. Taubat bermakna meninggalkan dosa pada masa sekarang dan bertekad meninggalkannya di masa depan. Allah akan menerima orang-orang yang bertaubat dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya, terutama jika pentaubat itu adalah seorang pemuda. Rasulullah Saw bersabda, "Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pemuda yang bertaubat."
Manusia tidak pernah lepas dari godaan dan dosa seperti menggunjing, menyakiti orang lain, mencela, berkhianat, dan lain-lain. Hawa nafsu mengajak manusia menentang seruan para Nabi dan membangkang perintah Tuhan. Ia mengajaknya untuk mengikuti amarah dan syahwat.
Karena hawa nafsu dan godaan syaitan, dunia ini tampak sebagai rumah abadi dan kelezatan fana duniawi akan terlihat indah di mata manusia. Godaan ini membuat manusia jauh dari kebahagiaan hakiki dan keberuntungan.
Saat manusia sudah terperosok terlalu jauh dalam jurang dosa, ia mulai sadar bahwa selama ini telah menempuh jalan yang salah. Ia akan menyesal dan penyesalan ini akan mengundang perhatian Tuhan. Ia kemudian memilih kembali dan memperbaiki dirinya, dan alangkah baiknya jika bulan Ramadhan ini digunakan untuk bertaubat dan kembali kepada Allah Swt.
Semua orang membutuhkan taubat dan istighfar dari dosa-dosanya. Taubat dan istighfar merupakan salah satu jalan untuk meraih rahmat Tuhan dan surga. Dalam perspektif para imam maksum, taubat nasuha berarti seseorang menunaikan hak-hak orang lain yang telah dirampas, meminta maaf jika telah menyakiti orang lain, dan menggantikan shalat dan puasa yang pernah ditinggalkan.
Perlu dicatat bahwa semua kesulitan yang kita hadapi bersumber dari perilaku kita sendiri yang menyimpang. Oleh karena itu, Rasulullah Saw dan para nabi selalu menyarankan umatnya untuk beristighfar dan bertaubat agar terhindar dari musibah.
Rasulullah Saw sendiri – sebagai manusia suci – tetap memohon ampunan kepada Allah. Beliau berkata, "Demi Allah! Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.”
Seorang ulama besar Iran, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat menuturkan, "Musibah dan kesulitan yang terjadi dalam hidup ini merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-Shura ayat 30, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." Banyak orang bergelimang dalam dosa dan tidak mengubah jalannya, mereka menuju akhirat dengan dosa yang berat dan ini adalah orang-orang yang merugi. Namun, taubat adalah sebuah kesempatan untuk kembali kepada kebaikan dan jalan lurus, dan memperoleh balasan surga di akhirat."
Ayatullah Bahjat menyarankan orang-orang yang ingin terbebas dari musibah dan kesulitan untuk beristighfar. Beliau juga menukil hadis Nabi Saw yang berbunyi, "Aku akan kabarkan kalian tentang penyakit kalian dan penawarnya? Penyakit kalian adalah dosa dan penawarnya adalah istighfar."
Di bulan Ramadhan, hati manusia bisa dibersihkan dengan berpuasa, berzikir dan bermunajat, membaca al-Quran, dan melakukan kebaikan-kebaikan lain. Di bulan ini, orang Mukmin seakan terlahir kembali setelah melakukan taubat terutama pada malam-malam Lailatul Qadar.
Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Salah satu pencapaian besar bulan Ramadhan adalah taubat; kembali kepada Allah Swt. Salah satu bait doa Abu Hamzah Ats Tsumali berbunyi, 'Kembalikan kami kepada derajat taubat kepada-Mu.' Kita kembali dari jalan yang menyimpang, dari perbuatan buruk, dari buruk sangka, dan dari perilaku yang tercela.
Pendosa ibarat pemuda yang belum matang, di mana memilih lari dari rumah dan kedua orang tuanya atas dasar ketidaktahuannya, kemudian ia kembali ke pelukan kedua orang tuanya dan memperoleh kembali kasih sayang mereka. Inilah yang dinamakan taubat.
Ketika kita kembali ke rumah rahmat Tuhan, Dia akan menerima kita dengan tangan terbuka. Oleh karena itu, kesempatan taubat yang datang di bulan Ramadhan ini harus kita manfaatkan dengan baik."
Mengejar Berkah Ramadhan (18)
Bulan Ramadhan sudah melewati batas pertengahannya dan mendekati malam-malam Lailatul Qadar. Ibadah, doa dan munajat perlu ditingkatkan demi memperoleh rahmat dan pengampunan Allah Swt.
Malam pertama dari Lailatul Qadar adalah malam ke-19 Ramadhan dan ia adalah sebuah malam yang penuh kemuliaan dan malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Menurut banyak riwayat, malam Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan dan kemungkinan besar jatuh pada salah satu malam dari malam-malam yang ganjil yaitu 19, 21 atau 23. Kaum Syiah meyakini Lailatul Qadar kemungkinan besar jatuh pada malam 23 Ramadhan, sementara Ahlu Sunah percaya malam mulia itu lebih mungkin jatuh pada malam 27 Ramadhan.
Para pemuka agama senantiasa menjalankan tradisi mulia ini dan mereka berebut berkah malam Lailatul Qadar. Rasulullah Saw tidak hanya pada malam Lailatul Qadar, tapi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau menyibukkan diri dengan ibadah dan melipat tempat tidurnya.
Di malam 19 Ramadhan, sebuah peristiwa getir terjadi dalam sejarah Islam yaitu penikaman Imam Ali as saat sedang sujud di Masjid Kufah pada waktu sahur. Kepala Imam Ali ditebas dengan pedang beracun oleh Ibnu Muljam Muradi, dan beliau gugur syahid pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah.
Pada malam itu, Imam Ali as menjadi tamu di rumah putrinya, Ummu Kultsum al-Kubra di kota Kufah. Amirul Mukminin hanya menyantap tiga suap makanan dan kemudian menyibukkan dirinya dengan ibadah. Imam Ali tampak tidak tenang pada malam itu dan sesekali menatap ke langit. Ia mengelus jenggotnya sambil berkata, “Ya Allah! Janji kekasih-Mu Rasulullah sudah dekat. Ya Allah! Jadikan kematian sebagai keberkahan bagi Ali."
Di tengah kegelapan malam setelah sahur, Imam Ali as keluar dari rumah untuk memimpin shalat subuh di Masjid Kufah. Angsa-angsa di halaman rumah mengerumuninya dan berteriak-teriak. Orang-orang ingin mengusir kerumunan angsa itu, namun Imam berkata, "Biarkan saja, karena angsa-angsa itu tengah meratapi kematianku.”
Mendengar ucapan itu, Ummu Kultsum mulai khawatir dan berkata, "Biarkan Ja'dah yang pergi ke masjid untuk mengimami shalat." Imam menjawab, "Tidak ada yang bisa lari dari takdir Tuhan." Imam Ali kemudian mengencangkan ikat pinggangnya dan melangkah menuju masjid.
Mihrab tempat Imam Ali as ditikam oleh Ibnu Muljam di Masjid Kufah.
Saat sedang mendirikan shalat di mihrab Masjid Kufah, Ibnu Muljam datang mendekat dan mengayunkan pukulan pedangnya ke kepala Imam Ali, tepat ketika ia hendak bangun dari sujudnya. Darah mengucur deras dari kepala suci itu dan dengan suara lengking, Imam Ali berteriak, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah beruntung."
Setelah salam, dia mengusapkan tanah sujud ke dahinya sembari mengucapkan firman Allah Swt dalam surat Thaha ayat 55; "Dari tanah itulah Kami jadikan kalian dan kepadanya Kami akan mengembalikan kalian dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain."
Shalat merupakan ikatan terindah antara Ali as dengan Tuhan dan dalam kondisi itu, ia tidak memikirkan apapun selain Allah Swt. Dalam kondisi kritis, Imam as masih mewasiatkan anak-anaknya dengan shalat sambil berkata, "Allah, Allah, dirikanlah shalat, karena ia adalah tiang agama."
Syeikh Abu Bakr Shirazi dalam Risalah Etikad menulis, "Ayat 17 dan 18 surat Adh-Dhariyat yang berbunyi 'Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar,' adalah berkenaan dengan Imam Ali as. Karena ia tidur di sepertiga malam dan melakukan ibadah di dua pertiga malam yang tersisa. Dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh ratusan ulama, Ali as berkata, 'Sebelum satu orang pun menjadi muslim atau mendirikan shalat, aku sudah mendirikan shalat bersama Rasulullah di usia tujuh tahun.'"
Imam Ali as dalam shalat terakhirnya di Masjid Kufah mengucapkan kalimat “Fuztu wa Rabbil Ka’bah." Dengan ucapan ini, ia ingin mengekspresikan kerinduannya akan mati syahid dan pertemuan dengan Sang Kekasih.
Ketika masyarakat Kufah mengkhawatirkan kondisinya, Ali as dalam sebuah kalimat yang indah berkata, "Demi Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi atasku di luar penantian, seperti orang yang mencari air di padang pasir saat gelap gulita dan kemudian tiba-tiba menemukan sumur atau mata air. Perumpamaanku adalah ibarat pencari air yang akhirnya menemukan apa yang dicari."
Manusia membutuhkan rahmat dan kasih sayang dari Allah Swt. Orang-orang mukmin selain bersyukur atas karunia Allah, mereka juga menyampaikan keinginan-keinginannya dalam doa dan munajat.
Kegiatan membaca al-Quran di Masjid Kufah selama Ramadhan. (dok)
Allah Swt juga berjanji akan mengabulkan doa-doa mereka dan berfirman, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS: Al-Baqarah ayat 186)
Doa adalah cara yang paling intim untuk berkomunikasi dengan Tuhan, setiap orang dengan leluasa bisa bercengkrama dengan-Nya, memohon sesuatu dari-Nya atau meminta ampunan atas dosa-dosanya.
Secara umum doa berarti menyampaikan kebutuhan. Artinya, manusia secara fitrah percaya pada kekuatan luar biasa yang bisa melindunginya, memenuhi kebutuhannya, dan membantunya mencapai tujuan-tujuannya.
Tetapi, doa juga memiliki makna lain dan ia adalah sebuah dialog yang bersumber dari makrifat dan pengenalan batin kepada Allah Swt seperti, doa Kumail dari Imam Ali as atau doa-doa Nabi Ibrahim as yang diabadikan dalam al-Quran. Semua doa ini bersumber dari sebuah makrifat dan pengenalan batin. Demikian juga dengan doa-doa yang terdapat dalam buku Shahifah Sajjadiyah dari Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as.
Doa sama seperti kunci untuk membuka pintu bagi manusia dan tidak ada perantara dalam hal ini. Dengan kata lain, doa adalah sebuah saluran khusus yang disediakan Allah untuk hamba-Nya sehingga dalam kondisi apapun dan dimana pun, mereka dapat menghubunginya dan menyelamatkan dirinya dari himpitan masalah.
Ketika kita mengucapkan kalimat "Ya Rabbi" atau "Ya Allah" dalam kesendirian, suara kita langsung didengar oleh Tuhan tanpa jarak sama sekali.
Imam Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah berkata, "Ketika engkau menyeru-Nya, Dia mendengar seruanmu, ketika engkau bermunajat kepada-Nya, Dia mengetahui ucapanmu, engkau menyampaikan hajatmu kepada-Nya, menunjukkan dirimu apa adanya di hadapan Tuhan, dan setiap kali engkau ingin, engkau berkeluh kesah dengan-Nya dan menyampaikan seluruh masalah dan keluh kesahmu."
Allah Swt adalah Dzat yang memiliki kekuatan mutlak serta pencipta dan pengatur semua urusan di alam semesta. Dia menciptakan apapun yang dikehendaki dalam sekejap, meskipun harus menciptakan jutaan matahari seperti matahari yang menerangi bumi kita.
Ketika seseorang membangun hubungan dengan Dzat seperti itu dan berkeluh-kesah di hadapan-Nya, bersujud di hadapan-Nya, dan mencucurkan air mata atas masalah yang dihadapinya, tentu saja cahaya harapan akan menerangi lubuk hatinya.
Mengejar Berkah Ramadhan (17)
Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada permulaan Islam adalah Isra' Mikraj Rasulullah Saw. Mikraj merupakan salah satu mukjizat terbesar Rasulullah dan akal manusia tidak mampu menalar hakikat perjalanan ini. Berdasarkan sebagian riwayat, Isra' dan Mikraj Rasulullah Saw terjadi pada tanggal 17 Ramadhan.
Pada dasarnya, Mikraj adalah perjalanan yang keluar dari alam materi dan melangkah ke alam yang lebih tinggi. Mukjizat Ilahi ini diberikan karena penghambaan tulus yang dilakukan Rasulullah Saw, dan ada banyak ayat dan riwayat yang menyingkap keagungan peristiwa ini. Sebenarnya Mikraj adalah perjalanan Rasulullah dari bumi menuju ke Arsy.
Diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah pada malam Mikraj dan memberinya sebuah tunggangan yang disebut Buraq. Rasul Saw menaiki Buraq tersebut dan berangkat ke Baitul Maqdis.
Di Masjid al-Aqsa, Rasulullah menjadi imam shalat untuk para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi lain. Setelah itu, beliau memulai perjalanan ke langit dan diterbangkan sampai langit ketujuh. Nabi Muhammad Saw menyaksikan berbagai peristiwa menakjubkan dan tanda-tanda kebesaran Allah Swt di setiap lapisan langit yang dilewatinya.
Rasulullah Saw menyaksikan makhluk-makhluk ciptaan Allah, para malaikat, dan keajaiban penciptaan, serta bertemu dengan para nabi. Di sana diperlihatkan surga dan neraka, kondisi para penghuni surga beserta nikmat yang mereka peroleh, serta kondisi ahli neraka dan siksaan yang mereka terima. Malaikat Jibril menemani beliau di sepanjang perjalanan spiritual ini.
Rasul dan Jibril naik hingga langit keenam dan menyaksikan keagungan penciptaan yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka akhirnya sampai di langit ketujuh dan di sini Malaikat Jibril harus berpamit sambil berkata kepada Nabi Muhammad, “Aku tidak diizinkan untuk memasuki tempat ini (Sidratul Muntaha) dan jika aku mendekat selangkah lagi ke sana, niscaya sayapku akan terbakar.”
Rasul Saw melihat Sidratul Muntaha (sebuah tempat atau pohon di langit yang disinggung dalam al-Quran) di langit ketujuh. Beliau mencapai puncak kedekatan tertinggi dengan Tuhan di Sidratul Muntaha. “Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS: An-Najm ayat 9).
Kegiatan tadarus perempuan di kota Tehran.
Allah Swt kemudian memberikan perintah dan pesan-pesan yang sangat penting kepada Rasulullah, dan terjadi sebuah dialog yang indah antara Tuhan dan Muhammad yang diabadikan dalam Hadis Mikraj. Ia adalah sebuah hadis Qudsi yang menerangkan tentang percakapan Allah Swt dengan Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan Isra dan Mikraj.
Setelah dialog tersebut, Nabi Muhammad Saw kembali ke bumi dan tiba di rumah Ummu Hani (putri paman Nabi) di Mekkah sebelum terbit fajar.
Mikraj Rasulullah Saw adalah sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi dan ini dibuktikan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis mutawatir. Isra' Mikraj adalah bagian dari sejarah dan keyakinan umat Islam dan semua mazhab menyepakati masalah ini. Sejumlah riwayat mutawatir dan sebagian doa juga menyinggung peristiwa Isra' Mikraj dan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS: Al-Isra ayat 1)
Seorang mufasir besar al-Quran, Allamah Muhammad Husain Thabathaba'i ketika menafsirkan ayat pertama surat al-Isra berkata, "Segala puji bagi Allah Swt yang dengan keagungan-Nya telah memberangkatkan Muhammad Saw pada malam hari untuk memperlihatkan kekuasaan dan keagungan-Nya. Di kegelapan malam, Muhammad diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsa di Baitul Maqdis yang diberkahi. Perjalanan malam hari ini untuk memperlihatkan keagungan dan ayat-ayat-Nya kepada dia. Allah Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui kondisi Rasul-Nya dan Dia tahu bahwa Muhammad layak untuk mendapatkan perhatian dan tempat seperti ini."
Hadis Mikraj telah merekam percakapan antara Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw di Sidratul Muntaha. Hadis ini dimulai dengan ucapan Rasulullah yang berbunyi, "Ya Tuhan! Perbuatan apa yang terbaik?" Tuhan menjawab, "Tidak ada yang lebih baik selain bertawakkal kepada-Ku dan menerima apa yang telah Aku tetapkan."
Jawaban singkat ini dengan sendirinya dapat menjadi kunci untuk mengatasi berbagai rintangan dalam menempuh jalan kesempurnaan. Tawakkal berarti yakin dan percaya kepada Allah Swt, sebuah sandaran yang membuat jiwa manusia tenteram.
Di bagian lain hadis Mikraj, Allah berfirman kepada Rasul-Nya, "Wahai Ahmad! Ibadah itu ada sepuluh bagian, sembilan di antaranya mencari apa yang halal. Jadi, jika engkau memperoleh makanan dan minumanmu dari jalan yang halal, maka engkau akan berada dalam perlindungan-Ku."
Rasulullah kemudian bertanya, "Ya Tuhan! Ibadah apa yang paling utama?" Allah berfirman, "Wahai Ahmad! Tidak ada ibadah yang lebih utama di sisi-Ku selain diam dan puasa. Jadi, siapa yang berpuasa tetapi tidak menjaga lisannya, ia seperti orang yang shalat tetapi tidak melafalkan apapun."
Dari perkataan ini dapat dipahami bahwa langkah pertama dalam penghambaan Tuhan adalah diam (menjaga lisan) dan berpuasa. Kedua perkara ini merupakan tahap pertama dalam ibadah dan kesempurnaan manusia.
Selama manusia membiarkan lisannya bebas liar serta membicarakan perkara batil dan sia-sia, maka ia masih belum berada di jalan penghambaan dan pada akhirnya tidak akan sampai ke tempat tujuan. Jika manusia bisa mengontrol lisannya, mereka akan terbebas dari banyak dosa seperti berdusta, menggunjing, menyebarkan fitnah, dan jenis-jenis lain dosa lisan.
Mengenai sikap diam, Imam Ali Ridha as berkata, “Diam adalah salah satu pintu hikmah; ia akan mendatangkan kecintaan dan membimbing manusia kepada setiap kebaikan.”
Demikian juga dengan perut, jika manusia membiarkannya bebas terisi makanan, ini akan seperti binatang di mana hanya fokus pada makan dan tidak melangkah lebih dari itu.
Para guru irfan berpendapat bahwa salah satu jalan mensucikan jiwa dan membersihkan diri adalah menahan lapar. Menahan lapar pada batas yang wajar akan membuka pintu pemahaman bagi manusia.
Allah Swt kembali berfirman, “Wahai Ahmad! Apakah engkau tahu kenikmatan dari rasa lapar, keheningan, dan kesendirian, serta manfaatnya?” Rasulullah berkata, “Ya Rabb! Apa manfaatnya rasa lapar?” Tuhan menjawab, “Ia akan mendatangkan hikmah (kebijaksanaan), hikmah akan mendatangkan pengetahuan dan pengetahuan akan mendatangkan yakin. Begitu seseorang mencapai derajat yakin, dia tidak peduli tentang bagaimana dia memulai harinya, apakah dalam kesulitan atau dalam kemudahan."
Dari peristiwa Isra' Mikraj dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kapasitas yang sangat besar dan ia dapat menaiki puncak kesempurnaan. Para nabi seperti Ibrahim as juga telah menyaksikan kebesaran Allah Swt di bumi dan langit, tetapi Rasulullah Saw sudah berada pada posisi yang sangat dekat dengan Allah, “Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).”
Mengejar Berkah Ramadhan (16)
Bulan Ramadhan telah tiba dan ini tahun kelima saya menjalani puasa secara penuh. Ibu sedang sibuk menyiapkan menu berbuka puasa di dapur. Aroma makanan dan kue-kue telah memenuhi ruangan, dan ayah pun datang ke rumah dengan membawa roti baru.
Doa-doa menjelang buka puasa yang disiarkan televisi telah menambah nuansa spiritual Ramadhan. Hidangan berbuka telah siap dan semua tersusun rapi di atas taplak mulai dari kurma, teh, kue-kue, roti, keju, dan sayur lalapan. Bulan Ramadhan selalu memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mempererat silaturahmi. Begitu suara adzan terdengar, ayahku mengangkat kedua tangannya memimpin pembacaan doa berbuka puasa, dan kemudian perlahan berkata, "Taqabalallah."
Ini adalah kisah bulan Ramadhan yang selalu menghadirkan kesempatan kepada kami untuk berkumpul bersama. Bulan ini memberikan kita peluang untuk memperbaiki diri dan mempererat silaturahmi dengan sanak keluarga.
Kehadiran bulan Ramadhan mengubah pola hidup banyak orang, jenis makanan, waktu istirahat dan tidur, durasi jam kerja, dan bahkan pola konsumsi dan belanja di bulan penuh berkah ini. Pada dasarnya, perubahan pola hidup merupakan salah satu hadiah bulan Ramadhan yang bisa dimanfaatkan untuk mengubah hal-hal lain ke arah positif.
Di antara keistimewaan bulan Ramadhan adalah memperkuat pondasi keluarga dan ikatan silaturahmi dengan cara menyantap sahur dan berbuka bersama-sama. Jika sebelum ini, anggota keluarga sibuk dengan rutinitas masing-masing dan jarang bisa menyantap makanan dalam satu meja, maka selama Ramadhan, setiap anggota keluarga akan berusaha untuk bisa berbuka puasa di rumah dan pemandangan seperti ini akan terulang di waktu sahur.
Kegiatan buka puasa bersama di Kompleks Makam Sayidah Maksumah di kota Qum,Iran.
Sejak kami masih kanak-kanak, ibu sudah menanamkan nilai-nilai agama kepada kami dan ketika dia membawa kami ke taman atau tempat liburan, ibu memperkenalkan nikmat-nikmat Tuhan kepada kami sambil bertamasya dan kami takjub dengan nikmat-nikmat itu.
Ibu memperlihatkan kepada kami perbedaan daun pepohonan dan menjelaskan tentang bunga mawar dan keindahannya, sehingga muncul pertanyaan dalam benak kami, siapakah gerangan yang menciptakan bunga yang indah ini dengan beragam bentuknya, urat-uratnya yang hijau dan penuh warna? Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.
Uniknya, puasa akan membentuk kesabaran dan ketahanan di antara orang-orang yang menjalaninya dan menumbuhkan rasa kasih sayang antar-sesama. Oleh sebab itu, salah satu kesan manis puasa bagi kami adalah kami menjadi lebih ramah dan lebih penyayang di bulan Ramadhan, terutama sang ayah.
Rasulullah Saw dalam khutbah Sya'baniyah berkata, "… Hormatilah orang-orang yang lebih tua dari kalian, sayangilah anak-anak kecil kalian, sambunglah silaturahmi kalian, jagalah lidah kalian, jagalah pandangan kalian dari apa yang terlarang, jagalah pendengaran kalian dari yang tidak diperbolehkan…"
Aku sangat mengagumi nuansa spiritual Ramadhan terutama di waktu sahur. Bulan ini sangat mengesankan bagiku dengan kegiatan-kegiatannya seperti, acara buka puasa bersama di rumah atau masjid-masjid, tadarus al-Quran, dan jalinan silaturahmi dengan teman-teman. Jika perjamuan Ilahi ini kita sambut dengan suka cita, maka kebahagiaan akan memenuhi setiap relung kita.
Ayahku berkata, "Kita harus meningkatkan ibadah di bulan puasa dan memanfaatkan momen Ramadhan serta menerangi hati kita dengan infak, membaca al-Quran, dan berdoa. Jika kita meneranginya dengan ibadah, pengaruhnya akan besar dalam kehidupan kita."
Maulawi dalam bukunya Matsnawi, mengangkat sebuah kisah tentang bagaimana cara seseorang dapat mengubah perilakunya. Kisah ini mengajarkan kita bahwa kita dapat meninggalkan perilaku buruk dengan memperkuat tekad.
Bulan Ramadhan memberikan sebuah kesempatan kepada kita untuk memperbaiki perilaku buruk, meninggalkan sifat-sifat tercela, dan menggantikannya dengan sifat terpuji.
Maulawi berkata, "Ada seorang anak muda yang berperangai buruk dan selalu menyakiti orang-orang di sekitarnya. Meskipun telah berusaha, tetapi ia tidak mampu melawan perilaku buruknya itu. Suatu hari, ayahnya memberikan sebuah palu dan beberapa biji paku kepadanya sambil berkata, 'Setiap kali engkau marah, tancapkanlah sebuah paku ke dinding ini. Pada hari pertama, pemuda itu terpaksa menancapkan banyak paku di dinding. Di sore hari, ia mulai melihat tingkat kemarahannya di sepanjang hari tadi.
Di hari-hari berikutnya, pemuda itu berusaha untuk meredam amarahnya sehingga tidak perlu menancapkan banyak paku di dinding. Setiap malam, ia mulai menjaga perilakunya dan dengan berkurangnya jumlah paku yang ditancapkan, ia semakin optimis bisa mengubah perilakunya. Seiring berjalannya waktu, jumlah paku yang ditancapkan ke dinding semakin berkurang dan terus berkurang.
Dengan demikian, pemuda tersebut merasa bahwa akhlak buruk dan amarah telah hilang darinya. Ia kemudian menceritakan perkembangan itu kepada ayahnya. Sang ayah yang cerdik mengusulkan kepadanya untuk mencabut satu paku setiap kali ia bisa mengontrol emosinya.
Setelah beberapa hari berlalu, pemuda itu telah mencabut semua paku yang tertancap di dinding. Sang ayah kemudian memegang tangan anaknya dan membawanya mendekat ke dinding tersebut.
Sang ayah berkata, "Beruntunglah, engkau memiliki tekad yang baik, tapi tataplah lubang-lubang di dinding ini. Anakku, ketika engkau mengatai orang lain dalam keadaan marah, engkau seperti sedang menancapkan paku ke dinding hati mereka. Luka yang menggores hati seseorang akan membekas dan tidak mudah untuk menghapusnya."
Nasihat ayahnya membuat pemuda tersebut sadar dan ia bertekad untuk meninggalkan perilaku buruk dan bersikap baik dengan orang lain.
Bulan Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk melatih memperbaiki perilaku individual dan sosial. Jika manusia selalu mengawasi perilakunya di bulan puasa dan menanamkan nilai-nilai moral dalam dirinya, maka setelah Ramadhan usai, mereka tetap akan mampu mempertahankan nilai-nilai baik tersebut.
Mengejar Berkah Ramadhan (15)
Bulan suci Ramadhan sebagai jamuan penting yang dihidangkan Allah swt untuk hamba-Nya. ِDi bulan agung ini, Allah swt menyuguhkan sajian yang paling istimewa yaitu puasa.
Puasa sebagai hidangan penting bulan agung ini, tidak hanya melatih individu untuk menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum maupun hal-hal yang membatalkan lainnya. Lebih dari itu, puasa sebagai bentuk latihan untuk meningkatkan spiritualitas dan moralitas tidak hanya individu tapi juga masyarakat dengan nilai-nilai mulia seperti sikap berbagi, solidaritas, kebersamaan dan persaudaraan. Oleh karena itu, ibadah lain selain puasa yang ditekankan di bulan suci Ramadhan adalah berinfak, yang didefinisikan dalam al-Quran sebagai membelanjakan harta demi meraih keridhan Allah.
Dalam surat al-Baqarah ayat 265 Al-Baqarah, Allah swt berfirman,"Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.".
Bulan suci Ramadhan memperkuat ikatan persahabatan dan persaudaraan antarsesama Muslim. Di bulan ini, dianjurkan untuk lebih dekat dengan orang-orang miskin dan yang membutuhkan. Di bulan Ramadhan, orang yang berpuasa diajak untuk merasakan kelaparan dan penderitaan orang-orang yang kekurangan harta.
Selain memperkuat spiritualitas, Ramadhan juga meningkatkan kebaikan kolektif. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Antarsesama Muslim laksana anggota badan, ketika salah satunya sakit, maka anggota lain juga merasakan sakit." (Kanzul Umal, hadis 759) ). Imam Sadiq berkata, "Sesama Mukmin bersaudara, seperti satu tubuh jika salah satu anggota badan terluka, maka yang lain juga merasakan sakit." (Ushul Kafi, hlm. 2, p. 166).
Di berbagai negara Muslim, bulan suci Ramadhan sebagai momentum untuk saling berbagi dan meringankan penderitaan orang lain, terutama anak-anak yatim dan piatu.
Program amal untuk panti asuhan dan anak-anak yatim dan piatu menjadi program rutin yang telah diterapkan di Iran selama bertahun-tahun. Program swadaya masyarakat ini dilakukan dalam berbagai bentuk dengan tujuan untuk menyenangkan hari anak yatim dan piatu, dan meringankan penderitaan orang-orang miskin dan yang membutuhkan.
Kegiatan membantu anak-anak yatim di bulan Ramadhan dilakukan secara teroganisir melalui institusi atau yayasan yang dikelola oleh masyarakat. Setiap donatur menerima tanggung jawab sebagai orang tua asuh satu atau lebih anak yatim dan menyetorkan sejumlah dana bulanan secara rutin ke setiap rekening bank.
Hari kesyahidan Imam Ali juga disebut sebagai hari kecintaan terhadap anak yatim piatu. Sebab, Imam Ali bin Abi Thalib merupakan figur yang memiliki perhatian tinggi terhadap anak-anak yatim dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Sejarah mencatat kesyahidan Imam Ali meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi anak-anak yatim dan orang-orang miskin di masa itu.
Di penghujung bulan suci Ramadhan yaitu hari raya Idul Fitri, ada acara khusus untuk membantu para tahanan yang membutuhkan, supaya kembali ke keluarganya dengan membantu membayarkan uang tebusan mereka. Selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan, berbagai kegiatan amal dilakukan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari sesama umat manusia.
Spirit memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan tidak datang kepada siapa saja. Barangkali banyak orang memiliki kelebihan uang, tetapi mereka tidak tergerak untuk membantu orang lain. Memang tidak semua masalah memerlukan penyelesaian keuangan, Terkadang dengan berapa nasehat atau masukan juga bisa membantu orang lain. Imam Musa Kazim memandang pertumbuhan dan kesempurnaan manusia terletak dalam kasih sayangnya dan upayanya membantu orang lain.
Beliau berkata, "Selama orang-orang di bumi saling mencintai, menunaikan amanat dan menempuh jalan yang benar, maka Allah akan memuliakan mereka. Allah swt menjadikan hamba-Nya di bumi yang berusaha memenuhi kebutuhan manusia sebagai orang-orang yang beriman kepada Kebenaran dan Hari Kebangkitan. Barangsiapa yang menyenangkan hati orang mukmin, maka Alalh swt di hari kiamat kelak akan menyenangkan hatinya".
Al-Qur'an menyerukan pentingnya infak, dan Allah swt memuji hambanya yang menginfakan hartanya, baik di saat mendapat kelebihan harta, maupun di kala sulit dan terhimpit masalah keuangan.
Infak memainkan peran penting dalam pendidikan akhlak. Oleh karena itu, para tokoh agama Islam telah menempatkannya sebagai amalan penting dan tinggi dalam kehidupan manusia.
Tidak hanya memberikan nasihat mengenai pentingnya infak, para pemuka agama Islam memberikan contoh terbaik dalamm infak yang dilakukan secara rahasia maupun terbuka yang diketahui oleh orang-orang terdekat mereka. Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah bersama dua putranya, telah memberikan contoh terbaik dalam infak yang dicatat dalam sejarah.
Mengenai hal ini Ibnu Abbas menceritakan, "Suatu hari Ali bin Abi Thalib hanya memiliki luang empat dirham. Beliau menginfakkan satu dirham secara diam-diam di waktu malam, dan satu dirham lainnya disedekahkan secara terbuka." Kemudian Allah swt menurunkan wahyu al-Quran surat al-Baqarah ayat 274 yang berbunyi,"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,".
Contoh lain dari amalan penting di bulan suci Ramadhan adalah memberikan iftar atau buka puasa kepada orang-orang yang berpuasa. Iftar adalah salah satu amalan sunnah yang sangat tinggi pahalanya, bahkan setara dengan membebaskan seorang budak untuk satu orang yang diberi iftar dan Allah juga mengampuni dosanya. Masalah Ini sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Berbagi makanan kepada orang lain sangat ditegaskan dalam Islam. Itulah sebabnya selama bulan suci Ramadhan digelar buka puasa di rumah dan masjid. Memberikan iftar membuka hati orang-orang beriman yang akan meningkatkan kecintaannya kepada Allah swt.
Menjelang buka puasa, munajat dan doa mengalir dari hati orang-orang mukmin. Lantunan ayat al-Quran dan kebahagiaan anak-anak yatim dan orang-orang yang membutuhkan menambah keberkahan di bulan agung ini.



























