کمالوندی
Persatuan Islam Dalam Perspektif Imam Jafar Shadiq
Imam Jafar Shadiq hidup di masa ketika Dinasti Umayah sedang mengalami kemunduran, dan Dinasti Abbasiyah mulai merebut kekuasaan. Di tengah pertarungan kekuasaan kedua dinasti itu, Imam Shadiq menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Periode kehidupan Imam Shadiq merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi dan kondisi tersebut menyulitkan masyarakat Muslim untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pemikiran masyarakat ketika itu.
Baca Biografi Singkat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s
Para ulama dari berbagai mazhab Islam memandang Imam Shadiq sebagai pelopor berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan disiplin ilmu lainnya. Dilaporkan tidak kurang dari empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq dan menulis berbagai karya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan ketinggian akhlaknya. Imam Shadiq menyebut sesama Muslim sebagai satu saudara, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq disebutkan bahwa “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya.”
Imam Shadiq selalu berpesan kepada para pengikut Ahlulbait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab Islam lain. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Beliau berkata, “Satu sama lain harus saling mencintai. Mereka berbuat kebaikan kepada sesamanya dan saling menyayangi”.
Baca Pesan Imam Jafar Shadiq tentang Persaudaraan
Imam Shadiq memberikan nasehat kepada para pengikutnya supaya saling mengasihi sesama Muslim. Imam Shadiq berkata, “Sampaikan salam kepada para pengikutku dan katakan kepada mereka Allah swt merahmati hamba-Nya yang mencintai sesama,”.
Di bagian lain statemennya, Imam Shadiq menegaskan solidaritas dan persaudaraan seagama yang berpijak pada tiga faktor. Pertama meninggalkan kedengkian untuk mencegah dan menghindari lemahnya masyarakat Islam, sehingga umat Islam tidak terpecah belah dan tercerai-berai. Faktor kedua, saling meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas. Faktor ketiga saling membantu sehingga meningkatkan kemuliaan umat Islam.
Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu Imam Shadiq telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlusunah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah Saw ini.
Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq selama dua tahun. Terkait hal ini, ia berkata, “Kalau bukan karena dua tahun [menimba ilmu dari Imam shadiq], maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka.” Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq berkata, “Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati, yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya.”
Orang-orang yang hadir dalam majelis ilmu Imam Shadiq mengakui keunggulan beliau di bidang ilmu pengetahuan, meskipun sebagian dari mereka tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan.
Baca Teladan Ukhuwah Guru Besar Imam 4 Mazhab
Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq yang menulis buku “Tauhid Mufadhal”.
Berbagai kitab sejarah baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menjelaskan dialog dan perdebatan ilmiah yang diikuti oleh Imam Shadiq. Menariknya, seluruh perdebatan tersebut tidak berujung debat kusir, apalagi pertengkaran. Imam Shadiq kepada para pengikutnya menekankan prinsip akhlak mulia di berbagai bidang, termasuk ketika berdialog. Beliau sangat menjunjung tinggi pesan al-Quran dalam berdialog untuk menggunakan cara yang baik, atau “Jidal Ahsan”.
Para lawan Imam Shadiq pun mengakui ketinggian akhlaknya. Ketika pihak lawan dalam debat menyampaikan pandangan, beliau mendengarkan argumentasinya hingga selesai, lalu secara singkat menanggapinya. Beliau juga menghormati dan menjaga etika berdebat, kemudian mengemukakan pandangannya dengan kalimat yang benar dan berisi, yang disampaikan secara singkat dan padat. Ketika berdebat, Imam Shadiq membela keyakinannya secara tegas dan terang-terangan, tapi disampaikan dengan cara yang bijaksana.
Imam Shadiq meminta para pengikutnya untuk menghormati sesama Muslim, dan menjaga persatuan Islam. Cucu Rasulullah Saw ini memberikan nasehat kepada salah seorang sahabatnya bernama Zaid bin Hisyam supaya menghormati Ahlusunnah.
Beliau berkata, “Datangilah masjid-masjid mereka dan shalatlah di sana. Jenguklah mereka jika sakit, dan iringilah jenazahnya ketika mereka meninggal. Bersikap baiklah kalian, sehingga mereka datang dan ikut bersama-sama shalat dengan kalian. Jika akhlak kalian demikian, mereka akan berkata inilah pengikut mazhab Jafari; Tuhan merahmati Imam Shadiq yang telah mendidik pengikutnya demikian….. Tapi jika akhlak kalian buruk, maka mereka akan memandang buruk mazhab Jafari, dan menilai sebegitu burukkah Imam Shadiq mendidik para pengikutnya”.
Suatu hari Hisyam bin Hakam menanyakan kepada Imam Shadiq alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Imam Shadiq menjawab, “Allah swt menciptakan makhluk supaya mereka menaati aturan agama dan menjauhi yang dilarang agama, demi kemaslahatan hidupnya di dunia. Dalam ibadah Haji terdapat sarana bagi orang-orang yang ada di timur dan barat untuk saling mengenali. Lalu kelompok dan suku yang satu mengunjungi satu kota ke kota lain, sehingga terjalin perniagaan yang menguntungkan di antara mereka… selain itu warisan Rasulullah saw lebih dikenali dan selalu teringat dan tidak akan pernah terlupakan,”
Dalam pandangan Imam Shadiq fondasi kuat dari persatuan Muslim adalah itikad baik dan berbuat baik serta saling membantu. Mengharapkan terwujudnya sebuah umat yang kuat dan terorganisir tanpa infrastruktur moral yang kokoh hanya sekedar penantian sia-sia. Akar perpecahan dan kelemahan masyarakat Muslim harus dilihat dari moralitas umat Islam sendiri.
Selain menekankan masalah akhlak dan persatuan Islam, Imam Shadiq menegaskan mengenai masalah politik dan nasib masyarakat, termasuk mengkritik kinerja buruk pemerintahan lalim yang merugikan masyarakat.
Perbedaan Syiah Dan Sunni Menurut Sayyid Ruhullah Khomeini
Mengenai Perbedaan Syiah dan Sunni, Imam Khomeini berpendapat sebagai berikut:
Jika terjadi suatu perselisihan di antara bangsa Iran dan bangsa-bangsa lain, atau di antara saudara Sunni dan Syiah, itu akan merugikan kita semua, semua umat muslim. Orang-orang yang ingin menyebabkan perpecahan bukan Syiah ataupun Sunni. Mereka adalah para pemimpin Adi Kuasa dan mereka yang sedang melayaninya. Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan di antara saudara Sunni dan saudara Syiah kita, adalah kelompok-kelompok yang menyusun rencana diam-diam dengan musuh Islam. Mereka ingin membantu musuh-musuh Islam untuk mengalahkan umat Muslim. Mereka adalah para pengikut Amerika, dan sebagian adalah pengikut USSR. Umat Muslim, di mana pun mereka berada harus sadar bahwa perpecahan di antara suatu negeri di ujung terjauh dunia dan negeri lain di ujung dunia yang lain, tidak berarti perselisihan lokal.
Dunia hari ini tidak seperti yang sebelumnya. Ia tidak akan merupakan soal yang menyangkut bagian dunia yang itu saja. Jika ada perselisihan di antara kalian saudara di Iran, itu akan menjadi perhatian seluruh dunia, dan jika ada perselisihan para saudara Iran dan saudara Irak, yaitu, bangsa Irak, ia merupakan soal yang menyangkut seluruh dunia, bukan soal lokal di antara Iran dan Irak saja. Hal itu dipertimbangkan di seluruh dunia, karena ada orang-orang di dunia yang ingin menaruh keuntungan-keuntungan dunia di kantongnya sendiri dan memaksakan pengendalian mereka ke seluruh dunia, mereka mengeksploitasi segala perpecahan yang mungkin terjadi di antara saudara Syiah dan saudara Sunni di Iran. Demikian pula, jika terjadi perselisihan dintara saudara Iran kita dan dan saudara-saudara yang ada di Pakistan, mereka juga mengekploitasi situasi itu.
Kita harus bangun dan tahu bahwa pertimbangan ilahi mengatakan: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (Surah al-Hujurat: 10). Di antara mereka tidak ada selain persaudaraan, dan mereka diwajibkan untuk bertingkah laku secara persaudaraan. Membuat semua bangsa Muslim yang berjumlah hampir satu milyar saling bersaudara satu sama lain adalah suatu nilai politis, bila itu terjadi tidak ada kejahatahan yang akan menimpa mereka dan tidak ada kekuatan Adi Kuasa yang akan melampaui mereka.
Wahai saudaraku! Perhatikan hal ini! Mengenai Keharusan Menghindari Segala Perselisihan Sekelompok Muslim adalah Syiah, sekelompok Muslim adalah Sunni, sekelompok adalah Hanafi , sekelompok adalah Hanbali, sekelompok adalah Akhbari. Pada dasarnya sejak awal kelirulah mengusulkan ide seperti itu. Dalam suatu masyarakat di mana semua orang ingin mengabdi pada Islam dan ada untuk Islam, hal-hal demikian tidak boleh diusulkan. Kita semua bersaudara dan bersama-sama. Hanya karena ulamamu mengeluarkan sekumpulan fatwa dan kamu mengikutinya dengan cara meniru, maka kamu menjadi Hanafi . Kelompok yang lain menjadi Shafi’i dan mengikutinya.
Kelompok lain lagi mengikuti fatwa Imam Sadiq dan menjadi Syiah. Ini tidak boleh menjadi penyebab perbedaan. Kita tidak boleh mempunyai perbedaan atau kontradiksi apa pun. Kita semua adalah saudara. Saudara Syiah dan Sunni harus menghindari segala perbedaan. Hari ini, perbedaan-perbedaan kita diinginkan oleh orang-orang yang tidak menganut Syiahisme maupun pada Hanafi atau pada madzhab-madzhab lain. Mereka menginginkan yang ini atau yang itu tidak ada. Cara mereka adalah menyebabkan perbedaan di antara kita. Kita harus menyadari bahwa kita semua adalah Muslim, pengikut Alquran dan tauhid, dan kita harus bekerja keras untuk Alquran dan mengabdi kepada tauhid.
Mengenai Kerjasama Umat Islam Imam Khomeini berkata:
Mereka mencoba dengan sia-sia untuk menciptakan perpecahan. Umat Muslim adalah saudara dan tidak akan dipecah-pecah oleh propaganda jahat dari beberapa unsur yang korup. Asal-usul persoalan mengenai Syiah dan Sunni, yang satu di sisi satunya dan yang lain di sisi yang lain, disebabkan oleh ketaktahuan dan oleh propaganda yang diusahakan oleh pihak asing. Mereka bahkan menyebabkan perpecahan di kalangan Syiah sendiri. Mereka juga melakukan hal yang sama di kalangan madzhab-madzhab Sunni, mengadu domba kelompok yang satu dengan yang lain. Hari ini semua madzhab Muslim sedang menghadapi kekuatan-kekuatan setan yang ingin menumbangkan Islam karena mereka tahu bahwa apa yang dapat membahayakan mereka adalah Islam, dan bahaya terbesar adalah kesatuan bangsa- bangsa Muslim.
Hari ini adalah hari ketika umat Muslim di seluruh dunia harus bersatu. Hari ini bukan hari untuk suatu kelompok di suatu tempat berkata: “Hanya kita”. Hari ini adalah hari ketika semua bersatu berdasarkan aturan Islam dan Penilaian Alquran. Mereka tidak berselisih. Perselisihan di kalangan Muslim, dalam bentuk apa pun, dilarang oleh Alquran. Perselisihan akan membuat mereka gagal dan menghapus kualitas-kualitas menarik dari manusia dan bangsa. Ini adalah perintah Allah, sang Pemurah.
Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan, tetapi mengklaim sebagai Muslim, belum menemukan Islam yang Kitabnya adalah Alquran, Islam yang qiblahnya adalah Ka`bah. Mereka tidak percaya pada Islam. Orang-orang yang percaya pada Islam adalah orang-orang yang menerima Alquran dan isinya, isi yang mengatakan: “Orang-orang beriman sesungguhnya bersaudara”. Karena itu mereka harus mematuhi apa yang diperlukan persaudaraan. Persaudaraan menghendaki bahwa jika kemalangan terjadi kepadamu semua saudara yang lain, di mana pun berada, harus bersimpati kepadamu. Jika kamu bahagia, semuanya juga bahagia.
Dengan kata lain, umat Muslim percaya kepada Allah yang sama, nabi Muahammad yang sama dan Alquran yang sama jadi mengapa harus ada perbedaan, konflik dan kekerasan melawan satu sama lain? Sebaiknya harus ada toleransi antar-religius, penghargaan kepada keberagaman dan dialog. Oleh karena itu, kaum ulama, yang merupakan anggota berpengaruh di masyarakat dan juga penjaga Islam, mempunyai pengaruh langsung pada komunitas Muslim mulai dari desa hingga negeri, diharapkan bertindak secara bertanggung jawab dan harus menjadi sumber untuk pembangunan kesatuan bukan perpecahan. Di sisi lain, para akademisi perlu melakukan hal yang sama di bidang pendidikan untuk pembentukan kesatuan pikiran, pemikiran dan masyarakat Muslim ditengah-tengah keberagaman.
Realitas sekarang ini bahwa dunia Muslim adalah korban terorisme baik dari luar maupun dari dalam. Hal ini sebagain besar disebabkan oleh campur tangan pihak luar dalam dunia Muslim dan juga perpecahan Muslim. Hanya tekad Muslim kepada kesatuan agama dan ummah dan bekerja untuk memajukan ummatan Muhammadan yang dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi dan mengalahkan terorisme.
Ruhollah Khomeini and Hamid Algar, Islam and Revolution: Writings and Declaration of Imam Khomeini (Berkeley, CA: Mizan Press, 1981) yang dikutip dari buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.
Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (4)
Ijtihad
a. Ijtihad Secara Linguistik
Pembahasan sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/4]
Ibn Al-Atsîr berkata: “Ijtihad adalah mengerahkan segala upaya untuk mendapatkan sesuatu. Kata ini adalah bentuk wazan ifti‘âl dari kosa kata juhd yang berarti daya.” [1]
Kata ini digunakan dalam arti tersebut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat hingga penghujung abad pertama (Hijriah).
Berkenaan dengan hal ini ada beberapa hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW berikut ini:
- Adapun pada saat sujud, maka bersungguh-sungguhlah untuk berdoa, karena doamu pada saat itu akan dikabulkan. [2]
- Kirimkanlah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. [3]
- Keutamaan orang alim atas orang yang selalu bersungguh-sungguh (untuk beribadah) adalah seratus derajat. [4]
Diriwayatkan dari Muhammad Al-Qurazhî: “Di kalangan Bani Israil terdapat seorang faqih yang alim dan seorang abid yang selalu bersungguh-sungguh (untuk beribadah).” [5]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah: “Rasulullah saw. senantiasa bersungguh-sungguh (dalam beribadah) pada sepuluh malam terakhir di mana beliau tidak bersungguh-sungguh seperti itu pada malam-malam selainnya.” [6]
Dalam hadis Thalhah tentang dua orang yang hidup pada masa Rasulullah SAW disebutkan: “Salah seorang dari mereka lebih bersungguhsungguh daripada yang lain. Kemudian ia mengikuti perang dan syahid.”[7]
Diriwayatkan dari Abu Sa‘îd: “Jika Rasulullah saw. bersumpah dan bersungguh-sungguh dalam sumpahnya, beliau berkat ….” [8]
Pada peristiwa perang Bani Mushthaliq, diriwayatkan dari Abdullah bin Ubay: “Beliau bersungguh-sungguh melaksanakan sumpahnya.” [9]
Ketika seorang sahabat wanita yang bernama Ummu Hâritsah bertanya tentang anaknya kepada Rasulullah saw., ia berkata: “Jika ia berada di dalam surga, maka aku akan bersabar dan jika selain itu, aku akan bersungguhsungguh menangisinya.” [10]
Dari contoh-contoh tersebut dan hadis-hadis serupa lainnya yang serupa dengannya, kita dapat mengetahui bahwa arti yang dapat dipahami dari ijtihad pada abad pertama adalah mengerahkan segala daya dan upaya (untuk mendapatkan sesuatu). Setelah itu, arti kata ijtihad ini berkembang di kalangan muslimin dan menurut istilah mereka, kata itu mengindikasikan usaha untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci.
b. Ijtihad Menurut Terminologi Muslimin
Dalam mendefinisikan ijtihad, Al-Ghazâlî berkata: “Ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya dalam sebuah aktivitas. Kata ini tidak digunakan kecuali dalam aktivitas yang memerlukan usaha keras dan upaya (yang harus dikerahkan) … Akan tetapi, lambat laun kata ini— di dalam tradisi (‘urf) para ulama— digunakan secara khusus dalam usaha seorang mujtahid untuk mengerahkan segala daya dan upayanya demi mengetahui hukum-hukum syariat ….” [11]
Ad-Dihlawî berkata: “Hakikat ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya untuk mendapatkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci—yang secara global adalah kitab, sunah, ijmâ‘, dan qiyâs.” [12]
Muhammad Amin juga mendefinisikan dalil-dalil hukum-hukum syariat demikian dalam bukunya, Taisîr At-Tahrîr. [13]
Inilah arti ijtihad yang terdapat di kalangan para pengikut mazhab Khulafâ’, dan istilah ini juga tersebar di kalangan para ulama pengikut mazhab Ahlulbait as. setelah abad kelima Hijriah. Hal ini disebutkan dalam buku Mabâdi’ Al-Wushûl, karya ‘Allâmah Al-Hillî (wafat 726 H.), pasal kedua belas, pembahasan pertama tentang ijtihad —yang ringkasan-nya— adalah sebagai berikut: “Ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya dalam rangka mencari hukum-hukum syariat yang bersifat zhannî (tidak pasti) dengan cara yang tidak berlebihan.
Ijtihad ini tidak dibenarkan bagi Nabi saw. lantaran beberapa hal:
a. Allah swt. berfirman, ‘Dan ia tidak berbicara atas dasar [dorongan] hawa nafsu.’ (QS. An-Najm [53]:4)
b. Ijtihad hanya menghasilkan prasangka (zhann), sedangkan beliau mampu menerima hukum syariat dari wahyu (secara langsung).
c. Dalam menentukan banyak hukum, beliau selalu menahan diri (untuk mengutarakan pendapat) sampai wahyu datang. Seandainya ijtihad diperkenankan bagi beliau, niscaya beliau akan melakukannya.
d. Seandainya ijtihad diperbolehkan bagi beliau, niscaya hal itu juga diperbolehkan atas malaikat Jibril as., dan hal ini akan menutup pintu keyakinan bahwa seluruh ajaran yang telah dibawa oleh Muhammad SAW berasal dari Allah Swt.
e. Ijtihad bisa betul dan juga bisa salah. Dengan demikian, tidak boleh kita menerima seluruh sabda beliau secara ta‘abbudî, karena ijtihad dapat menghilangkan kepercayaan terdapat sabda beliau.
Begitu juga, tidak diperbolehkan—menurut pendapat kami—setiap imam ma‘shûm as. berijtihad, karena mereka adalah ma‘shûm (terjaga dari dosa dan kesalahan) dan mereka hanya mengambil hukum-hukum syariat dari pengajaran Rasulullah SAW.
Adapun para ulama, diperbolehkan bagi mereka untuk berijtihad dengan cara menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunah dan dengan cara menguatkan (tarjîh) satu dalil di antara dalil-dalil yang saling bertentangan. Adapun dengan cara menyimpulkan hukum dengan jalan qiyâs dan istihsân, maka hal ini tidak diperbolehkan.”[14]
Kita juga melihat ketika para ulama mazhab Ahlulbait as menggunakan istilah ‘ijtihad’ dan ‘mujtahid’, mereka tidak meninggalkan istilah ‘fiqih’ dan ‘faqih’. Tetapi, mereka menggabungkan kedua istilah tersebut, sebagaimana hal itu dilakukan oleh Jamâluddîn, penulis buku Al-Ma‘âlim. Ia berkata di permulaan bukunya—seperti telah kita ketahui bersama: “Dalam bahasa, fiqih adalah pemahaman, dan dalam istilah, adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat furû‘uddîn dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Setelah itu, ia membuka sebuah pasal khusus untuk mendefinisikan ijtihad. Pada pasal yang lain ia menulis: “Di dalam bahasa, ijtihad adalah mengerahkan seluruh daya dan upaya …, dan di dalam istilah, ijtihad adalah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk mendapatkan sangkaan tentang hukum syariat ….” [15]
Dengan memperhatikan pembahasan-pembahasan sebelumnya, kedua mazhab berbeda pendapat tentang sebagian dalil-dalil hukum syariat, sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan mendatang, insyâ-Allah.
Setelah kita mempelajari kelima istilah itu, kita akan menelaah pandangan kedua mazhab berkenaan dengan masing-masing istilah-istilah tersebut pada pembahasan berikut ini.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Catatan Kaki
- Mabâdi’ Al-WUshûl ilâ ‘Ilm Al-Ushûl, hal. 240-241.
- Ma‘âlim Ad-Dîn, pembahasan kesembilan tentang ijtihad dan taklid, hal. 381.
- Nihâyah Al-Atsar, karya Ibn Al-Atsîr, kata جهد
- Shahîh Muslim, kitab Ash-Shalâh, hadis ke-207; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 219.
- Sunan An-Nasa’î, bab Al-Amr bi Ash-Shalâh ‘alâ An-Nabi, jil. 1, hal. 190; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 199, dengan disebutkan secara ringkas.
- Al-Muqaddimah Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 100.
- Muwaththa’ Mâlik, kitab Al-Janâ’iz, hadis ke-43.
- Shahîh Muslim, kitab Al-I‘tikâf, hadis ke-8; Sunan Ibn Mâjah, kitab Ash-Shiyâm, hadis ke-1767.
- Sunan Ibn Mâjah, kitab Ar-Ru’yâ, hadis ke-3925; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 163, jil. 2, hal. 323 dan 363, jil. 6, hal. 82, 123, dan 256, dan jil. 5, hal. 40.
- Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 33 dan 148.
- Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tafsir, tafsir surat Al-Munafiqun, jil. 3, hal. 136; Shahîh Muslim, kitab Al-Munafiqun, hadis ke-1; Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 373.
- Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Jihâd, jil. 2, hal. 92; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 260 dan 283.
- Al-Mushtashfâ fî Ushûl Al-Fiqh, karya Abu Hâmid Muhammad Al-Ghazâlî (wafat 505 H.), cet. Mushthafâ Al-Bâbî, Mesir, tahun 1356 H., jil. 2, hal. 101. Silakan Anda rujuk biografinya dalam buku Kasyf Azh-Zhunûn, jil. 2, hal. 1673, dan rujuk juga Al-Ahkâm, karya Al-Âmidî, jil. 4, hal. 141.
- Pendapat ini dinukil oleh Muhammad Farîd Wajdî di dalam Dâ’irah Ma‘ârif Al-Qarn Al-‘Isyrîn, jil. 3, hal. 236 dari sebuah makalah berjudul Al-Inshâf fî Bayân Al-Ikhtilâf, karya Ahmad bin Abdurrahim Ad-Dihlawî Al-Fârûqî Al-Hanafî, seorang ahli hadis dan faqih (wafat 1176 atau 1179 H.). Biografinya terdapat dalam buku, karya Az-Zarkulî, jil. 1, hal. 144.
- Buku aslinya berjudul At-Tahrîr fî Ushûl Al-Fiqh, karya ‘Allâmah Kamâluddîn Muhammad bin Abdul Wâhid yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hamâm Al-Hanafî (wafat 861 H.). Buku ini telah disyarahi oleh muridnya, Al-Fâdhil Muham-mad bin Muhammad bin Amirul Hâj Al-Halabî Al-Hanafî (wafat 879 H.), dan syarah ini juga disyarahi oleh Muhammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Amir Badsyâh Al-Bukhârî, yang berdomisili di Mekkah dan memberinya judul Taisîr At-Tahrîr. Dalam, hal ini, kami telah merujuk cet. Mushthafâ Al-Bâbî. Mesir, tahun 1351 H., jil. 1, hal. 171. Silakan Anda rujuk biografi mereka dalam buku Kasyf Azh-Zhunûn, jil. 2, hal. 358.
Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (3)
Fiqih
sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]
Secara Linguistik, fiqih—seperti disebutkan di dalam kamus-kamus (bahasa Arab)—adalah pemahaman. Fiqih di dalam di dalam kitab dan sunah, penjelasannya adalah sebagai berikut:
Allah Swt berfirman: Mengapa tidak pergi dari beberapa golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka [liyatafaqqahû] tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apa mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah membahagiakan seorang hamba yang mendengar sabdaku ini, lalu menyampaikannya. Alangkah banyak-nya pembawa fiqih yang ia sendiri tidak faqih dan alangkah banyaknya pembawa fiqih kepada orang yang bisa lebih faqih dari dirinya.”[1]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Satu orang faqih lebih berat atas setan daripada seribu orang ‘abid.”[2]
Beliau bersabda: “Orang yang faqih dalam agama Allah dan bermanfaat terhadapnya ajaran yang Allah telah mengutusku untuk mengembannya, lalu ia mengetahui dan mengajarkan (adalah lebih berat bagi setan).”[3]
Rasulullah SAW bersabda: “Orang terbaik di kalangan kamu adalah orang-orang yang paling terpuji akhlaknya jika mereka faqih (dalam agama).”[4]
Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang terbaik pada masa Jahiliyah adalah orang terbaik pada periode Islam jika mereka faqih (dalam agama).”[5]
Rasulullah bersabda: “Dua karakteristik tidak akan pernah berkumpul dalam diri seorang munafik: kebaikan dalam cara hidup dan kepahaman dalam agama.”[6]
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan atasnya, Dia akan memberikan kepahaman yang dalam tentang agama.” [7]
Rasulullah bersabda: “Ada beberapa orang yang akan datang kepadamu dari segala penjuru dunia yang mereka memiliki kepahaman (fiqih) dalam agama. Jika mereka datang kepadamu, maka mintalah wasiat kebaikan kepada mereka.” [8]
Rasulullah saw. pernah berdoa untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepahaman kepadanya tentang agama.” [9]
Di dalam dialog-dialog yang pernah terjadi antara Ahlulbait dan para sahabat sepeninggal Rasulullah SAW juga telah disebutkan sebagai berikut ini:
Imam Ali as. bertanya kepada para sahabat: “Ketahuilah, maukah kuberitahukan kepadamu tentang seorang faqih yang sejati?” Mereka menjawab: “Iya, wahai Amirul Mukminin.” Beliau melanjutkan: “Dia adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa terhadap rahmat Allah, tidak memberikan rasa aman terhadap siksa Allah, dan tidak mengizinkan mereka untuk berbuat maksiat kepada Allah.”[10]
Yahya bin Sa‘îd Al-Anshârî berkata: “Aku tidak pernah menjumpai fuqaha di dunia kita ini kecuali mereka mengucapkan salam pada setiap dua waktu di siang hari.” [11]
Umar berkata: “Perdalamlah (agama) sebelum kamu menjadi pemimpin.”[12] Barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin berdasarkan pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kehidupan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka, dan barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin bukan atas dasar pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kebinasaan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka. [13]
Ketika menjelaskan karakteristik Ibn Abbas, Ibn Abdurrahman berkata: “Ia adalah seorang qârî kitab Allah dan seorang faqih dalam agama Allah.” [14]
Di dalam Sunan Ad-Dârimî, bab Ikhtilâf Al-Fuqahâ’ disebutkan: “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat ke seluruh penjuru negara Islam supaya setiap kaum menentukan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati oleh para faqih mereka.” [15]
Dalam kitab itu juga disebutkan: “Jika mereka duduk pada salat Isya’, mereka duduk (sambil mendiskusikan) fiqih”, [16]
“Tidak ada masalah kita begadang malam demi memperdalam fiqih”,[17] dan “Mereka selalu mem-bentuk majelis pada malam hari dan mendiskusikan masalah fiqih.” [18]
Hal ini juga disebutkan di dalam kitab Shahîh Al-Bukhârî, bab As-Samr fî Al-Fiqh. [19] Asy-Sya‘bi berkata: “Ketika ‘Adî bin Hâtim tiba di Kufah, kami mendatanginya bersama beberapa orang faqih penduduk Kufah.” [20]
Diriwayatkan dari ‘Imrân Al-Minqarî bahwa ia pernah memprotes Hasan berkenaan suatu ucapannya seraya berkata: “Hai Abu Sa‘îd, bukan demikian pendapat fuqaha.” Ia menimpali: “Celaka engkau. Engkau belum pernah melihat seorang faqih sama sekali. Seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, selalu merindukan akhirat, memahami agamanya, dan selalu menghamba kepada Tuhannya.” [21]
Ini adalah sebagian hadis yang telah disebutkan dalam buku-buku referensi hadis mazhab Khulafâ’. Hadis-hadis tentang masalah ini juga disebutkan dalam buku-buku referensi mazhab Ahlul Bait as. berikut ini:
a. Rasulullah saw. bersabda: “Fuqaha adalah orang-orang kepercayaan para rasul selama mereka tidak masuk dalam urusan dunia” [22] dan “Barang siapa menghafal untuk kepentingan umatku empat puluh hadis tentang agama mereka dan memanfaatkannya demi urusan agama mereka, maka Allah akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan faqih dan alim.” [23]
b. Di dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata: “Barang siapa melakukan perdagangan tanpa berbekal fiqih, maka ia akan tenggelam ke dalam lautan riba”, [24] “… dan musim semi bagi kalbu fuqaha”,[25] “Dan perdalamilah pemahaman tentang agama.”[26]
c. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: “Aku akan meletakkan cemeti di atas kepala para sahabatku sehingga mereka memperdalam pengetahuan tentang halal dan haram”[27] dan “Setiap individu dari kamu tidak akan menjadi seorang faqih sehingga ia mengetahui seluk-beluk ucapan kami.” [28]
Begitu ucapan beliau: “Jika ada di antara fuqaha yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya, dan menaati perintah Tuhannya, maka bagi masyarakat awam untuk mengikutinya.” [29]
Ini semua adalah arti kata fiqih di dalam kitab dan sunah. Setelah itu, istilah fiqih di kalangan mazhab Ahlul Bait as. hanya dikhususkan untuk sebuah disiplin ilmu tentang hukum-hukum syariat yang disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Di dalam Ma‘âlim Ad-Dîn yang lebih dikenal dengan nama Ma‘âlim Al- Ushûl, Jamâluddîn Hasan bin Zainuddîn (wafat 1011 H.) berkata: “Secara Linguistik, fiqih berarti pemahaman, dan secara terminologis, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang termasuk kategori furû‘uddîn dengan disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.” [30]
Yang ia maksud dengan terminologi (istilah) di sisi adalah terminologi para ulama mazhab Ahlulbait as.
bersambung………
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Catatan Kaki
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 18 Man Balagha ‘Ilman, hadis ke-23, 231, dan 236 dan kitab Al-Manâsik, bab Al-Khuthbah Yaum An-Nahr; Sunan Abi Dâwûd, bab Fadhl Nasyr Al-‘Ilm, hadis ke-3660 dan bab 10; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab 7 Mâ Jâ’a fî Al-Hats ‘alâ Tablîgh As-Simâ‘, jil. 10, hal. 124 dan 136; Sunan Ad- Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, jil. 1, hal. 74-76; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 225, jil. 4, hal. 80 dan 82 dan jil. 5, hal. 173.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 154.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab al’Ilm, bab 20, jil. 1, hal. 18; Shahîh Muslim, kitab Al- Fadhâ’il, hadis ke-15; Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 399.
Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 467, 469, dan 481.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 2, hal. 175; Shahîh Muslim, kitab Al-Fadhâ’il, bab Khiyâr An-Nâs, hadis ke-199; Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, hal. 73; Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 257, 260, 391, 431, 485, 498, 525, 539, jil. 3, hal. 367 dan 383 dan jil. 4, hal. 101.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 157.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 74; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 306, jil. 2, hal. 234, jil. 4, hal. 91, 93, 95-99, dan 101.
Sunan At-Tirmidzî, jil. 10, hal. 119; Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 22.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 28; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 266, 314, 328, dan 335.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89; Al-Kâfî, jil. 1, hal. 36; Tuhaf Al-‘Uqûl, bab Mâ Ruwiya ‘an Amiril Mukminin, pasal Wa Ruwiya ‘anhu fî Qishâr Hâdzihil Ma‘ânî; Ma‘ânî Al-Akhbâr, karya Ash-Shadûq, bab Ma‘nâ Al-Faqîh Haqqan; Kanz Al- ‘Ummâl, kitab Al-‘Ilm, bab At-Targhîb fîhi, jil. 10, hal. 103, hadis ke-278; Hilyah Al- Awliyâ’, jil. 1, hal. 77; Bihâr Al-Anwâr, jil. 17, hal. 407.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tahajjud, bab 25, jil. 1, hal. 141.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-‘Ilm, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 349.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 151.
ibid., hal. 149.
Ibid., hal. 150.
Ibid.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Mawâqît, bab 40, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ibn Mâjah, hadis ke-87.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 110.
Ibid., hal. 156, hadis ke-10. Begitu juga hadis ke-9 serupa dengannya.
Nahjul Balâghah, Hikmah, no. 447, jil. 3, hal. 259.
Ibid. ketika beliau menjelaskan karakteristik Alquran, Pidato ke-196, jil. 2, hal. 252.
Ibid. Wasiat Imam Ali kepada Imam Hasan, no. 31, jil. 3, hal. 42.
Al-Mahâsin, karya Al-Barqî, hadis ke-161; Bihâr Al-Anwâr, cet. Amin adh-Dharb, jil. 1, hal. 66.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 184, hadis ke-5.
Safînah Al-Bihâr, jil. 2, hal. 381, kata [فقه.[
Ma‘âlim Ad-Dîn, dengan penelitian ulang oleh Abdul Husain Muhammad Ali Al- Baqqâl, hal. 66.
Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (2)
Sunah Dan Bid‘ah
Baca sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]
Sunah dan bid‘ah adalah dua istilah yang mengetahui arti salah satunya tergantung kepada yang lain, dan untuk memahami suatu penggunaan kita juga perlu membandingkan antara keduanya. Penjelasan kedua istilah ini adalah sebagai berikut:
Sunah
Secara Linguistik, sunah berarti metode dan cara jalan hidup (tharîqah wa sîrah), baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan di dalam syariat Islam, sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Rasulullah saw., baik berupa ucapan maupun tindakan, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an yang mulia.
Arti ini juga meliputi seluruh persetujuan (taqrîr) beliau, yaitu beliau melihat seorang muslim mengerjakan suatu amalan dan tidak melarangnya. Dengan tindakan diam tersebut, beliau telah melegitimasi keabsahan amalan itu. [1] Oleh karena itu, disebutkan bahwa dalil-dalil (yang diakui dalam) syariat Islam adalah kitab dan sunah, yaitu Alquran dan hadis.
Bid‘ah
Secara Linguistik, Bid’ah adalah sesuatu yang diciptakan untuk pertama kalinya. Bid‘ah di dalam agama adalah mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu tindakan di mana pengucap dan pelakunya tidak mengikuti pemilik syariat dalam semua itu.
Sunah Sebagai Salah Satu Sumber Syariat Islam
Sunah Rasulullah SAW termasuk salah satu dari sumber-sumber syariat lantaran firman-firman Allah Swt.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)
Dan tiadalah ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (QS. An-Najm: 3-4)
Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzâb: 21)
Katakanlah: “Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘‘Imrân: 31)
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummî yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia ….” (QS. Al-A‘râf: 158)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Di dalam banyak hadis juga disebutkan bahwa beliau menganjurkan
muslimin untuk mengikuti sunah beliau dan melarang mereka untuk menentangnya. Seperti sabda beliau: “Barang siapa yang membenci sunahku, maka ia bukanlah dari aku.”
Atas dasar ini, sunah adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î, dan cara penyampaian sunah Rasulullah SAW, yaitu sirah, hadis, dan persetujuan beliau, kepada kita hanya terbatas melalui hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari beliau sendiri dan telah dibukukan pada masa kita sekarang ini dalam buku-buku referensi hadis, sirah, tafsir, dan sumber-sumber kajian Islam lainnya, seperti hadis-hadis berikut ini:
Di dalam hadis ‘Aisyah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Pernikahan adalah sunahku. Barang siapa tidak mengamalkan sunahku, ia bukan dariku.”[2]
Diriwayatkan dari ‘Amr Al-Muzanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku dan orang lain mengamalkannya, ia akan memiliki pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa menciptakan bid‘ah dan diamalkan oleh orang lain, ia akan menanggung dosa orang yang telah mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi dosa-dosa orang yang telah mengamal-kannya sedikit pun.”
Menurut sebuah riwayat: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku yang telah dilupakan setelahku ….”[3]
Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ammâ ba‘du. Sesungguhnya sebaik-baik segala sesuatu adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk segala sesuatu adalah sesuatu yang dibid‘ahkan, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”
Menurut sebuah riwayat: “Sesungguhnya petunjuk yang paling utama adalah petunjuk Muhammad SAW ….”[4]
Diriwayatkan dari Ibn Mas‘ûd bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan menguasai urusanmu setelahku orang-orang yang memadamkan sunah, mengamalkan bid‘ah, dan mengakhirkan salat dari waktunya.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, jika aku sempat hidup bersama mereka, apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab: “Engkau bertanya kepadaku tentang apa yang harus kau lakukan, hai anak Ummi ‘Abd? Tiada ketaatan terhadap orang yang menentang Allah.”[5]
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah enggan untuk menerima amalan seorang pelaku bid‘ah sehingga ia meninggalkan bid‘ahnya.”[6]
Diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak akan menerima puasa, salat, sedekah, haji, umrah, jihad, amalan sunah, dan amalan wajib seorang pelaku bid‘ah. Ia keluar dari Islam sebagaimana sehelai rambut keluar dari adonan tepung.”[7]
Allah swt. menyebutkan bid‘ah di dalam firman-Nya: “Dan mereka mengada-adakan rahbâniyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (QS. Al-Hadid: 27)
Kesimpulan
Syariat Islam adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam kitab dan sunah, serta seluruh ajaran yang disimpulkan dari keduanya. Bid‘ah adalah segala ajaran yang dimasukkan ke dalam agama menurut pendapat seseorang yang tidak terdapat di dalam kitab dan sunah, serta tidak juga disimpulkan dari keduanya, meskipun kita menyebutnya sebagai ijtihad, mashâlih mursalah, atau Islam modern yang sesuai dengan perkembangan zaman—seperti istilah orang-orang masa kini. Seluruh ancaman yang terdapat di dalam hadis-hadis Rasulullah saw. tentang bid‘ah dapat diterapkan atasnya.
Bersambung……….
Catatan Kaki
Sunan Abu Dâwûd, jil. 2, hal. 274-275. Diriwayatkan dari seorang sahabat yang bernama Sahl bin Sa‘d: “Segala perbuatan yang pernah dilakukan di hadapan Nabi SAW. (dan beliau tidak melarangnya) adalah sunah.”
Sunan Ibn Mâjah, kitab An-Nikâh, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl An-Nikâh, hal. 592, hadis ke-1845.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Man Ahyâ Sunah, hadis ke-209-210; Sunan At-Tirmidzî, jil. 1, hal. 147-148.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, hal. 17, hadis ke-45. Hadis kedua terdapat di dalam Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, jil., hal. 69, hadis ke-45.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, kitab Al-Jihâd, bab Lâ Thâ‘ah fî Ma‘shiyatillâh, hal. 956, hadis ke-2865; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 400.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 17, hal. 19, hadis ke-49 dan 50.
Ibid.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (1)
Lima Istilah Keislaman
Dalam usaha menelaah sumber-sumber syariat Islam menurut dua mazhab, kita akan memulainya dengan mempelajari lima istilah berikut ini:
Alquran.
Sunah.
Bid‘ah.
Fiqih.
Ijtihad.
Setelah itu, kita akan menelaah pandangan kedua mazhab tentang masing-masing istilah itu. Di sela-sela pembahasan, kita juga akan menelaah beberapa istilah lain yang berkaitan, insyâ Allah.
Alquran
Alquran adalah firman Allah yang telah diturunkan kepada pamungkas para nabi-Nya secara berangsur-angsur, kebalikan dari syair dan prosa (natsr) yang terdapat di dalam bahasa Arab. Atas dasar ini, bahasa Arab dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: Alquran, prosa, dan syair. [1]
Sebagaimana buku yang memuat sekumpulan syair seorang penyair (dîwân) disebut syiar, kasidah yang terdapat di dalamnya dinamakan syair, satu bait dari sebuah syair disebut syair, dan separuh bait syair juga dinamakan syair, begitu juga seluruh isi Alquran disebut Alquran, satu surah juga dinamakan Alquran, dan satu ayat juga disebut Alquran, serta kadang-kadang sebagian ayat juga disebut Alquran,[2] seperti ayat yang berfirman:
“Dan dari apa yang telah kami anugerahkan kepada mereka” yang terdapat di dalam surah Al-Baqarah. Alquran dengan arti seperti ini adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î. Hal ini dikarenakan sumber dari seluruh penggunaan itu adalah penyebutannya di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. yang mulia.
Nama-Nama Lain Alquran
Para ulama telah berhasil menemukan nama-nama lain bagi Al-Qur’an dalam Al-Qur’an itu sendiri. Nama-nama itu—sebenarnya—termasuk dalam kategori menyebutkan sesuatu dengan sifat-sifatnya (dzikr Asy-syai’ bi shifâtih).
Di antara nama-nama Al-Qur’an yang termasyhur adalah ‘Kitab’. Allah swt. berfirman: “Itulah Al-Kitab, tiada keraguan padanya.” (QS. Al-Baqarah:2)
Yang dimaksud dengan ‘Al-Kitab’ di sini adalah Al-Qur’an yang terdapat di tangan muslimin, bukan kitab Taurat milik para pengikut agama Yahudi dan kita Injil milik para pengikut agama Kristiani. Dia telah menegaskan maksud dari ‘Al-Kitab’ tersebut dengan membubuhi alif dan lam ‘ahd di depannya.
Kosa kata ‘Al-Kitab’ juga disebutkan di dalam Al-Qur’an dan yang dimaksud darinya adalah kitab Taurat. Allah swt. berfirman: “Dan sebelumnya [terdapat] kitab Mûsâ.” Di sini, Dia telah menegaskan maksudnya dengan menyandarkan kata tersebut kepada pemilik kitab tersebut. Di kalangan para ahli ilmu Nahwu, buku Nahwu karya Sibawaeh dikenal dengan sebutan ‘Al-Kitab’. Penulis buku Kasyf azh-Zhunûn, bab Al- Kitab menulis: “Kitab Sibawaeh di dalam ilmu Nahwu: kitab Sibawaeh ini disebut ‘Al-Kitab’ karena kemasyhuran dan keutamaannya di dalam bidang ilmu di kalangan para ahli ilmu Nahwu. Di kota Bashrah sering disebutkan, Si Polan telah membaca Al-Kitab.’ Diketahui oleh khalayak bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh. Atau, ‘Ia telah membaca setengah Al-Kitab.’ Mereka tidak ragu bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh ….’
Abul Hasan Ali bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibn Khurûf An-Nahwî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 609 H.) telah menulis syarah atas buku Sibawaeh ini dan memberinya judul Tanqîh Al-Abwâb fî Syarh Ghawâmidh Al-Kitâb. Abul Baqâ’ Abdullah bin Husain Al-‘Ukburî Al-Baghdâdî Al-Hanbalî (wafat 616 H.) telah menulis syarah atas syair-syair yang terdapat dalam buku Sibawaeh tersebut dan nama bukunya adalah Lubâb Al-Kitâb.
Abu Bakar Muhammad bin Hasan Az-Zubaidî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 380 H.) juga mempunyai syarah atas buku Sibawaeh ini yang berjudul Abniyah Al-Kitâb.” [3]
Atas dasar ini, ‘Al-Kitab’ bukanlah sebuah nama yang khusus dimiliki oleh Alquran, tidak di dalam Al-Qur’an dan tidak juga di dalam tradisi (‘urf) muslimin. Di antara nama-nama Al-Qur’an itu adalah ‘Nur’. Allah swt. Berfirman: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu cahaya yang benderang.” (QS. An-Nisâ’ : 174)
Nama yang lain adalah ‘Maw‘izhah’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya telah datang nasihat [baca: pelajaran] kepadamu.” (QS. Yunus : 57)
Begitu juga, ‘Karim’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya ia adalah Al-Qur’an yang mulia.”
Nama-nama yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an itu — sebenarnya—bukanlah nama Al-Qur’an (yang sesungguhnya). Semua nama itu hanya digunakan untuk mengungkapkan sifat-sifat Al-Qur’an.
Di antara nama-nama Al-Qur’an yang terdapat di kalangan para pengikut mazhab Khulafâ’ adalah ‘Mushaf’. Kosa kata ini tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan juga tidak di dalam hadis Nabi saw.
Az-Zarkasyî dan selainnya meriwayatkan: “Ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an, ia berkata, ‘Berikanlah nama untuknya.’ Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Injil.’ Mereka tidak setuju. Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Sifr.’ Mereka tidak setuju, karena nama itu adalah nama yang telah digunakan oleh para pengikut agama Yahudi. Ibn Mas‘ûd berkata, ‘Aku pernah melihat sebuah kitab milik penduduk Habasyah dan mereka menamakannya Mushaf.’ Akhirnya, mereka menamakannya dengan nama itu.” [4]
Dengan demikian, penamaan Al-Qur’an dengan ‘Mushaf’ termasuk penamaan yang dilakukan oleh muslimin dan termasuk istilah yang ditentukan oleh muslimin, bukan istilah Islami dan hakikat syar‘î.
Kondisi nama ‘mushaf’ dalam penamaan ini tidak berbeda dengan kondisi syârî di kalangan kaum Khawârij. Menurut mereka, syârî adalah nama bagi setiap orang yang mempersiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Di selain kalangan kaum Khawârij, kata ini berarti musytarî (pembeli) sebagai lawan kata bâ’i‘ (pembeli) dalam transaksi jual beli. Jika kita menemukan ungkapan syârî di dalam ucapan selain kaum Khawârij, kita dapat memahami bahwa kata itu berarti musytarî (pembeli), bukan orang yang telah menyiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Sebaliknya, di kalangan kaum Khawârij.
Begitu juga halnya dengan kata mabsûth di kalangan penduduk Suriah dan Irak. Di kalangan penduduk Irak, kata ini berarti madhrûb (orang yang dipukul) dan di kalangan penduduk Suriah, kosa kata ini berarti masrûr (orang yang berbahagai). Jika kata itu disebutkan di dalam percakapan penduduk Suriah, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang berbahagia dan jika ia disebutkan di dalam percakapan penduduk Irak, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang dipukul.
Atas dasar ini, jika kata ‘Mushaf’ disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Khulafâ’, kata ini memiliki arti Al-Qur’an yang mulia, dan jika ia disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Ahlul Bait as. dan mereka mengatakan ‘Mushaf Fathimah’, sebagaimana mereka juga mengungkapkan Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah untuk buku doa Imam As-Sajjâd yang sudah terkenal dan dicetak itu, maka maksud dari ungkapan itu adalah kitab Fathimah dan kita Imam As-Sajjâd.
Selanjutnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [2/5]
Catatan Kaki
1. Ini adalah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an., hal itu lantaran ucapan seluruh umat manusia dalam setiap bahasa tersusun dalam bentuk syair atau prosa. Sementara itu, Al-Qur’an dalam bahasa Arab tidak tersusun dalam bentuk syair atau pun syair. Tetapi, kitab ini adalah Al-Qur’an yang tersusun dalam bahasa Arab yang nyata, yaitu
kalam Allah Yang Maha Agung, bukan termasuk ucapan Bani Adam.
2. Al-haml wa at-tabâdur (kelayakan sebuah kata untuk dijadikan obyek dan kemunculan arti di dalam benak ketika kita mendengarnya—pen.) adalah sebuah pertanda akan kehakikian arti sebuah kata, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama dalam buku-buku pembahasan ilmiah.
3. Kasyf Azh-Zhunûn, karya Haji Khalifah Musthafa bin Abdullah (wafat 1076 H.), cet. Turki, jil. 2, hal. 1427-1428. Sibawaeh adalah Abu Mubasysyir atau Basyar ‘Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bashrî, budak Bani Hârits bin Ka‘b. Ia meninggal dunia pada tahun 180 Hijriah.
4. Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, karya Az-Zarkasyî (wafat 794 H.), cet. Kairo, bab
kelima belas: Mengenal Nama-Namanya, jil. 1, hal. 273 dan 276.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Pandangan Sunni Dan Syiah Tentang Alquran
Kepedulian Rasulullah SAW dan Para Sahabat untuk Pengumpulan dan Penulisan Alquran
Rasulullah SAW selalu membacakan di hadapan orang-orang yang hadir setiap kali ayat Alquran turun kepada beliau dan menafsirkan ayat-ayat
yang memerlukan penafsiran. Beliau juga mendiktekan ayat-ayat tersebut kepada Imam Ali secara khusus dan memerintahkannya supaya menulisnya,
sebagaimana hal itu akan kami paparkan di sela-sela pembahasan-pembahasan buku ini, insyâ Allah.
Ketika beliau berhijrah ke Madinah, beliau menganjurkan muslimin untuk belajar menulis, dan mereka pun bergegas untuk mempelajarinya. Beliau menganjurkan mereka untuk menulis dan menghafal AlQuran, dan mereka pun berlomba-lomba untuk menulis dan menghafalkannya. Mereka menulis ayat-ayat yang telah mereka terima di atas benda-benda yang mereka dapatkan, seperti kulit binatang dan selainnya. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada mereka nama-nama setiap surah dan tempat (urutan) setiap surah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah kepada beliau.
Ketika beliau wafat, di Madinah terdapat puluhan sahabat yang telah hafal seluruh Alquran dan juga banyak di antara mereka yang telah menulisnya. Hanya saja, Alquran yang mereka miliki itu tidak tertulis secara rapi seperti Alqur’an yang ada pada masa kini. Alquran itu hanyalah berupa potongAn-potongan dan lembaran-lembaran yang digunakan oleh mereka untuk menulisnya di atasnya.
Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, Imam Ali as bergegas menyusun Alquran dalam sebuah buku yang rapi, sebagaimana juga beberapa orang sahabat lainnya, seperti Ibn Mas‘ûd memiliki satu naskah Alquran yang sudah tersusun secara rapi. Khalifah Abu Bakar pun memerintahkan beberapa orang sahabat untuk menyusun Alquran dalam sebuah buku yang rapi. Setelah usai, ia menitipkannya di tangan Ummul Mukminin Hafshah hingga masa Utsman berkuasa. Ketika ia berkuasa, penaklukan-penaklukan negara-negara lain meluas, dan muslimin tersebar (di seluruh penjuru dunia), ia memerintahkan untuk memperbanyak beberapa naskah Alquran dengan mencontoh naskah yang terdapat di tangan Hafshah dan menyebarkannya ke seluruh negeri muslimin. Muslimin pun menyalinnya sesuai dengan naskah tersebut dan menggunakannya generasi demi generasi hingga masa kita hari ini. Tidak satu naskah pun yang dimiliki oleh muslimin—di masa manapun—selain naskah tersebut dan tidak ada satu pun naskah yang dimiliki oleh muslimin pada satu masa pun yang memuat tambahan atau pengurangan kalimat dari Alqur’an yang sekarang digunakan oleh mereka.
Realita ini sama di kalangan mereka, baik di kalangan kaum Ahli Sunah maupun Syi‘ah, baik di kalangan kaum Asy‘ariyah maupun kaum Mu‘tazilah, baik di kalangan mazhab Hanafiah, Syâfi‘iah, Hanbaliah, Mâlikiah, Zaidiah, Imâmiah maupun Wahabiah dan Khawârij. Tidak satu pun dari aliran dan mazhab-mazhab itu yang memiliki Alquran di dalamnya terdapat tambahan satu kalimat atau kekurangan satu kalimat, atau urutan surah dan ayat-ayatnya berbeda dengan Alquran
yang biasa dipakai oleh muslimin pada masa kini. Adapun kekurangan Alquran sebagaimana yang terdapat di dalam sebagian buku-buku referensi hadis, kekurangan yang diklaim itu hanya menetap buku-buku hadis tersebut dan tidak berpindah ke satu naskah pun dari naskah-naskah Alquran yang ada. Seperti hadis yang terdapat di dalam Enam Kitab Sahih (Ash-Shihâh As-Sittah); Shahîh Al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abi Dâwûd, Sunan At-Tirmidzî, Sunan Ibn Mâjah, Sunan Ad- Dârimî, dan buku-buku hadis selainnya berikut ini:
Diriwayatkan dari Khalifah Umar ra. bahwa ia berkata di atas mimbar: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran dan menurunkan kepadanya Alquran. Di antara ayat-ayat yang telah Allah turunkan adalah ayat Rajam. Kami pernah membaca, merenungkan, dan memahaminya. Rasulullah SAW pernah merajam dan kami pun juga pernah merajam sepeninggal beliau. Aku khawatir jika beberapa masa berlalu atas umat ini dan salah seorang dari mereka akan mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak pernah menemukan ayat Rajam di dalam kitab Allah.’ Dengan demikian, mereka akan tersesat lantaran
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah itu. Hukuman rajam atas orang yang berzina dalam keadaan muhshan adalah benar di dalam kitab Allah.” [1]
Ayat yang diklaim itu terdapat di dalam Sunan Ibn Mâjah dari Umar bahwa ia berkata: “Aku pernah membaca, ‘Jika orang pria dan wanita yang sudah tua berzina, maka rajamlah mereka berdua.’” Dan di dalam Muwaththa’ Mâlik disebutkan: “‘Rajamlah pria dan wanita yang sudah tua.’ Kami pernah membaca ayat ini.”
Di dalam hadis yang sama yang terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî disebutkan: “Kami senantiasa membaca ayat yang terdapat di dalam kitab Allah ini, ‘Janganlah kamu membenci ayah-ayahmu, karena sebuah kekufuran jika kamu membenci ayah-ayahmu.”
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Di antara ayat-ayat Alquran yang pernah turun adalah ‘sepuluh kali susuan yang pasti’. Rasulullah SAW meninggal dunia sedangkan ayat termasuk ayat-ayat Alquran yang masih dibaca.”[2]
Dalam Shahîh Ibn Mâjah disebutkan: “’Aisyah berkata, ‘Ayat Rajam dan penyusuan orang yang sudah tua sebanyak sepuluh kali pernah turun. Ayat-ayat
ini terdapat dalam sebuah lembaran yang tersimpan di bawah tempat tidurku. Ketika Nabi SAW meninggal dunia, kami disibukkan oleh kewafatan beliau, lalu rayap masuk dan melahap lembaran-lembaran itu.”
Dalam Shahîh Muslim disebutkan bahwa Abu Mûsâ Al-Asy‘arî pernah menulis surat kepada para qârî penduduk Bashrah yang pada waktu itu berjumlah tiga ratus orang. Di antara isi suratnya adalah “Kami selalu membaca sebuah surah yang—dalam kondisi bahagia dan sengsara—kami menyerupakannya dengan surah Barâ’ah. Lalu aku lupa. Hanya saja di antara ayat-ayatnya yang masih kuhafal adalah ‘Seandainya Bani Adam memiliki dua lembah harta, niscaya mereka akan meminta yang ketiga dan tidak dapat memenuhi perut Bani Adam kecuali tanah’.”
“Kami senantiasa membaca sebuah surah yang kami menyamakannya dengan salah satu surah Al-Mûsâbbihât (surah-surah yang dimulai dengan tasbih—pen.). Lalu aku lupa. Hanya saja di antara ayat yang masih kuhafal adalah ‘Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu sekalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Dengan ini, sebuah kesaksian akan ditulis di batang lehermu dan kamu akan dimintai pertanggung-jawaban tentangnya pada hari kiamat.’” [3]
Meskipun hadis-hadis itu terdapat dalam buku-buku sahih para pengikut mazhab Khulafâ’, tak seorang pun dari pengikut mazhab Ahlulbait as yang menuduh para pengikut mazhab Khulafâ’ telah mengurangi Alquran atau menambahkan surah atau ayat kepada Alquran dari diri mereka sendiri.
Sebaliknya, ketika hadis-hadis serupa terdapat di dalam sebagian bukubuku referensi hadis mazhab Ahlulbait as sebagian penulis dari kalangan pengikut mazhab Khulafâ’ menyerang para pengikut mazhab Ahlulbait dan mengatakan: “Mereka telah mengurangi Alquran dan menambahkan beberapa ungkapan dan ayat dari diri mereka sendiri kepadanya.” Mereka berargumentasi atas hal ini dengan beberapa hadis yang terdapat di dalam sebagian buku-buku referensi hadis. Perlu diingat, para pengikut mazhab Ahlulbait tidak meyakini kesahihan satu kitab manapun selain kitab Allah, sedangkan para pengikut mazhab Khulafâ’ meyakini kesahihan seluruh hadis yang terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, dan melegitimasi hadis-hadis tersebut dengan klaim bahwa bacaan ayat-ayat tersebut telah dinasakh (dan hukumnya masih berlaku). [4]
Kritikan yang Dibuat-buat Terhadap Mushaf Fathimah
Sebagian penulis menyulut kritikan yang diada-adakan lainnya terhadap para pengikut mazhab Ahlulbait as Mereka mengklaim bahwa mereka memiliki Alqur’an lain yang diberi nama “Mushaf Fathimah as”. Hal itu dikarenakan kitab Fathimah ini dinamakan “Mushaf” dan Alqur’an juga dinamakan “Mushaf” oleh sebagian muslimin.
Jika kita merujuk kepada hadis-hadis, ia menegaskan bahwa mushaf Fathimah tidak memuat satu ayat pun dari Alqur’an. Mushaf ini hanya berisi berita-berita tentang orang-orang yang akan menjadi pemimpin umat Islam yang pernah ia dengar. Imam Ash-Shâdiq as. sendiri—ketika Muhammad dan Ibrahim, dua orang keturunan Imam Hasan as melakukan perlawanan terhadap Abu Ja‘far Al-Manshûr—berkata: “Di dalam kitab ibunda mereka, Fathimah, nama mereka tidak termasuk orang-orang yang akan memimpin umat ini.”
Para pengikut mazhab Khulafâ’ menamai buku ilmu Nahwu karya Sibawaeh dengan nama “Al-Kitab”. Di samping itu, kosa kata “mushaf” tidak disebutkan di dalam Alqur’an dan tidak juga di dalam hadis Nabi SAW Sementara itu, penamaan Alqur’an dengan “Al-Kitab” telah banyak disebutkan di dalam Alqur’an sendiri, seperti ayat-ayat berikut ini:
Itulah Al-Kitab tiada keraguan padanya. (QS. Al-Baqarah [2]:2)
Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? (QS. Al-Baqarah [2]:85)
Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka …. (QS. Al-Baqarah [2]:89)
Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. (QS. Al-Baqarah [2]:129)
Dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [2]:151)
Dan masih ada puluhan ayat lain (yang menegaskan hal ini). Meskipun demikian, seandainya seseorang mengatakan bahwa ukuran kitab Sibawaeh berjumlah dua kali lipat kitab Allah, yang pasti ia tidak bermaksud bahwa kitab Sibawaeh adalah Alqur’an yang lebih besar dari kitab Allah, dan tak seorang pun dari para pengikut mazhab Ahlulbait as memprotes penamaan ini.
Terakhir, ucapan-ucapan semacam ini akan dimanfaatkan oleh musuhmusuh Islam dan mereka akan menjadikannya sebagai alat untuk menuduh dan melecehkan Alquran. Semoga Allah menyadarkan sebagian penulis sehingga ia mau menghentikan igauannya ini. Alqur’an yang sekarang berada di tangan muslimin ini adalah Alqur’an yang telah disempurnakan penurunannya oleh Allah atas pamungkas para nabi-Nya di akhir-akhir usia beliau. Sepeninggal beliau, para sahabat telah mengumpulkannya dalam bentuk sebuah buku yang rapi dan menyalinnya, serta menyebarkannya di kalangan muslimin. Permulaan kitab ini adalah “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”, dan penghujungnya adalah “Dari bangsa jin dan manusia”.
Dari sejak masa itu hingga masa kita sekarang ini, tidak ada satu pun AlQuran lain di tangan seorang muslim yang lebih atau kurang satu kalimat dari kitab Al-Qur’an yang biasa (dibaca oleh muslimin) itu. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan di antara mereka. Perbedaan yang ada adalah tentang penafsiran Al-Qur’an dan penakwilan ayat-ayat mutasyâbih-nya. Hal itu lantaran penafsiran dan penakwilan itu diambil dari hadis. Muslimin berbeda pendapat dalam menanggapi hadis Rasulullah SAW sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan mendatang, insyâ-Allah.
Pembahasan selanjutnya Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Catatan Kaki
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Al-Hublâ min Az-Zinâ. Teks hadis ini kami nukil dari kitab ini; Shahîh Muslim, jil. 5, hal. 116; Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Hudûd, bab Fî Ar-Rajm, jil. 2, hal. 229; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-Hudûd, bab Mâ Jâ’a fî Tahqîq Ar-Rajm, jil. 6, hal. 204; Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Hudûd, bab Ar- Rajm, hadis ke-2553; Sunan Ad-Dârimî, kitab Al-Hudûd, bab Fî Hadd Al-Muhshinîn bi Az-Zinâ, jil. 2, hal. 179; Al-Muwaththa’, kitab Al-Hudûd, jil. 3, hal. 42.
Shahîh Muslim, kitab Ar-Radhâ‘, bab At-Tahrîm bi Khams Radha‘ât, jil. 4, hal. 164; Sunan Abi Dâwûd, kitab An-Nikâh, bab, hal. Yuharrim Mâ dûna Khams Radh‘ât, jil. 1, hal. 279; Sunan An-Nasa’î, kitab An-Nikâh, bab Al-Qadr alladzî Yuharrim min Ar- Radhâ‘, jil. 2, hal. 82; Sunan Ibn Mâjah, kitab An-Nikâh, bab Radhâ‘ Al-Kabâr, jil. 1, hal. 626, hadis ke-1944; Sunan Ad-Dârimî, kitab An-Nikâh, bab Kam Radh‘ah Tuharrim, jil. 1, hal. 157; Muwaththa’ Mâlik, kitab Ar-Radhâ‘, bab Jâmi‘ Mâ Jâ’a fî Ar-Radhâ‘ah, jil. 2, hal. 118.
Shahîh Muslim, kitab Az-Zakâh, bab Law Anna li Ibn Adam Wâdiyain Labtaghâ Wadiyan Tsâlitsan, jil. 3, hal. 100.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Al-Hublâ min Az-Zinâ, hadis ke-1; Shahîh Muslim, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Ats-Tsayib fî Az-Zinâ, hadis ke-15.
Pandangan Sunni Dan Syiah Tentang Sunah Nabi SAW (2)
Pembahasan sebelumnya Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [1/2]
Pelarangan Penulisan Hadis hingga Akhir Abad Pertama
Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Adz-Dzahabî meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan masyarakat setelah Nabi mereka meninggal dunia. Ia berkata: “Kamu meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah SAW yang kamu perselisihkan, sedangkan perselisihan orang-orang yang hidup setelah kamu akan bertambah parah. Oleh karena itu, janganlah kamu meriwayatkan satu hadis pun dari Rasulullah. Jika ada orang bertanya kepadamu tentang itu, katakanlah, ‘Di tengah-tengah kita terdapat kitab Allah. Maka, halalkanlah hal-hal yang telah dihalalkan dan haramkanlah segala sesuatu yang telah diharamkannya.’” [Tadzkirah Al-Huffâzh, karya Adz-Dzahabî, biografi Abu Bakar, jil. 1, hal. 2-3]
Pada Masa Khalifah Umar
Di dalam Thabaqât Ibn Sa‘d disebutkan bahwa hadis-hadis (Rasulullah SAW) banyak diriwayatkan pada masa Umar bin Khatab. Ia memerintahkan supaya masyarakat menyerahkan semua hadis itu kepadanya. Ketika mereka telah menyerahkan seluruh hadis itu kepadanya, ia memerintahkan supaya hadis-hadis itu dibakar. [Thabaqât Ibn Sa‘d, biografi Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, jil. 5, hal. 140]
Mazhab Khulafâ’ melarang pembukuan hadis-hadis Rasulullah SAW hingga permulaan tahun 100 Hijriah. Tindakan mereka tidak hanya sampai pada batas itu. Bahkan, mereka juga melarang periwayatan hadis-hadis itu.
Diriwayatkan dari Qurazhah bin Ka‘b bahwa ia pernah bercerita: “Ketika Umar ingin melepaskan pemberangkatan kami menuju Irak, ia mengantarkan kami sampai ke daerah Shirâr. Ia bertanya, ‘Apakah kamu semua tahu untuk apa aku mengantarkanmu?’ Kami menjawab, ‘Engkau hendak menghormati kami dengan tindakan ini.’ Ia menimpali, ‘Ada suatu keperluan di balik itu semua. Kamu semua akan berangkat menuju penduduk sebuah desa yang suara bacaan Alqur’an mereka bak suara gemuruh lebah. Janganlah kamu beri kesempatan kepada mereka untuk meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah, dan aku bersamamu.’ Semenjak peristiwa itu, aku tidak pernah meriwayatkan satu hadis pun dari Rasulullah SAW.”
Menurut sebuah riwayat yang lain: “Ketika Qurazhah bin Ka‘b sampai, mereka berkata kepadanya, ‘Riwayatkanlah hadis kepada kami.’ Ia menjawab, ‘Umar telah melarang kami.’” Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibn Abdil Barr melalui tiga sanad dalam bukunya, Jami‘ Bayân Al-‘Ilm, bab Dzamm Al-Iktsâr min Al-Hadîts dûna At-Tafahhum lahu, jil. 2, hal. 147, Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam Syaraf Ash-hâb Al-Hadîts, hal. 88, dan Adz-Dzahabî di dalam Tadzkirah Al-Huffâzh, jil. 1, hal. 4-5.
Di kalangan sahabat selain Qurazhah bin Ka‘b masih ada orang-orang yang mengikuti sunah para khalifah dan enggan untuk menulis sunah Rasulullah SAW, seperti Abdullah bin Umar dan Sa‘d bin Abi Waqqâsh. Di dalam Sunan-nya, kitab Al-‘Ilm, bab Man Hâba Al-Futyâ, jilid 1, hal. 84-85, Ad-Dârimî meriwayatkan dari Asy-Sya‘bî bahwa ia bercerita: “Aku pernah hidup bersama Ibn Umar dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW.”
Menurut sebuah riwayat lain: “Aku pernah hidup bersama Ibn Umar selama dua tahun atau setahun setengah dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW kecuali hadis ini.”
Diriwayatkan dari Sâ’ib bin Yazîd bahwa ia berkata: “Aku pernah pergi ke Mekkah bersama Sa‘d (bin Abi Waqqâsh) dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW hingga kami pulang kembali ke Madinah.”
Khalifah Umar juga sering berkata kepada para sahabat: “Persedikitlah meriwayatkan hadis Rasulullah, kecuali hadis-hadis yang hendak diamalkan (sehari-hari).” [Târîkh Ibn Katsîr, jil. 8, hal. 107]
Riwayat ini memiliki kandungan yang sama dengan riwayat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh yang menegaskan bahwa kaum Quraisy melarangnya untuk menulis segala sesuatu yang didengar dari Rasulullah SAW.
Pada Masa Khalifah Utsman
Seluruh penjelasan yang telah kami paparkan itu berhubungan dengan masa dua khalifah Abu Bakar dan Umar. Pada masa Utsman, ia juga menetapkan politik tersebut. Ia pernah berkata di atas mimbar: “Tak seorang pun berhak untuk meriwayatkan hadis yang tidak ia dengar pada masa Abu Bakar dan Umar.” [Muntakhab Kanz Al-‘Ummâl, catatan pinggi Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 64]
Hal itu juga dapat dipahami dari riwayat yang telah diriwayatkan oleh Ad-Dârimî dan selainnya yang menjelaskan: “Pada suatu hari Abu Dzar duduk di sisi Jumrah Al-Wusthâ dan banyak orang yang mengelilinginya untuk menanyakan hukum kepadanya. Tiba-tiba seseorang datang dan berdiri di atasnya seraya berkata, ‘Bukankah engkau telah dilarang untuk berfatwa?’ Abu Dzar mengangkat kepalanya untuk melihatnya seraya berkata, ‘Apakah engkau mengawasiku? Seandainya kamu semua meletakkan pedang di sini—ia menunjuk leher bagian belakangnya—kemudian aku yakin akan dapat menyampaikan satu kalimat dari Rasulullah SAW tanpa restumu, niscaya aku akan menyampaikannya.’” [Menurut pendapat kami, peristiwa itu terjadi pada masa Utsman, karena tak seorang pun dari kalangan sahabat yang berani menentang perintah pihak penguasa pada masa Khalifah Umar. Riwayat ini terdapat di dalam kitab Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 132, Thabaqât Ibn Sa‘d, jil. 2, hal. 354, biografi Abu Dzar, dan Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 161. Ia meringkas riwayat tersebut hingga sebelum ucapan Abu Dzar tersebut]
Pada Masa Mu‘âwiyah
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Âmir Al-Yahshubî bahwa ia berkata: “Aku pernah mendengar Mu‘âwiyah berkata di atas mimbar di Damaskus, ‘Wahai manusia, enyahkanlah hadis-hadis Rasulullah SAW, kecuali hadis-hadis yang pernah diriwayatkan pada masa Umar ra. Karena Umar senantiasa memerintahkan umat manusia untuk takut kepada Allah ‘Azza Wajalla.’” [Tulisan tangan Târîkh Dimasyq, karya Ibn ‘Asâkir, Mushawwarah Al-Majma‘ Al- ‘Ilmî Al-Islami, 9/Q2/236B dan 237B; Syaraf Ash-hâb Al-Hadîts, hal. 91]
Diriwayatkan dari Rajâ’ bin Abi Salamah bahwa ia berkata: “Aku mendengar berita bahwa Mu‘âwiyah berkata, ‘Riwayatkanlah hadis-hadis yang telah diriwayatkan pada masa Umar, karena ia telah menakut-nakuti masyarakat untuk meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw.’” [Tadzkirah Al-Huffâzh, karya Adz-Dzahabî, jil. 1, hal. 7]
Ath-Thabarî meriwayatkan bahwa ketika Mu‘âwiyah menunjuk Mughîrah bin Syu‘bah untuk menjadi penguasa Kufah pada tahun 41 Hijriah, ia memanggilnya seraya berkata kepadanya: “Aku sebenarnya ingin berwasiat banyak hal kepadamu, tapi aku tinggalkan karena aku percaya kepada keyakinanmu. Hanya saja, aku tidak mau meninggalkan satu hal ini: jangan kau tinggalkan pencercaan dan pencelaan terhadap Ali serta berbelas kasih dan memintakan ampun untuk Utsman, mencela dan menyingkirkan para sahabat Ali serta mendekatkan dan merangkul para pengikut Utsman.”
Mughîrah berkata kepadanya: “Aku telah berpengalaman dalam hal ini dan aku juga pernah melakukannya untuk selainmu, dan ia tidak kecewa dengan kelakuanku. Sekarang kita lihat, apakah engkau akan memuji atau mencela.” Mu‘âwiyah menimpali: “Kami akan memuji, insyâ-Allah.” [1]
Di dalam Al-Ahdâts-nya, Al-Madâ’inî meriwayatkan: “Mu‘âwiyah pernah menulis sepucuk surat kepada para gubernurnya setelah peristiwa tahun jamaah yang berisi, ‘Aku telah membebaskan diri dari orang yang meriwayatkan satu hadis tentang keutamaan Abu Turâb [Imam Ali] dan keluarganya.’
Masyarakat yang mendapat cobaan paling berat pada waktu itu adalah penduduk Kufah.” Di jalan ini, Hujr bin ‘Adî dan para sahabatnya dibantai, serta Rasyîd Al-Hajarî dan Maitsam At-Tammâr dibunuh dan disalib. Muawiyah mencekik napas para sahabat dan tabiin dan menghabisi orang-orang yang menentang politik mereka.
Membuka Peluang bagi Hadis-hadis Israiliyah
Ketika mazhab Khulafâ’ menutup pintu periwayatan hadis dari Rasulullah SAW bagi seluruh muslimin—seperti telah kami paparkan pada pembahasan yang lalu, mereka membuka pintu periwayatan hadis-hadis Israiliyah lebarlebar. Mereka telah mengizinkan kepada orang-orang seperti Tamîm Ad-Dârî yang beragama Kristiani dan Ka‘b Al-Ahbâr yang beragama Yahudi—yang telah memeluk Islam setelah agama ini tersebar—untuk menyebarkan hadis-hadis Israiliyah.
Berkenaan dengan Ka‘b pendeta agama Yahudi itu, khalifah Umar, Utsman, dan Mu‘âwiyah sering bertanya kepadanya tentang asal mula penciptaan, peristiwa hari kiamat, tafsir Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Para sahabat seperti Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Zubair, Mu‘âwiyah, dan orang-orang setipe mereka dari kalangan sahabat dan tabiin telah meriwayatkan hadis dari mereka berdua.
Penukilan hadis-hadis Israiliyah tidak hanya terbatas dilakukan oleh dua orang ulama ahlulkitab dan para murid mereka tersebut. Sekelompok orang juga ikut andil bersama mereka dan setelah periode mereka. Realita itu berlanjut hingga masa kekhalifahan dinasti Bani Abbasiyah, kecuali pada Abdullah bin Saba’ yang diada-adakan itu yang memiliki pengaruh tersebut—seperti yang mereka sangka.
Pada Masa Umar bin Abdul Aziz
Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekuasaan pada tahun 99 Hijriah. Ia menghapuskan pelaknatan atas Imam Ali as., mengembalikan kebun Fadak kepada para pewaris Fathimah Az-Zahra’ as., dan memerintahkan penulisan hadis. Di samping itu, ia juga memiliki kebaikAn-kebaikan yang lain. Ia wafat pada tahun 101 Hijriah. Silakan Anda rujuk biografinya dalam buku Târîkh Al-Khulafâ’, karya As-Suyûthî dan Taqrîb At-Tahdzîb, karya Ibn Hajar. Tentang tindakannya memerintah penulisan hadis, silakan Anda rujuk Al-Muqaddimah kitab Sunan Ad-Dârimî, hal. 126, Thabaqât Ibn Sa‘d, cet. Beirut, jil. 7, hal. 447, Al-Mushannaf, karya Abdur Razâq, cet. India, tahun 1980 M., jil. 9, hal. 337, Akhbâr Isfahan, karya Abu Nu‘aim, jil. 1, hal. 312, dan Tadrîb Ar-Râwî, karya As-Suyûthî, hal. 90.
Ketika Umar bin Abdul Aziz Al-Umawî berkuasa, ia memerintahkan untuk mencabut undang-undang pelarangan penulisan hadis Rasulullah SAW. Ia menulis surat kepada para gubernurnya: “Carilah hadis-hadis Rasulullah SAW dan tulislah. Karena aku khawatir ilmu akan binasa dan ahlinya akan musnah.”
Ibn Syihâb Az-Zuhrî adalah orang pertama yang menulis hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz pada permulaan tahun 100 Hijriah.[Fath Al-Bârî, bab Kitâbah Al-‘Ilm, jil. 1, hal. 218] Hanya saja, usahanya itu tidak tuntas lantaran Umar bin Abdul Aziz keburu wafat diracun pada tahun 101 Hijriah dan hadis-hadis yang telah dibukukan pada masanya itu hilang musnah tak tentu rimbanya. Dalam biografi Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat 117 H.), Ibn Hajar meriwayatkan—yang ringkasannya: “Umar bin Abdul Aziz menulis surat perintah kepadanya untuk menulis seluruh ilmu (baca: hadis) untuknya. Anaknya berkata setelah ia wafat, ‘Seluruh buku itu pun hilang.” [Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 12, hal. 39]
Begitu juga tidak tersisa ilmu-ilmu lain yang telah ditulis pada masanya. Pada waktu Abu Ja‘far Al-Mashûr berkuasa, ia menggiatkan para ulama untuk menulis hadis. Ketika menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 143 Hijriah, Adz-Dzahabî berkata: “Pada abad ini, para ulama Islam mulai menulis buku-buku hadis, fiqih, dan tafsir. Ibn Juraij menulis buku At-Tashânîf di Mekkah. Sa‘îd bin Abi ‘Urûbah, Hammâd bin Salamah, dan selian mereka menulis di Bashrah. Al-Auzâ‘î menulis di Syam. Mâlik menulis kita Al-Muwaththa’ di Madinah. Abu Ishâq menulis kitab Al- Maghâzî. Mu‘ammar menulis di Yaman. Abu Hanifah dan selainnya menulis fiqih dan konsep bi Ar-ra’y-nya di Kufah. Dan Sufyân menulis kitab Al-Jâmi‘. Tidak lama setelah itu, Husyaim menulis buku-buku karyanya. Laits dan Ibn Lahî‘ah menulis di Mesir yang kemudian diikuti oleh Ibn Al-Mubârak, Abu Yusuf, dan Ibn Wahb.1 Penulisan seluruh bidang ilmu pengetahuan dan penataan bab-babnya mulai marak. Buku-buku bahasa Arab dan sejarah mulai dibukukan. Sebelum abad ini, para imam dan tokoh berbicara dengan mengandalkan hafalan mereka atau meriwayatkan ilmu dari lembaran-lembaran berserakan yang tak tertata rapi. Segala puji bagi Allah, karena pengambilan ilmu sudah mulai mudah dan pengandalan hafalan sudah mulai berkurang. Segala urusan hanyalah milik Allah.”
Kisah ini juga dinukil oleh As-Suyûthî di dalam Târîkh Al-Khulafâ’, hal. 261. Di dalam Mausû‘ah Al-Fiqh Al-Islami: “Ketika Al-Manshûr melaksanakan ibadah haji pada tahun 143 Hijriah, ia menganjurkan Mâlik untuk menulis buku Al-Muwaththa’, sebagaimana ia dan juga para gubernurnya telah menganjurkan para ulama untuk menulis (buku-buku hadis). Ibn Juraij, Ibn ‘Urûbah, Ibn ‘Uyainah, dan selain mereka telah menulis buku (hadis).
Para fuqaha dan para sahabat mereka pun telah melakukan hal yang sama.” Penjelasan yang telah kami paparkan di sini tidak bertentangan dengan penegasan-penegasan mereka tentang adanya buku-buku hadis yang sudah tertata rapi yang dimiliki oleh sebagian mereka sebelum abad itu. Seperti penegasan mereka bahwa seorang sahabat yang bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh memiliki Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqah dan seorang tabiin yang bernama Az-Zuhrî memiliki buku yang memuat hadis-hadis yang telah tertata rapi. Karena hanya nama-nama buku hadis semacam inilah yang sampai ke telinga para ulama pada masa penggalakan penulisan hadis itu. Kemudian, setelah itu—pada masa kekuasaan Al-Manshûr—pada ahli hadis di kalangan mazhab Khulafâ’ saling berlomba-lomba untuk itu. Ia meninggal dunia pada tahun 174 Hijriah di Mesir. Silakan Anda rujuk Mîzân Al-I‘tidâl, jil. 2, hal. 64 dan Wafayât Al-A‘yan, jil. 1, hal. 249.
Ibn Al-Mubârak adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Al-Mubârak Al-Mirwazî. Ia adalah seorang yang alim, zahid, ‘arif, dan salah seorang ahli hadis. Ia adalah salah seorang pengikut tabiin. Diriwayatkan dari Abu Usâmah bahwa ia berkata: “Ibn Al- Mubârak di kalangan para ahli hadis adalah seperti seorang amirul mukminin di tengah-tengah umat manusia.” Silakan Anda rujuk Târîkh Baghdad, jil. 10, hal. 64 dan Al-Kunâ wa Al-Alqâb, jil. 1, hal. 401.
Abu Muhammad Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Fihrî Bâlaulâ’ Al-Mishrî. Ia adalah seorang imam yang faqih dan salah seorang sahabat Mâlik. Ia berhasil menggabungkan antara fiqih dan hadis. Ia memiliki banyak buku dan di antaranya adalah Al-Jâmi‘. Silakan Anda rujuk Tadzkirah Al-Huffâzh, jil. 1, hal. 279 dan Wafayât Al-A‘yan, jil. 1, hal. 249.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Pembahasan selanjutnya PANDANGAN DUA MAZHAB SUNNI DAN SYIAH TENTANG FIQIH DAN IJTIHAD
Pandangan Sunni Dan Syiah Tentang Sunah Nabi SAW [1/2]
Kedua mazhab sepakat atas keyakinan akan wajibnya mengamalkan sunah Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber syariat Islam. Karena sunah Rasulullah, baik yang berupa sirah, hadis, maupun persetujuan (taqrîr) sampai kepada kita melalui perantara riwayat yang diriwayatkan dari beliau, kedua mazhab ini berbeda pendapat dalam dua hal:
Sebagian perantara (perawi) yang menukilkan riwayat dari Rasulullah SAW.
Kebolehan menulis hadis Rasulullah SAW pada abad pertama Hijriah.
Kita akan menelaah masing-masing perbedaan pendapat tersebut pada pembahasan berikut ini, insyâ-Allah.
Tentang Para Perawi Hadis Nabi SAW
Dari pembahasan yang telah lalu tentang sahabat dan konsep imâmah dapat diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, para pengikut mazhab Ahlulbait as mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari para imam Ahlulbait as yang berjumlah dua belas orang. Hal ini berbeda dengan para pengikut mazhab Khulafâ’ yang mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari setiap sahabat Rasulullah SAW tanpa ada pembedaan dan pemilahan di antara mereka, karena seluruh sahabat—menurut perspektif mereka—adalah figur-figur adil. Tidak sama halnya dengan para pengikut mazhab AhlulBait as. Mereka tidak pernah merujuk kepada beberapa orang sahabat seperti Mu‘âwiyah dan ‘Amr bin ‘Âsh yang telah memeranginya pada perang Shiffîn, Dzil Khuwaishirah dan Abdullah bin Wahb yang telah memeranginya pada perang Nahrawân, serta Abdurrahman bin Muljam pembunuh Imam Ali.
Begitu juga mereka tidak mengambil (ajaran-ajaran agama mereka) dari para musuh Ali, baik mereka termasuk dalam golongan sahabat, tabiin, para pengikut tabiin, maupun seluruh tingkatan para perawi hadis.
An-Nasa’î—misalnya—meriwayatkan di dalam Ash-Shahîh-nya dari Umar bin Sa‘d, pembantai Imam Husain. Para ulama Rijâl berkata dalam biografi-nya:
“Ia adalah orang yang jujur dan terpercaya. Akan tetapi, masyarakat mencelanya lantaran ia menjadi komandan laskar yang telah membantai Husain bin Ali.”
Imâmul Muhadditsîn Bukhârî tidak meriwayatkan satu hadis pun di dalam Ash-Shahîh-nya dari Imam Ja‘far bin Muhammad Ash-Shâdiq, imam keenam Ahlulbait as yang ribuan ahli hadis dari kalangan pengikut mazhab Ahlulbait meriwayatkan ribuan hadis darinya.
Atas dasar ini, terdapat perbedaan pendapat secara konsep antara kedua mazhab ini —seperti telah kita lihat sampai di sini— tentang dari perawi manakah mereka harus mengambil hadis Rasulullah SAW.
Tentang Realita Penyebaran Hadis Nabi SAW
Di samping penjelasan yang telah kami paparkan itu, ajaran-ajaran kedua mazhab ini telah membatasi sikap para pengikut masing-masing mazhab terhadap realita penyebaran hadis (Rasulullah) dengan batasan-batasan tertentu. Ketika para khalifah melarang penulisan dan penyebaran hadis Rasulullah SAW, Syiah bersemangat dalam menyebarkan hadis-hadis Nabi SAW.
Perbedaan ini mulai muncul sejak akhir-akhir kehidupan Rasulullah ketika beliau bersabda: “Ambilkanlah sebuah kertas untukku supaya kutuliskan sepucuk surat (wasiat) yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah surat itu.”
Dari sebagian riwayat dapat dipahami bahwa mereka telah melakukan pelarangan terhadap penulisan hadis Rasulullah SAW sebelum itu dan pada masa beliau masih sehat. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh berkata: “Aku senantiasa menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah. Setelah itu, kaum Quraisy mencegahku dan mereka mempertanyakan, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah SAW sedangkan ia adalah manusia biasa yang dapat berbicara dalam kondisi marah dan rida?’
Aku pun berhenti menulis. Lalu kuceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau mengisyaratkan telunjuk ke arah mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan keluar darinya kecuali kebenaran.’ *
Di dalam dialog dengan Abdullah tersebut, mereka sendiri telah menjelaskan faktor pelarangan penulisan hadis Rasulullah SAW itu. Yaitu, mereka khawatir akan diriwayatkan suatu hadis tentang beberapa orang yang beliau sabdakan ketika beliau sedang rida terhadap mereka dan suatu hadis lain tentang orang-orang tertentu yang beliau sabdakan pada saat beliau murka terhadap mereka.
* Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Man Rukhkhisha fî Al-Kitâbah, jil. 1, hal. 126; Sunan Abi Dâwûd, bab Ktâbah Al-‘Ilm, jil. 2, hal. 126; Musnad Ahmad, jil. 2,
hal. 162, 192, 207, dan 215; Mustadrak Al-Hâkim, jil. 1, hal. 105-106; Jâmi‘ Bayân Al-‘Ilm wa Fadhlih, karya Ibn Abdil Barr, cet. ke-2, Al-‘Âshimah, Kairo, tahun 1388
Hijriah, jil. 1, hal. 85.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh Al-Qurasyî As-Sahmî. Ibunya adalah Raithah binti Munabbih As-Sahmî. Ia lebih kecil dari ayahnya sebelas atau dua belas tahun. Para
ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan kematiannya; apakah ia meninggal di Mesir, Tha’if, atau Mekkah? Apakah ia meninggal dunia pada tahun 63 atau 65 Hijriah? Silakan merujuk biografinya di dalam Usud Al-Ghâbah, jil. 3, hal. 23, An- Nubalâ’, jil. 3, hal. 56, dan Thadzîb At-Tahdzîb, jil. 5, hal. 337.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah
Harmoni Antar Mazhab Di Jepara – Jawa Tengah
Beberapa hari ini, sebuah video yang menayangkan salat berjamaah antar mazhab, viral di media sosial Twitter. Video itu diunggah oleh akun @SyiahGL dengan caption “Jepara luar biasa, Sunni-Syiah salat berjamaah.”
Diimami oleh ketua MUI Jepara, terlihat dalam salat berjamaah di video itu, sebagian makmun yang bermazhab keislaman Sunni, melaksanakan salat dengan cara bersedekap tangan. Sementara sebagian lainnya yang bermazhab keislaman Syiah, tidak bersedekap. Tentunya kedua cara itu hanya berkaitan dengan furu’uddin atau cabang agama, khususnya perkara fikih, yang sama sekali tidak penting untuk dipersoalkan. Semoga saja kerukunan dan persatuan antar sesama kaum Muslim itu menular ke daerah-daerah lain demi kedamaian hingga kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai.
Beragam komentar positif pun bermunculan. Di antaranya berasal dari akun @RepKertanegara “Persatuan Sunni-Syiah itu adalah tanda awal kebangkitan umat muslim.” Sambil menyebut Tokoh NU, KH Musthofa Bisri, Gus Nadirsyah Hosein dan Kemenag.
Akun @faqih2496 mencuit “Saya asli Desa Banjaran, Jepara. Sepanjang pengetahuan saya, dari dulu sampai sekarang tidak pernah ada konflik atas alasan apapun. Masjid dan makam Sunni-Syiah berdampingan. Alhamdulillah desa kami tetap harmoni.”
Akun @budianto_rbt menulis, “Ini yang bikin Indonesia tenang. Semoga daerah lain mengikuti.”
Hingga tulisan ini dimuat, video itu telah ditonton sebanyak 48.000 kali. Mengutip dari video yang di upload oleh Pesantren Darut Taqrib tertulis bahwa bagi masyarakat Jepara, keberadaan mazhab keislaman Syiah sama sekali tidak dipermasahkan. Yang penting, semua pihak saling guyub dan rukun demi membangun negeri dari daerah masing-masing.
Berdasarkan keterangan dari video itu, salat berjamaah tersebut dilaksanakan saat salat Maghrib dan diimami oleh ketua MUI Jepara KH Mashudi. Lokasi salat berjamaah adalah pesantren Darut Taqrib, Jepara, pimpinan Ustaz Miqdad Turkan. Salat berjamaah itu dilaksanakan usai bedah buku Syiah dan Nasionalisme Indonesia karya Fathur Rahman, Dosen Unisnu Jepara.
Usai salat berjamaah, para hadirin melanjutkannya dengan peringatan Maulid Nabi gabungan santri Darut Taqrib dan pesantren Hasyim Asyari Bangsri. Seluruh rangkaian acara itu kemudian ditutup dengan acara makan bersama.



























