کمالوندی

کمالوندی

 

Disebutkan dialog Nabi Khidir As dengan Nabi Musa As dalam ayat 74 surat al-Kahfi. Alasan apa yang membuat Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil? Apakah peristiwa seperti ini dapat dikatakan terjadi atas izin Allah Swt?

Jawaban Global

Islam adalah agama kebijaksanaan, akal dan hikmah. Dari sejak awal diturunkannya sejak masa Nabi Adam as., Islam telah mepersembahkan ajaran-ajarannya yang dipenuhi cahaya hikmah yang menjadi suluh pelita perjalanan umat manusia. Ya, Islam telah melahirkan pribadi-pribadi terpilih dari rahim suci ajarannya. Sejarah telah mencatat dengan sangat baik betapa banyak sosok-sosok agung nan cemerlang yang menghiasi cakrawala kebijaksanaan yang terlahir, dibimbing dan dibesarkan oleh ajaran Islam yang suci. Bahkan di kitab suci al-Qur’an, hampir sepertiga isinya menceritakan tentang kisah-kisah orang-orang yang terdahulu, baik mereka yang ingkar seperti Fir’aun dan Qarun, maupun mereka yang taat dan menjadi kebanggaan kebijaksanaan seperti para Nabi, alim-ulama dan mereka yang dekat dengannya. Yang mana melalui perantaraan merekalah kita bisa mengambil pelajaran dan mereguk hikmah suci Ilahi ini.

Salah satu kisah yang terkenal yang disebutkan oleh al-Qur’an mengenai kebijaksanaan dan hikmah orang-orang terdahulu ini terekam dalam Surat al-Kahfi: 74 yang artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar." Begitu terkenalnya kisah ini hingga ia sampai diabadikan oleh Allah Swt dalam kalam suci-Nya, yang mana ini menandakan nilai penting kisah ini dan kedalaman hikmahnya. Ini jelas karena mustahil Allah meletakkan dalam al-Qur’an firman-Nya yang tidak mempunyai makna.

Namun ketika sekilas membaca kisah yang diabadikan dalam salah satu ayat al-Qur’an diatas kita seolah-olah melihat sebuah kontradiksi yang sangat keras. Bagaimana tidak? Ayat di atas menyajikan kisah tentang salah seorang Nabi Allah yang dipuji oleh Allah mempunyai ilmu khusus, yaitu Nabi Khidhir as, yang mana sebagai seorang Nabi ia sudah sepatutnya bersikap lembut dan penuh kasih-sayang. Apalagi terhadap seorang anak. Namun pada ayat di atas disebutkan dengan jelas tindakannya yang langsung membunuh seorang anak (ghulam) yang baru saja ditemuinya di suatu desa. Anak yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukankah ini merupakan sebuah keganjilan yang sangat mencolok? Bagaimana bisa seorang Nabi yang dipuji ilmunya oleh Allah Swt dalam al-Qur’an melakukan hal seperti ini? Bagaimana seorang Nabi bisa dengan mudahnya menumpahkan darah seorang anak yang tak berdosa? Bahkan Nabi Musa as. sendiri yang saat itu sedang mengiringinya pun –yang notabenenya sama-sama Nabi- sampai melanggar janjinya sendiri untuk tidak membuka mulutnya dan memprotesnya dengan keras!

Jika al-Qur’an adalah kita yang penuh hikmah dan tidaklah semua isinya kecuali hikmah dan kebijaksanaan, maka gerangan apa yang dikehendaki Allah dengan mengabadikan kisah ini di al-Qur’an? Bukankah ini seperti menorehkan tinta hitam pada kertas putih bersih semata? Tidakkah Allah Swt malah mencederai Nabi-Nya sendiri dengan kisah ini? Tidakkah Ia malah memaklumatkan ketidaksempurnaan-Nya dengan hal ini? Tentu saja, jawabannya adalah tidak! Justru sebaliknya, jika kita pahami dengan lebih teliti, kita akan menemukan kebijaksanaan dan hikmah yang sangat besar di dalamnya. Mari kita bahas bersama!

Jawaban Detil

Sebelum kita membahasnya dengan lebih rinci dan memecahkan kemusykilan ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui beberapa hal dasar yang akan kita jadikan pijakan awal pembahasan ini. Hal-hal tersebut adalah;

Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Khidir As adalah hamba Allah Swt yang memliki ilmu dan rahmat khusus Ilahi.
Beberapa ayat dan riwayat yang ada memberi pemahaman bahwa terbunuhnya anak yang baru balig (ghulam) tersebut bukanlah akibat dari tindakan yang dilakukan karena kebencian, hawa nafsu atau amarah.
Kematian anak tersebut di tangan Nabi Khidir As atas perintahdan izin Allah Swt.
Tanpa diawali dialog atau percekcokan antara Nabi Khidir As dengan anak tersebut, Nabi Khidir As sengaja dengan penuh kesadaran membunuh anak tersebut. Jadi pembunuhan ini bukan kebetulan atau kecelakaan (ketidaksengajaan).
Ayah dan ibu dari anak yang dibunuh tersebut adalah orang-orang Mukmin yang mendapat anugerah khusus dari Allah Swt. Nabi Khidir As ketika itu sangat mengkhawatirkan kedua orangtua si anak menjadi kafir dan sesat karena perangai buruk anak tersebut kelak.
Merujuk ayat-ayat terkait peristiwa ini serta riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As, dapat dipahami bahwa Allah Swt hendak mengaruniai seorang anak perempuan kepada sepasang suami istri tersebut sebagai gantinya. Kelak dari rahim anak perempuan ini lahir nabi-nabi. Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, sekitar 70 nabi yang lahir dari keturunan anak perempuan tersebut. Sedangkan anak laki-laki tersebutmenjadi penghalang lahirnya nabi-nabi tersebut.
Anak laki-laki yang dibunuh Nabi Khidir tersebut tenggelam dalam kekufuran dan tiada harapan sedikitpun untuk menerima hidayah. Kekufuran serta keingkaran terhadap kebenaran mengakar di dalam hatinya, kendati secara lahiriah tampak seperti seorang suci. Dengan kata lain, kejahatan anak laki-laki tersebut adalah kufur atau murtad secara fitrah dan balasan setimpal bagi orang seperti ini tidak lain adalah hukuman mati.
Kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat yang sangat banyak diantaranya adalah terpeliharanya iman kedua orangtuanya, kedua orangtua anak laki-laki tersebut terhindar dari segala bentuk kesedihan akibat adanya hubungan dan rasa kekeluargaan, merasa gembira karena telah sukses menjalani qada dan qadar Ilahi, memperoleh keberkahan yang melimpah (melalui anak perempuannya), Nabi Musa dapat mengetahui sebagian rahasia, ilmu gaib dan hakikat batin, teraplikasinya aturan-aturan Tuhan melalui Nabi Khidir As, mencegah bertambah beratnya pertanggungjawaban amal jelek anak laki-laki tersebut akibat perbuatan yang kelak akan dilakukannya (diantaranya: menyesatkan serta mengganggu kedua orangtuanya) dan lain sebagainya.
 

Setelah kita mengetahui fakta-fakta di atas, maka hal penting lain yang harus kita perhatikan adalah bawa diantara sifat kesempurnaan (kamaliyah) Allah Swt adalah sifat Hakim (Mahabijak). Sifat ini termanifestasi baik pada tataran takwini ataupun tasyri’i. Walaupun mungkin saja semua orang tidak mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang yang tahu tentang sebagian rahasia keberadaan alam. Salah seorang yang mendapat anugerah rahmat dan inayah khusus serta pengajaran Ilahi dan ilmu ladunni adalah Khidir As yang selain memperoleh rahmat dan ilmu Ilahi serta taufik menyampaikan sebagian dari rahasia-rahasia tersebut kepada Nabi Musa As, ia juga mendapat perintah untuk menjalankan hukum Ilahi.

Oleh karena itu, terkait dengan tewasnya anak laki-laki tersebut di tangan Nabi Khidir As, dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, kita dapat menemukan sebuah jawaban yang sederhana, yaitu bahwa semuanya tak lain dari hikmah dan Kemahapengaturan Allah Azza Wa Jalla yang terejawantahkan melalui tangan Nabi Khidhir as. Kendati kata ghulam memiliki makna yang bermacam-macam, seperti pelayan, anak kecil, anak dewasa, baru balig dan lain sebagainya. Akan tetapi makna yang dianggap sesuai pada (ayat-ayat 74 dan 80 surat Al-Kahfi) adalah anak laki-laki yang baru balig yang baru tumbuh kumisnya dan sesuai pula dengan sebagian ayat dan  riwayat.[1] Karena itu berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang  yang tewas di tangan Nabi Khidir As itu adalah seorang anak laki-laki yang baru balig dan bukan seorang anak kecil!

Kemudian, kematian anak laki-laki tersebut tidaklah diawali dengan dialog atau percekcokan yang memunculkan rasa amarah dan emosi atau karena nafsu jahat. Nabi Khidhir sama sekali tidak betengkar dan bersilang pendapat dengan pemuda itu, akan tetapi beliau langsung membunuh anak itu dengan pedang. Dan itu semua dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan. Bukan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan. Nabi Khidir As melakukan hal ini tanpa ada rasa ragu sedikitpun dalam hatinya dan mengamalkannya sesuai dengan ilmu Ilahi dan batini yang dianugerahkan Allah padanya.[2] Wal-hasil bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah kejadian yang bersifat kebetulan. Dan berdasarkan ma’arif Al-Qur’an dan kalimat-kalimat agung para Imam Ma’shum As serta tinjauan filsafat, bahwa di alam ini tidak ada istilah “kebetulan”. Proses pembunuhan ini dilakukan oleh seorang hamba khusus Allah Swt yang dianugerahi rahmat dan ilmu khusus dari Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya dalam surat al-Kahfi ayat 65:”lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”.

Di sini, Nabi Khidir As dengan berdasar pada perintah dan hukum Ilahi, bertindak sebagai pelaksana perintah tersebut[3] atau ia berposisi sebagai sebab diantara sebab-sebab takwini  pada terealisasinya kehendak dan keinginan Ilahi. Sedangkan Nabi Musa as saat itu bertindak berdasarkan pada hukum Ilahi yang lain yang ada di bawahnya, yaitu hukum tasyri’i atau syari’at. Karena itulah Nabi Musa as memprotes tindakan Nabi Khidhir as yang menurutnya tidak sesuai. Baru setelah dijelaskan oleh Nabi Khidhir as, Nabi Musa as menerimanya dan tunduk padanya.

Di sisi lain, ayah dan ibu anak laki-laki tersebut adalah orang-orang mukmin yang Allah Swt karunia inayah dan taufik khusus. Dan berdasarkan ilmu zat-Nya Allah Swt tahu bahwa kalau anak laki-lakinya itu hidup, maka kedua orang tua tersebut akan terjerumus ke dalam fitnah, kekufuran dan kesesatan yang luar biasa dimasa mendatang. Dengan alasan ini Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki tersebut dan dengan inayah ini Allah Swt memberikan maqam kemuliaan khusus kepada kedua orangtua tersebut di akhirat.[4]

Bersandarkan pada riwayat-riwayat yang sampai ke kita, dapat dikatakan bahwa Allah Swt hendak mengganti anak laki-laki tersebut -dengan melihat keimanan serta kesabaran yang dimiliki oleh orang tua itu- dengan seorang anak perempuan yang lahir dari keturunannya  sekitar 70 nabi. Dan ini merupakan balasan pahala yang lebih baik dan sebuah rahmat yang lebih dekat dan lebih banyak.[5]

Laki-laki yang disebutkan di atas adalah seorang laki-laki kafir (atau murtad secara fitrah) dimana tidak ada sedikit pun harapan pada dirinya untuk memeperoleh cahaya petunjuk dan hidayah Ilahi. Kalau hidup, Ia tidak hanya semakin larut dan tenggelam dalam kerusakan dan kejahatan, tapi ia juga akan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain, khususnya orang tuanya ikut tersesat. Jadi kematiannya itu merupakan akibat dari kekufuran atau kemurtadannya serta tidak ditemukan tanda-tanda sedikit pun kalau ia akan beriman dan meninggalkan kekufuran[6]. Dan Nabi Khidir As dengan ilmu ladunninya tahu akan hal itu, kendati secara lahiriah Nabi Musa As tidak punya pengetahuan akan hal itu. (masalah kemurtadan sebagai sebuah pandangan bisa menjadi fokus perhatian).

Dengan ungkapan lain, kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat dan guna yang cukup banyak dimana ia bisa dikatakan sebuah amalan yang sudah diperhitungkan secara matang. Dan juga merupakan sebuah lingkaran matarantai alam semesta yang indah ini dan merupakan sebuah tanda dari hikmah dan kekuatan Ilahi serta sebuah rahasai dari ribuan rahasia tersembunyi alam semesta ini. Diantara rahasia-rahasia tersebut adalah: Kedua orang tua mukmin dari anak laki-laki tersebut dapat terhindar dari bahaya kesesatan yang mungkin saja menimpa mereka akibat adanya hubungan rasa kekeluargaan dengan anak laki-lakinya itu. Mereka telah menunjukkan kesabaran, kerelaan serta kepasrahan atas qadha dan qadar Allah Swt sehinga berhasil dan sukses menjalani ujian Ilahi. Guna terealisasinya keinginan dan kehendak Ilahi dan penganugerahan seorang anak perempuan yang merupakan sumber keberkahan, maka Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki kafir tersebut yang mana dianggap sebagai penghalang.

Melalui peristiwa ini, dan dengan pengenalan serta kebersamaan Nabi Musa As dengan salah seorang hamba suci Allah Swt yang merupakan sebuah lautan ilmu dari ilmu-ilmu Ilahi dan rahasia dari segala rahasia Tuhan terbuka untuk maqam mulia tersebut serta pancaran cahaya dari ilmu dan hakikat yang gaib. Dan beliau mencapai maqam kesempurnaan sesuai izin yang Allah Swt anugerahkan. Berkenaan hal ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa:”Nabi Musa As berkata kepada Hadrat Khidir As: bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?”.[7]

Ya, dengan melaksanakan perintah Allah Swt dan kematian anak laki-laki tersebut, maka catatan amal jeleknya pun tertutup dan mencegah akan bertambahnya catatan amalan dosa yang akan dilakukannya dimasa mendatang dan lain sebagainya. Dengan kata lain bahwa kematian laki-laki tersebut membawa manfaat yang cukup banyak bagi orang-orang yang punya hubungan khusus dengan peristiwa tersebut, baik itu bagi laki-laki tersebut (yang mati), dan juga bagi kedua orangtua laki-laki tersebut serta bagi Nabi Khidir As dan yang menyertainya. []     

 

[1] . Mu’jam Muqayisullughah; al Afshah, jilid 1 halaman 11; al ‘Ain, jilid 4 halaman 442; Farhangg-e buzurg-e jame-e nuvin, jilid 3 halaman 1127; Mufradat Raghib; Aqrabul Mawarid; Muhammad Mahdi Fuladawan, Tarjume-e qur’an-e karim, ayat 74 dan 80.

[2] . tafsir Shafi, jilid 2; Biharul anwar, jilid 13 halaman 284.

[3] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 284; Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.

[4] . Qs. Al Kahfi ayat 80; Allamah Majlisi, Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.

[5] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286, hadits 170-173; Biharul anwar, jilid 13 halaman 311; Ushul Kafi, jilid 2 halaman 83.

[6] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286; tafsir Shafi, jilid 3 halaman 255; tafsir Majma’ al Bayan dan tafsir ‘Ayyasyi (ayat-ayat yang ada kaitannya dengan peristiwa Hadrat Hidir As dan Nabi Musa As); ‘Ilalusysyarayi’.

[7] . Qs. Al Kahfi ayat 66.

Selasa, 21 Desember 2021 16:42

Hukum Riba

 

Apa pengertian riba? Dimana Perbedaan mendasar pada riba dan jual beli dimana yang satu nya haram dan yang lainnya halal?

Pertanyaan

Apa pengertian riba? Dimana Perbedaan mendasar pada riba dan jual beli dimana yang satu nya haram dan yang lainnya halal?

Jawaban Global

Istilah riba bisa terjadi dalam dua hal:

Riba qardhi ( riba dalam utang atau biasa disebut dengan riba dain)

Riba muâ’malah (riba dalam transaksi jual beli)

Riba qardhi disebut sebagai utang yang untuk hal tersebut ditetapkan satu persyaratan atau dengan kata lain mengambil manfaat tambahan dari utang tersebut. (dalam apa yang masuk dalam persyaratan utang yang menyebabkan perbuatan tersebut masuk dalam kategori perbuatan haram terdapat perbedaan di antara para ulama fikih).

Riba jual beli disebut sebagai transaksi jual beli yang pertama: jual beli dengan dua jenis barang yang sama, kedua: barang yang dijadikan jual beli di timbang atau ditakar (setimbang dan seukuran), ketiga: dua barang yang tidak sama jenis.[1] Contohnya transaksi atau barter dua kilo gram beras jenis Pandanwangi dengan tiga kilo beras jenis IR64 lokal.

Namun, harus diperhatikan mungkin secara lahir sebagian dari transaksi nampaknya tidak masuk dalam kategori dua jenis riba di atas, namun dengan memperhatikan lebih detil kita melihat kenyataannya  hal tersebut tidak lain daripada riba dan mungkin kedua belah pihak menata bingkai transaksi seolah-olah   menghindar dari riba (yang kenyataannya mereka melakukan perbuatan riba). [iQuest]

Untuk penjelasan lebih rinci dalam bidang ini Anda dapat merujuk pada indeks terkait No 14977,  Transaksi Rabawi dalam Bentuk Tunai atau Kredit, dan 17097: Riba dan Tender dengan Menerima Komisi.

 

[1] Silahkan merujuk pada Risâlah-haye Taudhih al-Masâil bagian hukum-hukum jual beli;  diadaptasi dari index 1275.

 

Apa bukti bahwa Islam rahmatan lilalamin? Jawaban Global Al-Quran memberikan isyarat kepada dua macam rahmat, rahmat umum yaitu bagi alam semesta dan rahmat khusus bagi kaum mukminin. Untuk memperjelas bagaimana Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, pada aw

Apa bukti bahwa Islam rahmatan lilalamin?
Jawaban Global
Al-Quran memberikan isyarat kepada dua macam rahmat, rahmat umum yaitu bagi alam semesta dan rahmat khusus bagi kaum mukminin. Untuk memperjelas bagaimana Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, pada awalnya harus dilihat bahwa hal-hal apa saja yang menjadikan rahmat bagi alam semesta dan memerlukan apa saja, apa saja kebutuhan-kebutuhan mendasar dan esensial manusia?
Apabila kita meneliti wujud diri kita, maka kita akan melihat bahwa esensi dan hakikat wujud manusia adalah pikiran dan pengetahuannya. Oleh itu, kebutuhan utama dan pertama manusia adalah hidayah. Dalam hal ini, Islam merupakan hidayah yang paling sempurna bagi manusia.
Untuk menjelaskan agama Islam merupakan rahmat bagi alam semesta harus dikatakan bahwa Islam membuka jalan kepada jalan hidayah dan membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan di dua dunia. Tipologi ini sangat penting di mana tidak ada syarat-syarat ras, jenis kelamin, waktu, tempat dan lain sebagainya untuk dapat melalui jalan ini.
Bagi orang-orang yang berakal, dalil ini telah cukup bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Tentu saja maksud agama Islam merupakan agama rahmat tidak berarti bahwa agama-agama sebelumnya dan para nabi ulul azmi sebelumnya bukan merupakan rahmat bagi alam semesta. Tidak demikian. Hanya saja terdapat dalil-dalil yang mengenalkan bahwa Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah sumber rahmat dan berkah bagi seluruh alam semesta, yaitu bahwa kaum Mukminin akan menerima rahmat yang luas ini; para pembangkang dan penentangnya dikarenakan adanya rasa dengki dan keras kepala, maka mereka tidak akan menerima rahmat Ilahi dan akan menanggung kerugian dunia dan akhirat.
Ada baiknya kami menyebutkan sebagian ayat-ayat al-Quran yang secara gamblang mendeklarasikan bahwa Islam adalah agama rahmat:

    Nabi Islam Sang Nabi Rahmat

«وَ ما اَرْسَلْناکَ اِلاَّ رَحْمَهً لِلْعالَمِینَ»
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs Al-Anbiya [21]: 107)
 
Islam menjadi rahmat bagi seluruh manusia di dunia karena Nabi Muhammad Saw membawa syariat dan ajaran di mana ketika seseorang mengamalkan ajaran-ajarannya, maka ia akan bahagia  di dunia dan di akhirat. Islam akan mendatangkan rahmat bagi ahli dunia dan bagi kaum Mukmin. Ya, Islam merupakan rahmat dari sisi bahwa pengaruhnya sedemikian berkah dan dengan berkah kebangkitan Nabi Saw serta ajakannya kepada kebahagiaan telah membawa perubahan dalam masyarakat, di mana apabila kita membandingkan keadaan masyarakat dunia sebelum dan setelah bi’tsah (pengutusan) Nabi Saw, maka berkah rahmat akan nampak kelihatan secara nyata.

 

Dapatkah Anda jelaskan pelbagai tingkatan dan stasiun sair-suluk?
Jawaban Global
Salah satu penjelasan yang paling terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:

Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) FanaKlasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang sâlik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Meski pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.
Jawaban Detil
Apa yang pasti, seorang salik untuk sampai pada puncak kesempurnaannya harus melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun dalam perjalanan sair dan suluk. Tingkatan-tingkatan ini meski disebutkan dengan nama-nama dan bilangan-bilangan yang berbeda, namun kesemuanya menunjuk pada satu perjalanan tunggal. Tingkatan-tingkatan ini secara umum bermula dari thalab (menuntut), dan setelah mujahadah, memperoleh makrifat dan cinta, berakhir pada puncak perjalanan yaitu perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah). Ungkapan al-Quran terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah Islam, iman, hijrat, jihad, syahâdah, imâmah dan liqaulllâh.

Salah satu penjelasan yang terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:

Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) Fana.[1] 

Kasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang salik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Kendati pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.

Sebagian juga membagi tingkatan sair-suluk menjadi tujuh tingkatan: yakzha (kesadaran), taubat, takwa, tahliyah, tajliyah dan liqauLlâh."[2]

Sebagian arif juga menghitung adanya seratus atau seribu tingkatan suluk (perjalanan).[3]

Salah satu penjelasan eksklusif terkait dengan pelbagai tingkatan sair dan suluk disebutkan dalam risalah yang disandarkan kepada Sayid Bahrul Ulum. Beliau dalam tingkatan-tingkatan sair-suluk menyebutkan dua belas hal[4] yang kesemuanya terhitung sebagai tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat dari Islam, iman, hijrah dan jihad. Adapun dua belas hal tersebut adalah sebagai berikut:

Islam asghar (kecil). Iman asghar (kecil). Islam akbar (besar). Iman akbar yaitu ruh dan makna Islam akbar. Hijrah akbar atau hijrah dari ahli maksiat dan kezaliman. Jihad akbar. Penaklukan dan kemenangan atas lasykar setan. Islam a'zhâm (teragung) atau dominasi atas syahwat-syahwat dan angan-angan. Iman a'zhâm (teragung) atau penyaksian ketiadaan dan fananya ia di hadapan Allah Swt. Hijrah agung atau perpindahan dari wujudnya dan melupakan dirinya. Jihad a'zhâm (teragung) yang ditempuh oleh seorang salik setelah hijrah dari dirinya dan berperantara kepada Zat Suci Allah Swt sehingga seluruh pengaruh ananiyah lebur dan hancur dan melangkah di alam tauhid mutlak. Alam khulush.Dalam Risâlah Sair wa Sulûk yang disandarkan kepada Allamah Bahrul Ulum setelah menyebutkan alam-alam dan tingkatan-tingkatan atas, dibahas tentang proses bagaimana melintasi jalan yang penuh liku dan kehormatan ini. Allamah Bahrul Ulum membeberkan dua puluh lima instruksi untuk sampai pada tujuan-tujuan menjulang ini yang akan kami sampaikan secara ringkas sebagaimana berikut ini:

Salik ilaLlâh (pejalan menuju Allah) dan pengelana jalan untuk meraih kedekatan di sisi Allah, setelah mengetahui prinsip-prinsip agama demikian juga hukum-hukum agama, siap-siap melangkahkan kaki dan melakukan perjalanan, ia harus menjalankan dua puluh lima instruksi berikut ini untuk sampai tujuan:[5]

Pertama: Meninggalkan adab, adat dan kebiasaan yang menghalangi manusia untuk melintasi jalan ini dan tenggelam dalam pelbagai noda dan kontaminasi.

Kedua: Tekad bulat untuk melintasi jalan, tidak takut kepada siapapun dan dengan bersandar kepada Allah Swt ia tepiskan segala keraguan yang datang menghampiri. 

Ketiga: Bersikap lembut dan moderat yang bermakna bahwa pada saat itu jangan menimpakan banyak hal kepada dirinya karena jangan sampai muncul kebencian dan kejenuhan dalam dirinya sehingga tertinggal dalam perjalanan.

Keempat: Istiqâmah yang bermakna bahwa ia harus tetap setia terhadap taubatnya dan supaya tidak lagi kembali melakukan kesalahan dan dosa. Demikian juga ia harus setia menjalankan apa yang dipesankan oleh sang guru.

Kelima: Stabil dan dawam yang bermakna program-program yang ia pilih dijadikan sebagai adat yang berterusan sehingga tidak lagi menyisakan peluang baginya untuk kembali kepada kebiasaannya yang telah lalu.

Keenam: Murâqabah yang bermakna menaruh perhatian kepada dirinya dalam segala kondisi supaya tidak melakukan kesalahan.

Ketujuh: Muhâsabah yang telah disinggung dalam hadis "Bukan dari kami yang tidak melakukan muhasabah atas dirinya setiap hari."

Kedelapan: Muakhâdzah yang bermakna bahwa setiap kali ia melakukan kesalahan maka ia harus menghukum dirinya.

Kesembilan: Musâra'ah yang bermakna bersegera, sesuai dengan tuntutan perintah, "Bersegeralah menuju pengampunan Tuhanmu"[6] yang disebutkan dalam al-Qur'an sebelum setan membisikan was-was kepadanya.

Kesepuluh: Irâdah yang bermakna bahwa batinnya sedemikian ia ikhlaskan sehingga tidak tersisa lagi unsur pengecohan di dalamnya dan melabuhkan seluruh cintanya pada Nabi Saw dan para washinya.

Kesebelas: Adab yang bermakna menjaga adab terkait dengan Allah Swt, Rasulullah Saw dan para khalifah maksumnya. Dalam menjaga adab ini sekali-kali kita tidak melontarkan ucapan yang bernada protes dan berusaha dalam mengagungkan orang-orang suci ini bahkan dalam mengemukakan keperluan menghindari menggunakan kata-kata perintah dan larangan.

Keduabelas: Niat yang bermakna memurnikan niat dalam perjalanan dan seluruh amalan yang dilakukan sepenuhnya untuk Allah Swt.

Ketigabelas: Shamt yang bermakna diam dan menjaga lisan untuk tidak banyak berkata-kata kecuali seperlunya.

Keempatbelas: Ju' dan makan sedikit yang merupakan salah satu syarat penting untuk dapat melintasi jalan ini namun tidak sampai menyebabkan kelemahan dan kelemasan.

Kelimabelas: Khalwat yang bermakna mengasingkan diri dari ahli maksiat dan pecinta dunia. Dan menjauhkan diri dari kebisingan dan keonaran tatkala ibadah dan berdzikir. 

Keenambelas: Sahar dan bangun ketika dini malam (khususnya akhir malam) yang berulang kali ditekankan pada ayat dan riwayat.

Ketujuhbelas: Senantiasa menjaga kesucian yang bermakna senantiasa dalam keadaan wudhu yang memberikan cahaya khusus kepada batin manusia.

Kedelapanbelas: Thadarru' (tunduk rendah) di hadapan Tuhan. Sedapat mungkin mengungkapkan kerendahan di hadapan Tuhan.

Kesembilanbelas: Sedapat mungkin tidak memenuhi keinginan nafsu (bahkan pada hal-hal mubah).

Kedupuluh: Menjaga rahasia yang merupakan syarat terpenting mengingat para guru sangat menekankan hal ini. Demikian juga seluruh amalan dan programnya di jalan dirahasiakan (supaya tidak memunculkan riya dan pamer dalam hal ini). Apabila ia mencapai tingkatan mukasyafah alam-alam gaib, ia juga harus merahasiakannya dan tidak mengungkapnya kepada siapa pun (supaya tidak dijangkiti penyakit ujub dan ananiyah).

Keduapuluh satu: Memiliki guru dan murabbi baik itu guru umum yang membimbing dan menemani seluruh aktifitas yang terkait dengan sair dan sulûk  dan guru khusus yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.

Namun salik harus memperhatikan bahwa tingkatan ini merupakan tingkatan yang sangat sublim dan subtil. Sepanjang Anda tidak memiliki pengetahuan tentang kelayakan ilmiah dan agama tentangnya maka jangan pernah mengandalkan bimbingan-bimbingannya karena terkadang setan muncul dalam pakaian seorang guru. Srigala berpakaian gembala dan menyimpangkan salik dari jalan yang ingin ia tuju.

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata, "Bahkan nampaknya sesuatu yang di luar kebiasaan dan memiliki ilmu gaib serta rahasia-rahasia tersembunyi manusia, melintasi air dan api, mengetahui masa depan dan semisalnya tidak dapat dipastikan bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti ini memiliki maqam tinggi di jalan sulûk ilaLlâh. Karena, semua ini diperolah pada tingkatan mukâsyafah mental, dan dari tingkatan itu masih terbentang jalan yang sangat panjang untuk sampai tingkatan wushûl dan kesempurnaan.

Keduapuluh dua: Wirid yaitu dzikir-dzikir lisan yang membuka jalan bagi salik dan membantunya untuk melintasi jalan berliku menuju Allah Swt.

Keduapuluh tiga: Menafikan segala kenangan yang bermakna menguasai hatinya dan memerintah atasnya serta konsentrasi pikiran sedemikian sehingga tiada gambaran dan kenangan yang muncul dalam benaknya kecuali mengikut izin dan dalam kondisi ikhtiar. Dengan kata lain, jangan biarkan pikiran disibukkan dengan hal-hal yang tidak jelas dan hal ini merupakan salah satu pekerjaan yang pelik.

Keduapuluh empat: Pikiran yang bermakna bahwa salik dengan pikiran yang dalam dan benar dalam pengetahuan dan makrifat berusaha seluruh pikirannya terkait dengan sifat dan nama-nama Ilahi serta segala manifestasi dan perbuatan-Nya.

Keduapuluh lima: Dzikir yang bermakna perhatian hati kepada Zat Suci Ilahi; bukan dzikir lisan yang disebut sebagai wirid. Dengan kata lain, seluruh perhatiannya diarahkan kepada keindahan Allah Swt dan menutup matanya dari selain-Nya.

Demikianlah ringkasan dari Risâlah Sair dan sulûk  yang disandarkan Allamah Bahrul Ulum dimana Allamah Thabathabai juga mengikut metode ini, sesuai dengan apa yang diuraikan pada Risalah Lubb al-Lubâb, dengan sedikit perbedaan.

Akhir kata perlu untuk diingat bahwa masing-masing dari pusaka yang penuh nilai ini berada pada tataran menjelaskan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dari para pendahulu yang sampai kepada kita. Bagi orang-orang yang sementara dalam perjalanan Irfan, penjelasan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini sangat bernilai namun demikian penyusunan pelbagai tingkatan sair dan suluk yang memiliki metode Qurani dan mencakup ajaran-ajaran suci Syiah dan peran sentral imam tetap merupakan sebuah kemestian.

Di samping itu, menaruh perhatian pada seluruh sisi eksoterik dan esoterik, teoritis dan praktis, personal dan sosial yang menjawab seluruh persoalan dan kebutuhan seorang salik pada masa sekarang ini adalah suatu hal yang niscaya diperlukan.[7] [iQuest]

 

[1]. Atthar dalam Manthiq al-Thair menyebut tujuh stasiun suluk, "Thalab, isyq, ma'rifat,... " Lughat Nâme Dekhâda, terkait dengan klausul haft wâdi.  
[2]. Husain Mazhahiri, Kâwusyi Nu dar Akhlâq Islâmi wa Syu'un Hikmat 'Amali, jil. 1, Fashl Panjum, Cegunegi Tazkiyah, Dengan judul, "Syiweh-hâye Pâk Kardan Nafs az Pelesytihâ, Muassasah Nasyr wa Tahqiqat-e Dzikr, Teheran, 1382 S.  
[3]. Di antara buku terpenting Khajah Abdullah Anshari adalah Shad Maidân dan Manâzil al-Sâirin yang menulis tentang tingkatan-tingkatan sair dan suluk. Dalam buku  Shad Maidân dengan bersandar pada tuturan Khidir As yang menyatakan bahwa terdapat ribuan makam antara hamba dan Tuannya, Khaja Abdullah Anshari berkata, "Dan ribuan makam itu adalah stasiun-stasiun yang dilalui oleh para pejalan menuju Tuhan." Syarat setiap stasiun adalah taubat batin dan taubat lahir, semenjak makrifat hingga cinta terbentang ribuan stasiun dan dari pengetahuan hingga kelancangan terbentang ribuan stasiun. Kalimat ini kemudian tertulis pada Shad Maidan (Seratus Medan), "Awal gerakan salik (pejalan) adalah taubat – medan pertama – dan ujung perjalanan adalah fana yaitu medan keseratus."
[4]. Mahdi bin Sayid Murtadha Bahr al-'Ulum, Risâlah Sair wa Suluk, Mansub be Bahrul Ulum, Kata Pengantar Sayid Husain Tehrani, hal. 76 – 109, Intisyarat Allamah Thabathabai, Masyhad 1417 H.  
[5]. Ibid, hal. 145 - 172
[6]. (Qs. Ali Imran [3]:133)  
[7]. Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun sair-suluk silahkan lihat, "Ali Akbar Khanjani, Sair wa Suluk 'Irfâni (Ahwâl-Marâhil wa Maqâmât), artikel Sayad Tu Basyi, hal. 209,

 

Apabila memungkinkan dapatkah Anda membeberkan informasi seputar Bara bin ‘Azib? Apakah ia adalah seorang pecinta Ahlulbait as? Apakah ia menerima imamah Imam Ali as?
Jawaban Global

Bara bin ‘Azib al-Anshari (dari suku Aus) adalah salah seorang sahabat setia Rasulullah saw. Ia banyak turut serta dalam peperangan bersama Rasulullah saw. Ia menyatakan keikutsertaannya dengan Rasulullah saw dalam empat belas ghazwa (peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw). Perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Pada perang Badar, karena usianya yang masih belia, Rasulullah saw mengembalikannya dari medan perang bersama beberapa orang lainnya. Orang-orang berkata bahwa kota Rei berhasil ditaklukkan di tangannya pada tahun dua puluh empat Hijriah.[1]

Bara bin ‘Azib juga termasuk salah seorang sahabat khusus Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan banyak menghabiskan waktu untuk melayani beliau.

Suatu hari, Imam Ali as bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau mendapatkan agama ini?"

Ia berkata, "Sebelum saya menjadi pengikut Anda, saya adalah seorang Yahudi. Saya tidak memahami agama. Karena itu saya memandang enteng masalah ibadah. Namun tatkala saya menjadi pengikut Anda, maka hakikat iman lah yang kemudian bertahta dalam diri saya. Saya pun merasakan adanya nilai dan bobot ibadah dalam diri saya."[2]

Ia juga turut serta dalam pelbagai peperangan bersama Amirul Mukminin as.[3]

Tentang khilafah pasca Rasulullah saw, Bara bin ‘Azib berkata, "Tatkala mengetahui hasil pertemuan Saqifah, seolah-olah dunia telah hancur bagiku. Kulewati hariku dengan kesedihan dan nestapa, hingga malam tiba. Aku pergi ke masjid dan melihat Miqdad, Abu Dzar, Salman, Hudzaifah, Ammar Yasir, Ubadah bin Shamit, Zubair bin Awwam berkumpul di sudut masjid dan berbincang tentang masalah khilafah, kemudian aku pun bergabung dengan mereka."[4]

Dalam sebagian riwayat kita membaca bahwa Bara bin ‘Azib pada hari-hari ketika Imam Husain as terbunuh, memiliki rumah di Kufah namun menghindar untuk membantu Imam Husain as. Setelah beberapa lama, ia menyatakan kesedihan dan menyesali diri mengapa ia tidak menolong Imam Husain as.[5] Ia wafat di Kufah pada masa kekuasaan Mush'ab bin Zubair.[6]

Bagaimana pun terdapat beragam riwayat yang memuji dan mencelanya.

Sayid Muhsin Amin pengarang kitab A'yân al-Syiah, setelah menjelaskan biografi Bara bin ‘Azib, dan mengutip ucapan-ucapan yang memuji dan mencelanya berkata, "Pendeknya, perkara yang dihadapi oleh Bara bin ‘Azib adalah membingungkan dan ucapan yang benar bahwa ia adalah seorang yang berperilaku benar dan selamat." Wallahu A'lam. [IQuest]


[1]. Muhammad Ali Alimi Damegani, Paigambar wa Yârân, jil. 2, hal. 22, Intisyarat-e Bashirati, 1386 H; Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf (436 H), al-Isti'âb fi Ma'rifat al-Shahâbah, jil. 1, hal. 155, Risetan Ali Muhammad al-Bajawi, Beirut, Dar al-Jail, Cetakan Pertama, 1412/1992.

[2]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 7, hal. 192, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H. Paigambar wa Yârân, jil. 2, hal. 23.

[3]. Ahmad bin Ali, Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Ishâbah fi Tamyizz al-Shahâba, jil. 1, hal. 410, Risetan Adil Ahmad dan Ali Muhamamd Mu'awwadh, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1415/1995.

[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 8, hal. 55.

[5]. Ibid, jil. 41, hal. 315.

[6]. Al-Isti'âb, hal. 155.
Jawaban Detil
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban detil.

 

Mengapa Imam Ali dijuluki dengan Abu Turab? Darimanakah Imam Ali As mendapatkan julukan ini?
Jawaban Global

Nama-nama, gelar-gelar dan julukan-julukan Imam Ali sangatlah banyak dan disebutkan dalam literatur-literatur hadis. Salah satu julukan Imam Ali As adalah Abu Turab. Julukan ini disematkan oleh Rasulullah Saw tatkala melihat aba'a (semacam kain) Ali di masjid berlumuran tanah.[1]

Demikian juga dalam riwayat disebutkan, "Seseorang bertanya kepada Abdullah bin Abbas, "Mengapa Rasulullah Saw memberikan julukan Abu Turab kepada Ali As?" Ibnu Abbas menjawab, "Karena ia adalah pemilik tanah dan berada di atas tanah dan memangku posisi sebagai hujjatuLlah pasca Rasulullah Saw; lestari dan diamnya bumi karena keberadaannya."[2] [iQuest]

 [1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal. 63 dan 64, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.

[2]. Ibid, jil. 35, hal. 51. Demikian juga untuk telaah lebih jauh, Ghadhanfar Laqâb Imâm ‘Ali As, Pertanyaan 10909 (Site: 1112).

 

Salam. Saya Azis (Pati _ Jateng). kepengen sekali mengetahui siapa sebenarnya Siti Hajar itu? dan dari manakah asalanya? karena tidak mungkin kalo orang Arab, atau seorang wanita Arab, memakai nama "Hajar" yang artinya adalah "Batu". lalu kalo bukan dari tanah Arab, lalu dari mana? Apakah benar dari Jawa? karena di Jawa, kata "Hajar" itu baru memiliki arti. terima kasih. Salam.


Salam. Saya Azis (Pati _ Jateng). kepengen sekali mengetahui siapa sebenarnya Siti Hajar itu? dan dari manakah asalanya? karena tidak mungkin kalo orang Arab, atau seorang wanita Arab, memakai nama "Hajar" yang artinya adalah "Batu". lalu kalo bukan dari tanah Arab, lalu dari mana? Apakah benar dari Jawa? karena di Jawa, kata "Hajar" itu baru memiliki arti. terima kasih. Salam.

 Jawaban Global

 Hajar seorang budak perempuan Mesir yang setelah melalui beberapa peristiwa dihadiahkan kepada Sarah. Hajar adalah pelayan Sarah. Kira-kira berdasarkan seluruh laporan sejarah, budak perempuan ini awalnya adalah penduduk Mesir.
 Dengan berlalunya beberapa tahun, Sarah tidak melahirkan seorang anak pun untuk Nabi Ibrahim oleh itu ia menghadiahkan Hajar kepada Nabi Ibrahim supaya ia memiliki anak darinya dan keturunannya tidak terputus.
 Setelah beberapa lama, Hajar melahirkan Nabi Ismail As. Kemudian setelah itu Sarah mencemburui mantan pelayannya itu dan pada akhirnya meminta Ibrahim untuk membawa Hajar ke tempat lain. Allah Swt juga memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk membawanya ke Mekkah dan meninggalkannya di sebuah padang yang tandus dan kering, tanpa ilalang dan air. Nabi Ibrahim As melaksanakan perintah Allah Swt ini dengan kuatir, namun bukan hanya Hajar dan Ismail berhasil selamat dari kematian berkat mukjizat, bahkan kehadiran mereka di tanah suci itu menjadi cikal-bakal pembangunan kembali rumah Allah Swt di tempat itu.
 
 
Jawaban Detil

 Sebagian literatur mengutip sebuah kisah yang menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim As tatkala masuk ke negeri Mesir, istrinya Sarah diperkenalkan sebagai saudara Nabi Ibrahim dan raja Mesir yang memiliki niat buruk terhadap Sarah mendapatkan hukuman Allah dan kemudian diampuni. Raja itu, setelah melihat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak lagi mengusik Sarah dan di samping menyerahkan hadiah-hadiah, ia juga menghadiahkan seorang budak perempuan (kaniz) kepada Sarah. Nama budak perempuan itu adalah Hajar

 

Al-Qur’an menyatatakan, “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Yunus [10]:3); “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa.” (Qs. Al-Furqan [25]:59); “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Al-Hud [11]:7) Ayat-ayat di atas dengan lugas dan tegas menyatakan bahwa Allah Swt menciptakan langit-langit dan bumi dalam masa enam hari. Namun menurut ayat-ayat lainnya, “Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9); “Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Fusshilat [41]:10) “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datang (dan berbentuklah) kamu dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang (dan berbentuk) dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Fusshilat [41]:11-12) Sekarang mari kita kalkulasi dua (2) hari (untuk penciptaan bumi) + 4 hari (penciptaan pelbagai keberkahan) + 2 hari (untuk penciptaan tujuh petala langit) maka hasilnya akan menjadi 8 hari bukan 6 hari. Masalahnya dimana? Kok tidak ketemu hasilnya? Apakah masalahnya bersumber dari mukjizat Muhammad atau Matematika?

Jawaban Global

Allah Swt menggunakan terminologi “qaddara” (penentuan) terkait dengan hari. Sementara sehubungan dengan penciptan langit dan bumi, Allah Swt menggunakan terminologi khalqa (penciptaan); artinya empat hari pada ayat yang dimaksud adalah terkait dengan penentuan seluruh rezeki bukan penciptaannya.

Dengan demikian boleh jadi inti persoalan akan dapat terjawab dengan tuntas. Karena masalahnya muncul karena kita menempatkan hari-hari penentuan hari sejajar dan sederetan dengan penciptaan. Kalau tidak demikian maka inti persoalan akan dapat terselesaikan.

Jawaban Detil

Pertama-tama untuk menjawab pertanyaan Anda, pantas kiranya apabila kita melayangkan perhatian kita pada ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan:

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy (Dia mengatur seluruh alam semesta).” (Qs. Al-A’raf [7]:54)

“Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9)

“Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:10) “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:11-12)

 

Hari dalam Pandangan al-Qur’an

Yang dimaksud dengan hari (yaum) pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah penggalan dari masa bukan hari dalam artian umum dan yang galib terlintas dalam benak kita. Karena hari dalam pandangan kita sebagai penghuni bumi adalah satuan gerakan planet bumi yang berputar mengelilingi dirinya yang satu kali putarannya disebut sebagai satu hari. Atau dengan kata lain, kita menyebutnya sebagai sehari dan semalam. Penyebutan hari bagi sepenggalan waktu sangat umum digunakan. Di antaranya adalah firman Allah Swt yang menyatakan, “Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (Qs. Ali Imran [3]:140) Dan juga berfirman, “Lantas apakah mereka tidak menunggu-nunggu hari-hari yang sama dengan kejadian dan balasan (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka.” (Qs. Yunus [10]:102) Dan semisalnya yang menyebut hari sebagai satu penggalan dari masa.[1]

Namun harap diperhatikan bahwa kendati hari bermakna sedemikian namun persoalannya tidak akan selesai begitu saja. Karena itu kita harus menjawab pertanyaan ini.

 

Penentuan Rezeki Bumi dalam masa Empat Hari

Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana ayat-ayat di atas (surah al-Fusshilat) menyebutkan penciptaan bumi dalam masa dua hari, gunung-gunung, pelbagai keberkahan, makanan dalam empat hari dan sebagai ikutan ayat-ayat ini, penciptaan bumi juga terjadi dalam masa dua hari yang secara keseluruhan totalnya menjadi delapan hari?

Sementara banyak ayat dalam al-Qur’an menyebutkan penciptaan tujuh petala langit dan bumi secara keseluruhan terjadi dalam tempo enam hari atau dengan ungkapan lain terjadi selama enam masa.[2]

Para penafsir al-Qur’an mengemukakan beberapa jalan dalam menjawab pertanyaan ini:

Jalan pertama yang masyhur dan dikenal banyak orang adalah bahwa redaksi ayat yang menyebutkan “arba’at ayyam” (empat hari) maksudnya adalah sempurnanya empat hari. Hal itu terjadi sebagaimana berikut, pada dua hari pertama dari empat hari ini bumi diciptakan. Pada dua hari kedua, pelbagai tipologi bumi lainnya di tambah penciptaan tujuh petala langit selama dua hari yang total keseluruhannya menjadi enam hari (enam masa).

Contoh ungkapan seperti ini terdapat pada bahasa Arab dan Persia yang sebagai contoh disebutkan bahwa, “Dari tempat ini ke Mekkah memakan jarak selama sepuluh hari, hingga Madinah selama lima belas hari. Artinya terdapat jarak lima hari antara Mekkah dan Madinah. Dan sepuluh hari jarak dari sini ke Mekkah. Namun apabila ayat-ayat tidak menyebutkan penciptaan terjadi selama enam hari maka penafsiran seperti ini tidak dapat diterima. Mengingat ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat lainnya dan menjadi indikasi bagi yang lainnya, maka penafsiran di atas dapat diterima dengan baik.

Jalan lainnya yang disokong oleh sebagian kecil penafsir: Arba’at ayyam (empat hari) tidak berhubungan dengan awal penciptaan melainkan tengah menyinggung empat musim setiap tahunnya yang menjadi sumber munculnya rezeki dan pengembangan bahan-bahan makanan manusia dan hewan.[3]

Jalan ketiga, terkait dengan rezeki maka yang digunakan adalah redaksi “qaddara.” Sementara sehubungan dengan penciptaan langit dan bumi digunakan redaksi “khalaqa.” Artinya empat hari ini adalah penentuan rezeki-rezeki bukan penciptaannya. Dengan penjelasan ini boleh jadi persoalan utamanya sudah terjawab dengan tuntas; karena persoalan yang dapat dilontarakan di sini adalah manakala hari-hari penentuan rezeki kita dudukan sejajar dengan penciptaannya (sebagaimana yang telah lakukan oleh Pengguna Yang Budiman). Selain itu, inti persoalan telah terjawab dengan tuntas.

Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, “Hari-hari yang disebutkan pada ayat-ayat ini bertautan dengan penciptaan langit-langit dan bumi adalah empat hari. Dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk menegakkan tujuh petala langit, setelah itu sebelumnya berupa asap. Namun hari-hari setelah kejadian penciptaan bumi dan tujuh petala langit adalah hari-hari penentuan (rezeki) bukan penciptaan rezeki. Dan apa yang dinyatakan dalam firman Allah Swt secara berulang adalah bahwa Allah Swt menciptakan tujuh petala langit dan bumi dalam masa enam hari, bukan kumpulan penciptaan dan penentuan rezeki. Karena itu yang benar bahwa zharf (adverb of time, keterangan waktu) hanyalah qaid untuk kalimat berikutnya sehingga tidak lagi memerlukan pembuangan (hadzf) dan juga tidak perlu dipandang sebagai kalimat taqdiri (perkiraan). Dan yang dimaksud dengan penentuan rezeki-rezeki bumi adalah (pembagian rezeki) pada empat musim dalam setahun.”[4]

Dengan demikian, tidak terdapat masalah pada mukjizat Rasulullah Saw juga pada ilmu Matematika! Masalahnya adalah terletak pada kita yang tanpa memiliki keahlian dan tanpa merujuk kepada ahlinya kita telah memberikan penilaian atasnya. [IQuest]

 

[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tarjemeh Qur’ân (Makarim), Dar al-Qur’an al-Karim, (Daftar Muthala’at Tarikh wa Ma’arif Islami), Qum, Cetakan Kedua, 1373 S.

 

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 362 dan 363, Daftar Intisyarat-e Islami, Jami’at al-Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.  

[3]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 20, hal. 225.  

[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 363 dan 364.

 

Disebutkan bahwa para imam adalah Asma'ul Husna (Nama Allah yang Mulia) mereka adalah lidah Allah, Wajah Allah, Mata Allah, Pinggang Allah, merekalah tangan Allah yang serba bisa. (Al Kafi jilid 1 hal 113). Apakah makna dari penyebutan asma al-husna ini terkait dengan para Imam Maksum As?
Jawaban Global
Riwayat seperti ini sejatinya tengah menyinggung sebuah masalah yang penjelasan dan ulasannya harus dikaji pada Filsafat Hikmah (Hikmah Muta'âliyah) dan irfan teoritis (irfân nazhari). Namun demikian kami akan menyebutkan dua poin penting sebagai berikut:

Manusia sempurna (insan kamil) adalah manifestasi teragung (tajalli a'zham) atau penampakan tersempurna (mazhar atam) Tuhan di muka bumi: Berdasarkan pandangan Filsafat Hikmah dan irfan teoritis seluruh alam adalah manifestasi dan penampakan Hak. Tiada satu pun entitas yang ada di alam semesta yang bukan merupakan manifestasi Hak (Tuhan). Poin penting dalam hal ini bahwa di antara seluruh entitas yang merupakan penampakan-penampakan relatif dan nisbi Allah Swt dan sebagian dari entitas tersebut merupakan penampakan nama-nama Ilahi, terdapat manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan penampakan inklusif dan menyeluruh Tuhan di muka bumi. Dapat dikatakan bahwa yang menjadi lokus tajalli dan manifestasi seluruh nama dan sifat Hak Swt itu adalah manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan manifestasi teragung dan penampakan terparipurna Hak Swt di alam semesta.[1]
Insan kamil adalah khalifah Allah Swt: Salah satu atribut yang terjalin antara Tuhan dan manusia dalam pandangan para arif adalah bahwa insan kamil itu adalah khalifah Allah Swt. Menjadi khalifah Allah Swt yang diangkat sendiri oleh Allah Swt hanya dapat terwujud manakala sifat-sifat Allah Swt memanifestasi dalam dirinya sehingga Allah Swt mengatur alam semesta dengan perantara mereka.[2] Dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk menelaah beberapa jawaban, jawaban No. 1984 (Obyek Khalifatullah); 2085 (Manusia dan Makam Khilafah Ilahi) dan 7884 (Hakikat Muhammadiyah).

Nah dengan memperhatikan dua poin di atas makna riwayat yang menyebutkan bahwa para Imam Maksum As merupakan nama-nama indah Tuhan (asmâ al-husnâ) akan menjadi jelas; karena makna riwayat ini adalah bahwa para Imam Maksum As merupakan sebaik-baik manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan serta khalifah-Nya serta atas dasar itu mereka dapat mengatur alam semesta berdasarkan izin Allah Swt yang diberikan kepada mereka.
Karena itu, yang dimaksud dengan lisan Allah Swt (Lisânullâh) adalah bahwa Allah Swt menyampaikan kehendak-kehendak-Nya melalui para Imam Maksum As dan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum As adalah firman Allah Swt. Adapun yang dimaksud dengan tangan Allah Swt (Yadullâh) adalah bahwa Allah Swt melakukan perbuatan-perbuatan-Nya melalui jalur para Imam Maksum As. Demikian juga makna mata Allah Swt ('Ainullâh) dimana Allah Swt menaruh perhatian kepada manusia dengan perantara para Imam Suci As.
Dan terakhir, makna wajah Allah Swt (Wajhullâh)[3] dan sisi Allah (Janbullâh) juga dapat dipahami dan dipersepsi dengan memperhatikan makam khilafah Ilahi para Imam Suci As. [iQuest]

[1]. Silahkan lihat, Yadullah Yazdanpanah, Mabâni wa Ushûl 'Irfân Nazhari, hal. 591, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy Imam Khomeini, Qum, Cetakan Ketiga, 1391 H.
[2]. Ibid, hal. 602.
[3]. Terkait dengan Wajah Tuhan (Wajhullâh) silahkan lihat jawaban 8680.

 
Taqiyah adalah sejenis taktik yang dilakukan untuk menjaga kekuatan manusia dan tidak menyia-nyiakan energi dan tenaga orang beriman dalam menghadapi urusan-urusan sepele dan tidak penting. Atas dasar itu, sebelum merupakan urusan agama, taqiyah adalah metode rasional dan logis bagi seluruh manusia yang berjuang menghadapi musuh yang kuat. Metode ini digunakan oleh setiap pejuang semenjak dulu hingga kini.
 
  Taqiyah adalah sejenis taktik yang dilakukan untuk menjaga kekuatan manusia dan tidak menyia-nyiakan energi dan tenaga orang beriman dalam menghadapi urusan-urusan sepele dan tidak penting.
 Atas dasar itu, sebelum merupakan urusan agama, taqiyah adalah metode rasional dan logis bagi seluruh manusia yang berjuang menghadapi musuh yang kuat. Metode ini digunakan oleh setiap pejuang semenjak dulu hingga kini.
 Berdasarkan kondisi dan situasi yang beragam, taqiyah terkadang hukumnya wajib dan terkadang haram dan terkadang mubah. Taqiyah wajib, apabila seseorang menghadapi kondisi dimana jiwanya terancam namun imbalannya tidak setara dengan pengorbanan jiwa. Namun tatkala kondisi mengarah pada tersebarnya kebatilan dan kesesatan banyak orang, kezaliman dan kejahatan maka taqiyah haram dan terlarang hukumnya.
 Kaum munafik adalah sekelompok orang yang tidak meyakini Tuhan dan hari akhirat dalam dirinya, namun secara lahir menampakkan dirinya sebagai seorang Muslim dan beriman, sementara definisi taqiyah persis bertolak belakang dengan munafik ini.
 Menerima kezaliman terjadi tatkala seseorang karena takut dan gentar sehingga memilih diam dan tidak menampakkan keyakinannya. Sementara taqiyah tidak bermakna lemah atau takut dan mendukung status quo, melainkan digunakan sebagai sebuah media jitu untuk mengusung perjuangan melawan para tiran dan despot.
 Dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar tentu saja harus digunakan perhitungan yang tepat, tadbir, pikiran dan logika. Ulama yang mengenal situasi sosial masyarakat dengan baik berkata bahwa rahasia punahnya Khawarij disebabkan oleh masalah ini. Mereka dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar mereka mengingkari logika. Kaum Khawarij berpandangan bahwa taqiyah sebagai taktik tidak diperlukan dalam masalah amar makrif dan nahi mungkar.
 

 

 Jawaban Detil

             Sebelum menjawab inti pertanyaan kiranya kita perlu menyinggung makna leksikal dan teknikal taqiyah berikut dalil-dalilnya.
             Taqiyah secara leksikal bermakna menghindari dan menjauhi kerugian yang bakalan menimpa. Secara teknikal adalah bermakna mengungkapkan kedamaian dan perdamaian meski pada batinnya berbeda dengan apa yang diungkapkan.
Taqiyah merupakan sebuah tema yang memiliki akar pada al-Qur’an dan Sunnah. Taqiyah adalah sebuah amalan yang sesuai dengan tugas mukallaf dan hukum sekunder meski berseberangan dengan hukum primer.
 Pada hakikatnya taqiyah termasuk perbuatan menyembunyikan dan memiliki tujuan-tujuan suci di antaranya:
 Untuk menjaga kekuataan orang-orang beriman dari kebinasaan di tangan orang-orang kafir.
 Untuk menjaga kemampuan orang-orang beriman untuk kondisi-kondisi khusus dan menentukan.
 Menjaga rahasia dan khittah serta agenda-agenda supaya tidak jatuh di tangan musuh.

 Al-Qur’an menyatakan rela terhadap praktik taqiyah Ammar bin Yasir di hadapan orang-orang musyrikin, kemudian Ammar untuk menyelamatkan dirinya secara lahir berkata-kata sejalan dengan kaum Musyrikin. Setelah melakukan hal ini, Ammar bin Yasir mengungkapkan kesedihannya sehingga sebuah ayat turun yang menjelaskan keridhaan Tuhan atas perbuatan Ammar bin Yasir.[1]
 Imam Baqir As bersabda, “Taqiyah adalah salah satu agenda keagamaanku dan datuk-datukku. Barang siapa yang tidak melakukan praktik taqiyah maka ia tidak beriman.”[2]
 Imam Shadiq As bersabda, “Ayahku senantiasa mengingatkan bahwa tiada yang membuat mataku berbinar selain taqiyah. Karena taqiyah adala tameng orang-orang beriman dan media untuk menjaga (keselamatan) orang beriman.”[3]
             Taqiyah merupakan salah satu jenis taktik untuk menjaga kekuatan manusia dan supaya tidak membuang-buang energi orang beriman dalam hal-hal yang remeh dan tidak terlalu penting. Karena akal tidak akan pernah merestui orang-orang yang berjihad (mujahid) dengan jumlah minim dan secara terang-terangan memperkenalkan diri mereka sehingga dapat dengan mudah diidentifikasi dan dikenali oleh musuh-musuh.
 Atas dasar ini, taqiyah sebelum ia menjadi bagian dari  Islam ia merupakan sebuah metode rasional dan logis bagi setiap manusia yang sedang berperang dengan musuh yang kuat. Hal ini berlaku semenjak dahulu hingga sekarang.[4]
             Dengan memperhatikan uraian di atas, pertanyaan Anda akan dijawab secara berurutan sebagai berikut:
 Berdasarkan kondisi dan situasi yang beragam, taqiyah terkadang hukumnya wajib, terkadang haram dan terkadang mubah. Taqiyah wajib kondisinya ketika seseorang menghadapi kondisi dimana jiwanya terancam namun imbalannya tidak setara dengan pengorbanan jiwa. Namun tatkala kondisi mengarah pada tersebarnya kebatilan dan kesesatan banyak orang, kezaliman dan kejahatan maka taqiyah haram dan terlarang hukumnya.

 Dalam sejarah pelbagai perlawanan mazhab, sosial dan politik terkadang terjadi dimana para pembela sejati apabila ingin menunjukkan perlawanan secara terang-terangan maka  baik diri mereka atau pun mazhabnya akan binasa atau paling tidak berada pada kondisi bahaya seperti dalam kasus para Syiah Imam Ali As pada masa pemerintahan rampasan Bani Umayyah.
Dalam kondisi seperti ini, jalan benar dan rasional adalah supaya ia tidak membuang-buang tenagannya dan untuk memajukan tujuan-tujuan sucinya ia melakukan perlawanan secara tidak langsung atau sembunyi-sembunyi.
Pada hakikatnya taqiyah tergolong sebagai perubahan bentuk gerakan perlawanan bagi mazhab seperti ini. Para pengikutnya dalam detik-detik perlawanan dan perjuiangan seperti ini dapat menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kebinasaan. Dengan strategis seperti ini, kelanjutan perlawanannya akan meraih kemenangan. Bagi orang-orang yang memandang batil taqiyah tidak jelas bagaimana sikap mereka menghadapi kondisi seperti ini? Apakah kehancuran merupakan suatu hal yang baik atau kelanjutan perlawanan dalam bentuk yang benar dan logis? Jalan kedua adalah taqiyah dan jalan pertama tentu tidak ada orang yang menganjurkannya.[5]
 Dari satu sisi, kita menyaksikan pada masa ketika di Iran terjadi penggrebekan di mana-mana, Imam Khomeini mengingatkan bahwa sekarang bukan masanya taqiyah:
“Terkadang taqiyah itu haram. Kondisi ketika seseorang melihat agama Allah Swt sedang dalam bahaya maka ia tidak boleh ber-taqiyah. Dalam kondisi seperti ini ia harus berbuat sesuatu apa pun yang akan terjadi. Taqiyah dalam urusan furu’ bukan dalam urusan ushul. Taqiyah dilakukan untuk menjaga agama. Manakala agama berada dalam bahaya maka tidak dibolehkan taqiyah. Tidak diperbolehkan untuk diam.”[6]
 Singkatnya taqiyah yang dilakukan untuk kemaslahatan sebuah urusan agama atau duniawi sifatnya penting; atas dasar itu terkadang taqiyah dan menyembunyikan fakta maka kemaslahatan yang lebih penting akan sirna atau kerusakan yang lebih besar akan timbul maka menurut hukum akal dan syariat tidak diperkenankan melakukan taqiyah.
 
 Kaum munafik adalah sekelompok orang yang tidak meyakini Tuhan dan hari akhirat dalam dirinya, namun secara lahir menampakkan dirinya sebagai seorang Muslim dan beriman.[7]

 Sementara dalam definisi taqiyah persis bertolak belakang dengan masalah ini, karena seseorang yang melakukan taqiyah dalam hatinya ia adalah seorang yang benar-benar Mukmin dan beriman. Bahkan dengan dalil iman kepada Tuhan ini ia melakukan taqiyah demi menjaga kemaslahatan dan tujuan mulia sehingga ia harus menyembunyikan fakta dalam hatinya.
 
 Sehubungan dengan menerima kezaliman dan keterhinaan (yang disebutkan dalam pertanyaan dilakukan karena harus bertaqiyah) juga harus dikatakan:

 Menerima kezaliman dan kehinaan terjadi tatkala seseorang disebabkan karena takut dan gentar sehingga harus menyembunyikan keyakinannya. Sementara taqiyah bukanlah bermakna lemah, takut dan memelihara status quo, melainkan pada umumnya sebuah media jitu yang digunakan dalam mengusung perjuangan melawan para tiran dan penguasa zalim.
 Kalau sekiranya menyingkap rahasia-rahasia musuh tidak dapat dilakukan selain dengan bertaqiyah maka taqiyah mutlak diperlukan. Demikian juga sekiranya pukulan yang mengejutkan musuh tidak dapat diraih kecuali dengan taqiyah maka taqiyah harus dilakukan. Taqiyah dilakukan dengan menyembunyikan rencana dan  strategi dalam menghadapi musuh.[8]
 Karena itu kami tegaskan bahwa pertama: taqiyah tidak terbatas pada ketakutan dan menanggung penderitaan; kedua, apabila karena takut maka tentu saja bukan karena takut itu sendiri boleh jadi karena bahaya yang mengancam jiwa dan harta orang Mukmin lainnya dan terkadang kemungkinan bahaya itu mengarah pada dunia Islam; misalnya takut akan timbul perpecahan di antara kaum Muslimin; benar taqiyah bukan juga karenas adanya bahya yang mengancam harta dan jiwa seseorang dan hal ini bermakna menghindar supaya tidak menderita dan mati; karena prinsip pertama bagi manusia adalah menjaga keselamatannya[9] dan tidak menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan.[10]
 
 Adapun batasan taqiyah dan masalah amar makruf dan nahi mungkar kami mengajak Anda untuk mencermati penjelasan Syahid Muthahhari sebagai berikut:

 Dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar tentu saja harus digunakan perhitungan yang tepat, tadbir, pikiran dan logika. Ulama, yang mengenal situasi sosial masyarakat dengan baik, berkata bahwa rahasia punahnya Khawarij disebabkan oleh masalah ini. (akan tetapi apa yang menerut mereka mungkar atau makruf kebanyakan tidak sejalan dengan kebanaran). Mereka dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar mengingkari logika. Mereka mendatangi seorang penguasa zalim, selagi menghunus pedang, mereka yakin bahwa ucapan sekecil apa pun tidak akan berpengaruh namun toh mereka tetap sampaikan. Sang penguasa zalim pada saat itu juga langsung melenyapkannya. Mereka tidak mengenal namanya taktik, logika dan strategi dalam perbuatannya. Mereka berpandangan bahwa taqiyah sebagai taktik tidak diperlukan dalam masalah amar makrif dan nahi mungkar. Logika yang kita miliki menuntut intervensi akal dan pemikiran untung-rugi. Apabila Anda melihat keuntungannya lebih besar daripada kerugiannya maka silahkan lakukan. Kaum Khawarij menolak cara berpikir seperti ini. Mereka menyatakan tidak demikian. Kita harus beramar makruf dan nahi mungkar apa pun yang terjadi. Salah satu sebab terbesar punahnya kaum Khawarij karena beranggapan bahwa logika tidak memiliki tempat dalam urusan dan perbuatan mereka khususnya dalam masalah amar makruf dan nahi mungkar sementara dalam urusan ini logika harus digunakan.[11] [iQuest]


 

--------------------------------------------------------------------------------

[1]. “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs. Al-Nahl [16]:106)

[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 210.

[3]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 220, Hadis 14.

[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1779 (Site: 2132)

[5] Diadaptasi dari Jawaban No. 3022 (Site: 4099)

[6] Shahifah Imam Khomeini, jil. 8, hal. 11, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Tehran, Cetakan Keempat, 1386 S.

[7] Diadaptasi dari Jawaban No. 5286 (Site: 5875)

[8] Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jld. 20, hal. 89, Intisyarat Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1374 S.

[9] "Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan." (Qs. al-Baqarah [2]:195)  

[10] Diadaptasi dari Jawaban No. 1779 (Site: 2132)

[11] Syahid Muthahari, Majmua’ Atsar, jil. 21, hal. 92, SoftwareNur